Bab 17 - Salah jalan

Rania turun, dia melihat sekeliling, disini tampak gelap membuat jarak pandangnya menyempit.

"Apa yang bisa di lihat, disini gelap dan sepi," komentar Rania, sembari mendekap tubuhnya karena hawa dingin menerpa.

Arkan mendengus senyum, sembari menenggak sebotol air mineral yang langsung habis setengahnya.

"Lihat itu," tunjuknya pada riak air sungai yang bersinar diterpa sinar bulan, cahayanya memantul membuat bulan tersebut seakan berhadapan menjadi dua, "dan bintang-bintang juga, apa kamu bukan penikmat alam?"

"Aku suka mereka, tapi aku tidak suka gelapnya," komentar Rania, matanya menatap waspada sekitar.

"Kalau begitu kamu masuk saja lagi, lagi pula disini dingin," Rania mengangguk dan langsung pergi.

Di tempat lain, Ran. Berdiri sangat gelisah di depan gedung apartemennya, dia berjalan mondar-mandir kesana-kemari, sesekali tatapannya mengarah ke pintu gerbang, menanti sang adik pulang.

"Ini sudah malam, tapi adik belum pulang," keluhnya dengan wajah cemas, "ponselnya juga gak aktif."

"Sebaiknya aku pergi mencarinya," Ran bergegas pergi menuju rumah Arkan, tapi setibanya disana rumah itu nampak sepi bahkan beberapa lampunya telah padam.

Trek...Trek...

Ran memukul pagar dengan batu kerikil kecil, berharap ada orang yang datang, "sedang apa kamu disini?" Tegur seorang penjaga yang tengah patroli.

"Saya ingin bertanya Pak, apa para pelayan disini sudah pulang? Adik saya Rania, dia belum kembali sampai jam segini?" Tanya Ran.

"Semua pelayan dari luar sudah pulang semua, tinggal pelayan utama yang tinggal di rumah ini," jawabnya, pandangannya menatap curiga terhadap Ran.

"Apa Bapak yakin?" Ran nampak tak percaya.

"Saya yakin, semua pelayan yang datang dari luar di bubarkan setiap pukul 20:00, kecuali kalau ada acara tertentu." Sahutnya lagi.

"Terimakasih kalau begitu Pak, maaf sudah mengganggu." Ran berbalik pergi dengan langkah gontai, beberapa kali dia menoleh ke rumah besar tersebut, hatinya sungguh cemas, pikirannya berpusat pada Rania yang tak diketahui keberadaannya.

"Adik, kamu dimana? Kenapa menghilang tanpa jejak, kenapa pergi tanpa mengabari?" Gumam Ran, dia berjalan tak tentu arah, mau mencari, cari kemana Ran hanya berjalan tanpa arah, apa lagi saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 23:00 Pm.

Ran terduduk, di tempat yang terbuat dari semen yang ada di pinggir jalan, menatap kosong kendaraan yang berlalu lalang dengan lambat. Hatinya benar-benar kosong.

***

Pajar menyingsing, semburat warna jingga beradu dengan gelap, membuat cahaya yang di pancarkan masih terbatas. Semilir angin mengalun lembut, namun dinginnya mampu menyusup ke tiap sela pakaian, bahkan pintu yang terbuat dari besi pun tak mampu menghalaunya dengan sempurna.

Huah... Rania menggeliat pelan, tanpa sadar dia tertidur lelap, dia melirik ke samping, tampak Arkan pun ikut terpejam di balik kemudi. Namun, meski begitu dia tetap duduk tegak punggung bersandar ke sandaran kursi, dengan tangan terlipat di dada.

Rania melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 05:15 pagi.

"Sudah pagi," Rania terdiam sejenak, dia meraih ponsel dalam saku celananya, dia lupa mengabari Ran tentang keberadaannya, "sial, aku lupa memberi tahu bocah itu, dia pasti khawatir," gumam Rania pelan.

Dia menekan tombol pinggiran ponselnya, namun tak ada hasil, dia mencoba menekannya lebih lama, namun itu sama saja tak menimbulkan reaksi apa pun. Rania menghela nafas kasar, ponselnya mati. Dia lupa, mengisi daya ponselnya kemarin.

"Dasar benda tak berguna," rutuknya kesal, dia hendak melempar benda pipih itu, namun Ia urungkan kembali karena sayang, apa lagi itu ponsel satu-satunya.

"Kenapa gak jadi?" Seketika Rania menoleh, tampak Arkan sudah terbangun, dia menggeliat pelan, "ayo, lempar!"

Wajah Rania mematut. Bukannya di lempar, ponsel itu Ia susupkan kembali ke saku celananya.

"Tuan, kapan kita bisa pulang? Saya harus bekerja, Kakak saya juga pasti khawatir saya tidak pulang semalaman."

Arkan menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, "sebentar lagi, orangku akan datang membawa bahan bakar, kecuali kalau kamu mau pulang jalan kaki, silakan saja duluan." Ucapnya tanpa beban, dia malah kembali membuka pintu mobil dan keluar.

Haish... Rania berdecak kesal, namun mau tak mau dia juga terpaksa menunggu, walau perasaannya tak karuan, mengingat sifat Ran yang kadangkala sulit di mengerti.

Sinar Surya perlahan meninggi, menyinari seluruh tempat ini. Kini semua nampak jelas, Rania baru menyadari dia berada dimana.

"Ini kan kebun bunga milik Ibu," Gumamnya pelan, dia menilik dengan seksama untuk meyakinkan, "benar, ini kebun Ibu. Sungai itu, buktinya." Rania tersenyum senang, entah mengapa tanpa sadar dia berkendara sampai sejauh ini. Dia lantas turun.

"Udara di tempat ini benar-benar segar." Komentar Arkan.

"Hem, disini masih jauh dari polusi, itu wajar saja." Rania menambahkan.

"Tempat ini terasa familiar, sepertinya aku dan Allea pernah kesini," ujar Arkan.

Rania hanya diam, benar dia dan Arkan pernah sekali datang kesini saat mereka masih SMA, namun Rania tak menyebutkan tempat ini sebagai miliknya. Ibunya pernah berpesan, tanah ini memang Ia wariskan untuknya, namun ada beberapa orang yang menggantungkan kehidupan dari perkebunan bunga ini, jadi sebisa mungkin kebun ini harus seperti ini sampai seterusnya.

"Iya kah? Padahal tempat ini jauh dari perkotaan," Rania menepis seolah ragu.

"Tapi entahlah, aku juga lupa-lupa ingat," Arkan juga tampak tak yakin, dia gagal menggali ingatannya yang telah lampau.

Suara kendaraan lain terdengar berhenti tak jauh dari mereka, membuat Rania juga Arkan sontak menoleh. Seorang Pria yang usianya tak jauh berbeda dari Arkan tampak turun, dia adalah Rian teman sekaligus orang kepercayaan Arkan.

"Sial, ngapain kamu di tempat begini? Mana dingin lagi," keluhnya, dia memakai jaket tebal sambil berjalan membawa satu jerigen bensin lengkap dengan alat untuk memasukkannya kedalam tangki bensin.

"Berisik, buruan masukin bensinnya!" Arkan enggan menjawab.

Untuk beberapa saat Rian terdiam karena sedang fokus pada tugasnya, namun setelah itu dia kembali berkata, "siapa wanita ini? Apa dia pacar barumu?" Bisiknya pelan, namun Rania masih mampu menjangkau suaranya.

Plak... Arkan menggeplak tengkuk Rian karena kesal, membuat Pria itu sedikit terhuyung ke depan, "badan Pria, mulut emak-emak," cibir Arkan kesal, sambil masuk kedalam mobil dan berusaha menyalakan mesin mobilnya.

"Heh, lagian gak bisa gitu kalian cari tempat yang lebih realistis?" Kekehnya pelan.

"Otak lu, isinya bokep semua," cibir Arkan, namun dia tetap bersikap seperti biasa.

Rian malah tertawa, dia tak menepis sama sekali tuduhan Arkan padanya, "cewek lu cantik juga, wajahnya imut, berapa umurnya?" Rian mulia kepo.

"Si Rian bener-bener ya, dari dulu sampe sekarang gak berubah," gerutu Rania pelan.

"Berisik lu, minggir sana. Rania, masuk." Perintahnya pada Rania.

"Oh, namanya Rania. Hay Rania," Rian bersikap so ramah, namun malah terlihat aneh.

Rania tak menjawab, dia mendelik kemudian masuk.

"Jam 8 jadwal rapat tahunan, kalau telat lembur satu Minggu!" Ucap Arkan sembari berlalu.

"Sial Woy, gak ada terimakasih, terimakasihnya, dasar orang kaya gak berperasaan, temen sialan!" Rutuk Rian keras setengah berteriak, namun suaranya tak di gubris Arkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!