Brak...!!
Suara pintu yang di buka seketika membuat Allea terkejut, ternyata itu adalah Ran, dia nampak ngos-ngosan seperti kehabisan napas, entah mengapa dia lari seperti di kejar anjing.
"Adik, Pria itu, hah...hah...dia...," Ran masih berusaha mengatur napasnya, kemudian duduk di kursi.
"Jangan bicara, minumlah dulu." Ucap Rania, gadis itu tampak tenang.
"Hehe, terimakasih adik, kau memang paling mengerti Kakak." Ujarnya, dia langsung menyambar gelas berisi air putih yang ada di atas nakas.
Hah...Ran terlihat lebih baik sekarang, "kamu tahu, Pria itu istrinya meninggal semalam," ujarnya terlihat antusias.
"Siapa maksud Kakak?" Rania mengernyitkan dahi.
"Arkan, Pria yang kamu sukai itu, istrinya meninggal karena tertabrak truk." Jelasnya.
'Arkan? Mungkinkah Arkan yang dia maksud adalah suamiku? Tapi mana mungkin?'
"Arkan?"
"Iya Arkan yang itu, Kakak seniormu dulu, apa kau lupa dia juga?"
"Ti-tidak, aku ingat," Rania meyakinkan disertai senyuman tipis.
"Aku dengar sebelumnya dia bertengkar dengan istrinya karena ketahuan berselingkuh, benar-benar Pria tidak tahu diri. Rania, sudah cukup jangan menyukai Pria seperti itu lagi, meskipun di tampan, tapi dia tidak cocok denganmu Pria tukang selingkuh seperti dia tak layak untuk adikku." Racaunya tak karuan.
"Darimana Kakak tahu soal ini?"
"Beritanya viral di media sosial, kau ingin lihat?" Rania lekas mengangguk karena penasaran.
Ran mengeluarkan ponsel dari saku celananya, "nah ini dia." Dia menunjukkan layar ponselnya padan Rania.
Di layar ponsel tersebut, tampak foto Arkan tengah duduk sambil memeluk tubuh Allea yang sudah tak bernyawa lagi.
"Kata orang istrinya itu meninggal karena bunuh diri, dia melemparkan dirinya pada truk yang melaju kencang, itu karena si Arkan ini ketahuan berselingkuh. Ck, dasar Pria brengsek, padahal istrinya itu sangat cantik, masih saja tergoda cewek lain benar-benar bajingan yang sudah tidak tertolong lagi." Rutuk Ran, dia nampaknya ikut kesal melihat berita tersebut.
Allea diam dengan wajah suram, tangannya mengepal kuat, bukan Arkan dan tubuhnya yang menjadi pusat perhatiannya, tapi wanita yang menyentuh pundak Arkan, dia adalah Gwen.
'Wanita sialan itu, bahkan dia tak ingin melewatkan kesempatan untuk mendekati suamiku walau dalam keadaan berkabung,' Allea meremas ponsel Ran yang ada dalam genggamannya tersebut.
"Eeh adik, Kakak tahu kamu sangat marah, tapi jangan remas lagi ponsel Kakak, nanti rusak, Kakak mana mampu lagi beli ponsel baru, harga ponsel sekarang sangat mahal." Keluh Ran dengan wajah mematut bodoh.
"Ma-maaf, aku tidak bermaksud begitu," Allea lekas menyerahkan benda pipih tersebut pada sang pemiliknya.
"Tidak papa, ayo makan obat dulu, lalu setelah itu kita pulang, Paman Dokter sudah mengijinkan kamu pulang." Allea mengangguk menurut dengan kata-kata Ran.
Sore harinya, Ran dan Rania sudah berada di luar gedung rumah sakit, mereka hendak pulang.
"Emh adik, sebenarnya Kakak sudah tidak punya uang untuk kita naik taksi, uang Kakak sudah habis di pakai nebus obat kamu tadi," ucap Ran, dia nampak merasa bersalah.
"Tidak papa, aku bisa jalan kaki, tubuhku sudah lebih baik sekarang," ujar Rania.
"Tidak, mana boleh kamu pulang jalan kaki, kamu baru sembuh, Kakak tidak ingin kamu jatuh sakit lagi," sergah Ran.
"Tapi Kakak kan sudah tidak punya uang, tidak papa aku kuat ko jalan sampai rumah." Rania bersikukuh.
"Ah, kalau begitu ayo Kakak gendong." Ran berjongkok di depan Rania dengan posisi memunggunginya.
"Eh, ti-tidak perlu Kak, aku kuat jalan sendiri ko, beneran," tolak Rania langsung, mana mungkin dia akan setuju di gendong oleh pria asing, walau tubuhnya Rania namun jiwanya adalah jiwa Allea, yang tak punya hubungan darah sama sekali dengan Randy.
"Mana mungkin Kakak biarin kamu jalan dari sini sampai rumah, kamu tahu jarak tempuh dari sini sampai rumah itu hampir satu jam, emangnya kamu kuat jalan sejauh itu?"
"Hah, satu jam? Kakak seriusan?" Rania memekik karena terkejut, selama hidupnya dia belum pernah jalan kaki sejauh itu.
"Iya lah, Kakak kan kalau gak punya uang suka jalan kaki ke tempat kerja. Tapi tenang aja, punggung sama kaki Kakak sangat kuat, pasti bisa jalan sambil gendong kamu pulang." Ran nyengir sambil menoleh ke belakang.
Dengan terpaksa Rania pun setuju dengan keinginan Ran. Ran berjalan perlahan sambil menggendong Rania di punggungnya.
"Dik, kamu inget gak? Dulu kamu juga sering minta Kakak gendong pulang pergi ke sekolah, sampe-sampe kamu gak mau sekolah kalau gak di gendong," Randy tertawa kecil saat dia bercerita, "pernah suatu hari kamu mogok sekolah dan marah sama Kakak karena saat itu Kakak berangkat kerja lebih pagi. Saat itu, Ibu sakit dan Kakak butuh uang yang banyak untuk Ibu berobat, Kakak minta maaf ya." Ucapnya.
Rania mengeratkan cengkeramannya ke masing-masing tangannya yang melingkar di leher Randy, "kenapa Kakak minta maaf, saat itu akulah yang egois, seharusnya aku bisa lebih mandiri dan gak selalu ngerepotin Kakak," ucap Rania pelan.
"Kamu mana ada ngerepotin, justru Kakak seneng karena Kakak punya kamu."
'Entah kehidupan macam apa yang mereka jalani selama ini. Rania kau pasti sangat sedih karena kau meninggalkan mutiara yang berharga di sampingmu, cintanya padamu begitu besar, bahkan dia merasa bersalah untuk sesuatu yang bahkan orang lain pun anggap benar.'
"Tetaplah jadi adiknya Kakak yang imut, jangan jadi Rania yang pendiam, Kakak tidak suka." Keluhnya, dia menundukkan pandangannya.
"Apa maksud Kakak? Aku masih Rania yang sama," sanggah Rania memberi alasan.
'Apa dia menyadari sesuatu?' batin Allea bergumam.
"Ya, kamu Rania yang sama, Kakak hanya asal bicara saja," Ran tersenyum bodoh.
'Dia ini Pria yang polos, sama sekali jauh berbeda dengan Arkan.'
"Kak, apa kau lelah? Sebaiknya kau turunkan saja aku, aku kuat ko jalan sendiri." Ucap Rania lagi.
"Kakak mana ada lelah, tubuh Adik ini kecil, sangat ringan." Ucapnya, saat dia berkata selalu di iringi senyuman polos.
"Kakak ini benar-benar keras kepala," keluh Rania, dia pun akhirnya menyerah dan duduk diam di atas punggung Randy, dan tanpa sadar dia pun terlelap.
Ceklek...
Suara pintu terbuka membuat Rania terbangun, "apa kita sudah sampai?" Tanyanya sembari mengucek mata untuk memperjelas pandangannya.
"Ah, Kakak bikin kamu terbangun ya. Iya kita sudah sampai." Randy menurunkan Rania ke atas sopa yang telah usang pelan-pelan, seakan dia menaruh porselen yang jika terlalu keras menaruhnya dia akan pecah.
"Maaf, rumah agak berantakan. Kakak belum sempat membereskannya, akan segera Kakak bereskan," Randy hendak berlalu, namun langkahnya langsung terhenti karena Rania mencengkeram pergelangan tangannya.
"Biarkan saja, Kakak duduklah dulu, kaki Kakak pasti sakit kan, karena sudah berjalan sambil menggendong aku." Ujar Rania, Randy pun mengurungkan niatnya, kemudian duduk di samping Rania.
"Coba Kakak angkat kaki Kakak." Rania bergeser dan menyisakan ruang yang cukup untuk Randy meletakkan kakinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments