Bab 8 - Harus melupakannya

"Aku sudah tidur, Adik juga tidurlah." Sahutnya dari balik pintu, Rania melongo mana mungkin orang tidur dapat menjawab.

"Kakak belum makan?" Ucap Rania lagi, dia tak menggubris perkataan Ran barusan.

"Orang tidur tidak akan lapar," dia masih saja menyahut.

"Kakak maaf, memang aku yang salah. Tidak seharusnya aku bicara begitu terhadapmu, hanya saja aku sangat butuh pekerjaan ini, ada hal lain selain uang yang aku inginkan." Ucap Rania bersikukuh pada keinginannya.

"Apa dia yang kamu inginkan, kamu bekerja di rumah Pria itu kan? Apa karena sekarang dia sudah tidak punya istri lagi, jadi kamu berinisiatif untuk mendekatinya?" Tuding Ran, suaranya terdengar parau.

"Tidak, bukan begitu Kak. Aku tidak menyukainya lagi, aku sudah tahu sifat aslinya, dia laki-laki brengsek, tukang selingkuh, aku tidak ingin punya hubungan apa pun dengan dia," ucap Rania giginya menggertak, tangannya mengepal kuat.

Grusuk... Bruk...

Aduh... Suara pekikan Ran terdengar dari arah dalam, membuat Rania menjadi cemas, "Kakak kenapa, Kakak baik-baik saja kan?" Rania tetap tak berani masuk ke kamar Ran, walau bagaimanapun dia itu Pria dewasa dan yang terutama tak ada hubungan darah di antara mereka, meski kini dia adalah Rania, namun jiwanya adalah Allea.

"Tidak papa, Kakak tidak papa!" Sahutnya terdengar bersemangat, beberapa saat kemudian pintu kamar pun terbuka, menampakkan wajah Ran yang kusut, rambutnya terlihat acak-acakan, namun dagunya tampak sedikit memerah.

"Dagu Kakak kenapa?"

"Hehe barusan Kakak jatuh dagu Kakak kena lantai, tapi gak papa ko gak sakit sama sekali." Ucapnya, senyumnya tampak bodoh.

"Ck, Kakak sangat ceroboh, bahkan di tempat tidur pun bisa jatuh," Rania menggeleng pelan, "ayo Kakak belum makan, kan? Aku temani." Rania menarik tangan Ran agar mengikutinya, namun tak ada pergerakan sama sekali dari pria di belakangnya, membuat langkah Rania pun ikut tertahan.

"Kamu serius dengan yang kamu katakan tadi?" Tanya Ran, dia masih ragu dengan kata-kata yang Rania ungkapkan barusan.

"Aku serius Kak, sebagai bukti aku akan membuang semua foto Arkan yang ada di kamar." Rania mengangkat dua jari sejajar dengan matanya.

Ran tersenyum lebar, entah mengapa dia begitu senang mendengar kata-kata yang Rania ucapkan barusan, "baik, Kakak percaya padamu."

Rania menemani Ran makan malam, sedang dia sendiri hanya minum coklat hangat saja, "kamu gak makan Dik?" Tanya Ran.

"Aku kan udah makan tadi, masih kenyang." Jawabnya.

Namun tiba-tiba sebuah sendok berisi makanan tersodor ke mulutnya, "ayo a, buka mulutmu," ucap Ran.

"A-apaan sih Kak, aku gak mau," tolak Rania sambil bergerak mundur.

"Kenapa? Masakan Kakak gak enak kah?" Tanyanya polos, dia menatap makanan di sendok tersebut, lalu menyuapkan ke mulutnya sendiri, "hm, ini enak ko." Gumamnya pelan.

"Aku kan udah bilang kalau aku kenyang," dalih Rania sembari menyeruput coklat panas di gelas keramik yang ia pegang.

"Iya iya, gak enak makan sendiri kaya gini," keluhnya dengan wajah mematut, dia memainkan sendok dengan sebelah tangannya.

Rania melirik Ran dari ujung matanya, Pria itu nampak kembali sedih, 'sebenernya ada apa dengan orang ini, susana hatinya benar-benar bisa berubah dalam sekejap mata, haish susah payah aku menghiburnya barusan.' Keluh Rania dalam hati, dia benar-benar di buat kewalahan oleh sikap Ran yang terkadang tak ubahnya seperti anak SD.

"Kakak udah kenyang," ucapnya sambil membawa piring yang masih tersisa banyak isi di dalamnya.

"Tapi makanannya masih banyak," komentar Rania.

"Biarin aja, toh gak akan habis juga di makan sama Kakak sendiri," ucapnya tanpa menoleh, saat ini dia tengah mencuci piring bekasnya makan, berikut bekas Rania tadi.

"Ya udah terserah Kakak deh," Rania tak mampu berkata-kata lagi, dia lantas bangkit hendak menuju kamarnya, namun saat dia hendak menutup pintu tiba-tiba Ran berdiri tepat di depan kamarnya membuat Rania terkejut, seketika pikiran buruk melintas di kepalanya.

"Kakak ngapain?" Pekiknya karena terkejut.

"Bukannya kamu bilang mau mencopot foto-foto itu dari dinding," tunjuk Ran, "biar Kakak bantu."

Haish, Rania mendesah pelan, "jangan sekarang Kak, besok aja aku ngantuk." Dia pura-pura menguap, agar Ran percaya pada kata-katanya.

"Ah baiklah, kalau begitu selamat malam adik," Ran tersenyum aneh.

Rania mengangguk lantas menutup pintu, dia memutar bola matanya jengah, kemudian melempar diri ke atas ranjang, menghadapi orang seperti Ran ternyata butuh kesabaran ekstra.

Keesokan harinya, Rania membuka mata dia melihat samar-samar wajah seseorang tepat di depan matanya, 'siapa itu? Apa Arkan?'

"Adik, cepat bangun bukannya kamu harus bekerja!" Mendengar kata-kata itu refleks Rania pun terbangun.

Tampak Ran duduk di samping ranjang Rania, entah bagaimana dia bisa masuk ke kamar Rania, "Kakak, sedang apa Kakak disini?"

"Membangunkanmu, ini sudah jam tujuh kamu lihat," tunjuk Ran pada sebuah jam kecil di atas nakas.

'Sial aku terlambat, seharusnya pukul 6:30 aku harus sudah berangkat,' keluh Rania di dalam hati sambil memijat keningnya.

"Tapi pintunya di kunci kan, kenapa Kakak bisa masuk?"

Ran nyengir kuda, "aku punya kunci cadangan."

Rania melotot tajam, "Kakak, apa Kakak sadar apa yang Kakak lakukan itu salah, aku ini seorang wanita dan Kakak seorang Pria dewasa, tidak seharusnya Kakak masuk ke kamar wanita sembarangan." Bentak Rania.

"Tapi aku Kakakmu, apa aku juga tidak boleh masuk? Dimataku kamu hanya anak kecil, bukannya wanita." Ucapnya, wajahnya terlihat serius.

'Astaga, ingin rasanya aku meremas kepala anak ini, otaknya terbuat dari apa sih? Dia benar-benar bodoh.' Rania mengepalkan tangan merasa geram, namun tak bisa berbuat apa-apa.

"Tetap saja Kak, meski aku adikmu itu juga tidak boleh, kita berbeda jenis kelamin, oke." Rania mencoba membuat Ran mengerti.

Ran menundukkan pandangannya, "oke, maaf Kakak yang salah, Adik jangan marah ya, Kakak janji Kakak tidak akan masuk ke kamar Adik sembarang lagi." Ucapnya bersungguh-sungguh.

"Iya aku percaya, tapi Kakak harus mengembalikan kunci itu dulu," Rania mengulurkan tangan meminta kunci yang Ran pegang, walau enggan Ran tetap menyerahkan benda tersebut ke tangan Rania.

"Oh ya Adik, Kakak sudah mencopot semua foto itu dari dinding," ucapnya kembali riang, dia menunjuk ke dinding yang memang kini sudah bersih tanpa satu pun foto Arkan yang terpajang.

"Oke terimakasih Kak."

"Kalau begitu, Kakak akan membuang foto-foto ini ke tempat sampah," ujarnya sembari bangkit, kemudian membawa kotak kardus kecil berisi foto-foto Arkan.

"Tunggu Kak, biar aku saja." Ran yang semula hendak berlalu langkahnya terhenti seketika.

"Kenapa, kamu masih tidak rela membuang foto-foto ini? Kamu masih suka padanya?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!