Dia memicingkan matanya, melihat kegugupan di wajah Rania, dia lantas berjalan mendekat, menyisir tempat Rania berdiri saat ini.
Deg...Deg... Jantung Rania berdegup kencang, perasaan takut sekaligus cemas berkumpul dalam hatinya, tanpa terasa keringat sudah membanjir di seluruh tubuhnya.
Rania berpura-pura bersikap biasa saja, berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan melakukan pekerjaannya semula.
"Oke, sudah cukup. Ayo kita keluar, tempat ini tempat terlarang bagi semua orang tidak baik kita berlama-lama disini." Ujarnya, setelah dia tak menemukan hal aneh di tempat ini.
"Baik Nyonya." Rania pun akhirnya bernapas lega, karena Bibi Betty gagal menemukan keanehan di dalam kamar tersebut. Rania berjalan mengekor di belakang sang kepala pelayan dengan bibir tak henti-hentinya tersungging tipis, karena separuh rencananya telah berhasil.
Malam harinya, Rania tengah berbaring di atas ranjang, dia menatap kunci kamar dalam genggamannya, pikirannya menerawang jauh. Mengingat masa-masa hidupnya sebagai Allea, hidupnya terbilang serba kecukupan meski tidak se-kaya Arkan, namun juga tidak bisa di bilang orang tak punya. Terbukti dengan perusahaan peninggalan orang tuanya yang Ia satukan dengan perusahaannya Arkan, namun perusahaan itu sudah tak mungkin Ia dapatkan kembali setelah dia pindah tubuh ke tubuh Rania, yang bisa Ia ambil, hanya sebuah kalung berlian dan selembar akta tanah warisan dari Ibunya, yang tidak di ketahui Arkan.
Rania menghela nafas berat, entah dia harus bersyukur atau apa dengan kehidupannya saat ini, kehidupan yang amat jauh dari kehidupan dia sebelumnya. Kamar kecil dengan ranjang berukuran kecil pula, pakaian sederhana dan uang yang tak seberapa, hidupnya memang tak terlalu banyak beban pikiran, namun juga penuh perjuangan.
Rania melirik jam bergambar Hello Kitty warna merah muda yang tergantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 21:00 PM. Aneh, biasanya Ran akan pulang sebelum dia pulang, namun sudah selarut ini batang hidungnya pun belum nampak.
"Tumben banget bocah itu belum balik jam segini?" Gumam Rania pelan, perasaannya sedikit risau, dia lantas bangkit dan memutuskan pergi mencari Ran ke tempat kerjanya.
Rania pergi dengan menunggangi sepeda listrik yang Ran belikan untuknya beberapa hari yang lalu, jalanan masih cukup ramai hingga tak membuat Rania takut. Tak butuh waktu lama, dia pun telah sampai di salah satu Restoran tempat Ran bekerja, dia bekerja sebagai kurir tukang antar makanan sedang di waktu-waktu tertentu dia juga sering ikut membantu mengangkat barang-barang belanjaan, seperti yang Rania saksikan saat ini. Ran tengah memanggul satu karung beras di pundaknya. Rania hanya melihat Ran dari kejauhan, dia tak berani menyapa ataupun mendekat.
'Ternyata dia masih kerja, sebaiknya aku tak mengganggunya.' Gumamnya dalam hati, Rania kembali mundur dan berdiri mengawasi di jarak yang cukup aman.
Tampak Ran sejenak berhenti dari pekerjaannya, dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dan tak lama kemudian, Ponsel Rania pun berdering.
'Halo Adik, kamu sudah tidur?' suara Ran di balik telpon.
"Belum Kak, kenapa Kakak belum pulang?" Tanya Rania pura-pura tidak tahu, padahal dia tahu semuanya.
'Hari ini Kakak akan pulang malam, kamu tidurlah lebih dulu. Oh ya, untuk makan malam Kakak sudah menyiapkannya di kulkas, kamu tinggal angetin aja.' Tambahnya, dia tampak melihat kesana kemari, mungkin takut ketahuan kalau dia tengah berbicara di telepon.
"Iya Kak, apa Kakak udah makan malam?" Tanya Rania.
Emh, Ran tampak menyentuh perutnya, dia tersenyum lemah, 'Ini, Kakak lagi makan bareng temen-temen,' dalihnya berbohong.
"Hey Ran, ngapain kamu disitu?! Cepat sedikit, kerjaan masih banyak ini!" Tegur salah seorang Pria, yang mungkin adalah manager restoran tersebut.
"Baik Pak!" Sahut Ran setengah berteriak, 'Adik, udah dulu ya, temen Kakak udah manggil tuh, kamu tidur duluan aja ya. Selamat malam, Kakak menyayangimu.' Dan panggilan pun terputus.
"Dasar bocah tukang bohong, bisa-bisanya dia berbohong begitu padahal aku bisa melihat semuanya." Rania menatap nanar punggung Ran yang perlahan menjauh.
Rania tak langsung pergi, dia tetap berdiri di tempat yang sama, mengawasi Ran yang masih nampak sibuk dengan pekerjaannya padahal jam hampir menunjukkan pukul 22:15 PM.
Brak...!! Suara sebuah benda terjatuh membuat mata Rania sontak menoleh ke asal suara tersebut, "kamu apa-apa sih, kalau sampai rusak atau pecah gimana?! Kamu tahu, harga barang yang di beli bos untuk restorannya ini bukan barang-barang murahan, kalau sampai ada yang rusak atau tumpah, maka gaji kamu akan di potong!" Ancamnya dengan nada keras.
"Ma-maafkan saya Pak, saya tidak sengaja. Perut saya lapar, saya belum makan malam jadi tenaga saya agak berkurang, jadi sekali lagi saya minta maaf, tolong jangan potong gaji saya," ternyata itu suara Ran, nada suaranya terdengar ketakutan bercampur memelas.
"Ya sudah, kamu boleh pulang deh, toh ini juga sudah malam, biarkan yang lain yang menyelesaikannya." Ucapnya.
"Terimakasih Pak." Ran bergegas bangkit, dan membereskan benda yang tak sengaja Ia jatuhkan tadi.
"Ini uang lemburanmu, jangan lupa beli makan malam, jangan sampai kamu kena penyakit lambung." Ucapnya sembari menyodorkan sebuah amplop coklat pada Ran, yang tentu saja dia terima dengan senang hati.
"Terimakasih Pak." Lagi-lagi dia berucap kata yang sama, wajahnya nampak sumeringah, "adik pasti akan senang, aku akan membelikan pakaian baru untuknya besok, uangnya harus aku bagi tiga, satu untuk membayar cicilan sepeda, yang ke dua untuk makan sehari-hari, dan yang ke 3 untuk membelikan keperluan adik." Gumamnya sambil menghitung dengan jarinya.
Hati Rania merasa tersayat, sebegitu sayangnya Ran pada Rania, dia mencengkeram dadanya yang terasa sesak, air mata menetes begitu saja tanpa dia sadari. Entah bagaimana jika dia tahu, kalau orang yang dia sayangi ternyata telah tiada, dan orang yang di hadapannya adalah orang yang berbeda.
Rania menyeka air mata yang tergenang di ujung matanya, lantas berseru, "Kakak!" Teriaknya, membuat Ran yang semula tengah fokus dengan pikirannya sendiri sontak menoleh.
"Adik! Ngapain kamu disini?" Dia tampak terkejut.
"Aku gak bisa tidur, jadi aku iseng jalan-jalan diluar, eh gak tahunya malah sampai disini," Rania mengangkat bahunya ringan.
"Dasar, lain kali gak boleh jalan sendiri malam-malam, bahaya! Kalau sampai ketemu sama si Juno, gimana?" Ran menjentikkan jari di dahi Rania, dengan tampang kesal.
"Disini kan rame, kalau ketemu dia tinggal teriak aja. Lagian aku bisa jaga diri sendiri, Kakak gak perlu khawatir," Rania tersenyum meyakinkan, "Kak, aku beli roti sama susu Kakak mau?" Tawar Rania.
"Buat Kakak?" Dia tampak tak percaya, sambil menunjuk ke diri sendiri.
"Iya lah, masa buat tetangga," ujar Rania menggeleng tak percaya.
"Hehe, terimakasih adik. Kakak sangat senang, entah kenapa kamu banyak berubah, namun Kakak sangat senang," Ran tersenyum lembut sambil mengusap kepala Rania lembut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments