Bab 7 - Bertengkar

Seruan Arkan membuat langkah Rania seketika terhenti, dia berdiri tanpa menoleh.

"Kamu pelayan baru itu kan?" Tanyanya.

"Iya Tuan," jawab Rania mengiakan.

"Oke, kamu boleh pergi sekarang." Ucapnya.

Rania menghela napas lega, awalnya dia berpikir mungkin, Arkan menyadari sesuatu namun nampaknya tidak begitu.

"Baik Tuan, saya permisi dulu." Rania berlalu pergi, Arkan memperhatikan punggung Rania yang perlahan menghilang di balik dinding.

"Ada apa Ar, kenapa kamu liatin pelayan sampe segitunya?" Teguran Gwen masih dapat Rania dengar dari luar ruangan itu.

"Tidak papa." Tepis Arkan, hanya itu yang dia katakan.

"Cih dasar, ingin sekali aku mencekik mereka dan ku cincang tubuhnya lalu aku buang ke laut," gerutu Rania sembari berjalan turun.

"Hey Rania!" Panggilan seorang wanita yang juga berprofesi sama seperti dirinya, Rania menoleh, tampak gadis seusianya datang menghampiri, dia tampak membawa ember dan alat pel lantai.

"Hay, maaf aku belum kenal kamu, siapa nama kamu?"

"Cih, kamu beneran gak ingat aku?" Dia menyipitkan mata dengan sinis.

"Hah, gak lah emang kita pernah ketemu?" Tanya Rania bingung.

"Kita kan satu SMP masa kamu lupa." Dia mengingatkan.

"SMP? Maaf aku lupa soal itu," Rania menggeleng tak berdaya.

"Haish ya sudahlah," dia menyodorkan tangannya dan Rania pun menyahutinya diiringi seulas senyum tipis di bibirnya, "aku Siska."

"Aku Rania." Jawab Rania.

"Aku sudah tahu," sahutnya sambil menyenggol pundak Rania menggunakan lengan bagian atasnya.

"Haha iya, aku hanya memperkenalkan diri lagi saja," balas Rania.

Siska menoleh kesana kemari dengan pandangan waspada, "apa tujuan kamu datang kemari?" Bisiknya.

"Apa?" Rania menatap bingung.

"Ck sudahlah, kita sama seperti wanita yang ada di atas itu, namun cara kita berbeda," cibir Siska sembari melipat tangan di dada.

"Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu, aku datang kesini murni untuk bekerja tidak ada maksud lain," tegas Rania menepis semua tuduhan yang Siska layangkan padanya, siapa tahu ini hanya sebuah jebakan yang orang lain sengaja buat untuknya.

"Ya sudah kalau begitu, setidaknya aku hanya punya satu saingan," dia menengadahkan kepala ke atas, merajuk pada Gwen.

"Kau menyukai Tuan Arkan?!" Mata Rania menatap curiga.

Dia terkekeh pelan, "siapa yang tidak suka dengan Tuan, sudah tampan, kaya, apa lagi dia sekarang jadi duda, beh...," Ucapnya disertai senyuman aneh.

Rania mengernyit jijik, "apa kamu pikir Tuan Arkan akan suka sama kamu, kita dan dia itu jauh berbeda." Rania mencoba mengingatkan.

"Hah, jika Pria sudah kelaparan dia tidak akan mampu membedakan kasta, pada hakikatnya kita sama-sama wanita, lagi pula aku ahli dalam hal itu, hehe."

'Ih, dasar wanita gila. Kenapa BiBi Betty nerima orang kaya gini,' keluh Rania dalam hati.

"Apa yang sedang kalian gosipkan disini?!" Teguran Bibi Betty membuat Rania mau pun Siska terlonjak saking terkejutnya, refleks mereka menunduk mengkerut takut. Takut, jika ketahuan tengah membicarakan hal-hal yang kurang sopan tentang majikan mereka.

"Ka-kami sedang membicarakan pekerjaan, Nyonya. Saya sedang memberitahu Rania soal pekerjaan," dalih Siska memberi alasan.

Mata Betty memicing tajam, wanita paruh baya itu tak melepaskan pandangannya dari dua orang anak didiknya, "bukan tugasmu mengarahkan pekerjaan padanya, kau hanya perlu melakukan pekerjaanmu sendiri," tegasnya.

"Ma-maafkan saya Nyonya, saya hanya ingin lebih mengakrabkan diri dengan Rania," dia kembali membela diri, sedang Rania hanya membisu di tempat, dia tak perlu membela diri toh dia gak salah sama sekali, pikirnya.

"Oke kalau begitu, tapi harus kalian ingat, dinding pun punya telinga, belum lagi di seluruh rumah ini di penuhi mata yang tak terlihat, jika kalian tertangkap tengah membicarakan hal-hal yang kurang pantas, maka bersiaplah pergi dari sini." Dia memperingatkan keduanya.

"Baik." Rania dan Siska pun berpencar, Rania kembali pada pekerjaannya, pun dengan Siska, akan lebih baik kalau mereka tidak bertemu lagi pikir Rania.

Sore harinya, langit mulai berubah jingga, semilir angin menerpa dedaunan tanaman hias yang berjejer sepanjang jalanan yang Rania lalui, dia ingin segera sampai di rumah sebelum Ran. Pasalnya, dia belum memberi tahu Ran kalau dia kini mengambil pekerjaan, entah bagaimana reaksinya jika dia tahu.

Ceklek... Rania membuka pintu, rumah masih nampak sepi, itu berarti Ran belum pulang, Rania menghela nafas lega sembari menghempaskan diri di sopa, melepas penat yang bergulung di pundaknya, namun tanpa terasa Ia pun terlelap.

"Adik, kenapa kamu tidur disini?" Seseorang mengguncang bahu Rania sembari menyerukan kata-kata yang asing di telinganya.

"Apaan sih Ar, adik-adik," Rania menepis tangan Ran yang dia pikir adalah Arkan.

"Ar, siapa Ar?" Pertanyaan itu sukses membuat Rania tersadar, dia membuka matanya, tampak Ran berdiri di hadapannya dengan pandangan aneh.

Rania menelan salivanya, otaknya berputar mencari celah untuk berbohong, "eh, Kakak udah pulang? Aku ke tiduran di sopa, Ar itu karakter anime yang aku tonton," dalih Rania memberi alasan.

"Oh," Ran membulatkan gerak bibirnya, "kamu habis darimana?" Dia melirik tas selempang yang tergeletak di atas sopa samping Rania.

"Hah, aku gak dari mana-mana ko."

"Yakin?" Ran masih tampak curiga.

Rania menghela nafas ringan, "oke, aku mau jujur sama Kakak, aku sekarang kerja."

Ran terdiam, wajahnya nampak datar, Rania mendongak menatap air muka Ran yang nampak berubah dalam sekejap mata, "aku sudah dewasa Kak, aku punya kebutuhanku sendiri, aku tidak ingin selalu meminta uang dari Kakak. Aku ingin menghasilkan uangku sendiri." Jelas Rania.

"Kalau kamu butuh uang, kamu tinggal bilang sama Kakak, kamu gak perlu kerja sendiri. Katakan sama Kakak, kamu butuh uang berapa?"

"Minta sama Kakak, emangnya Kakak punya? Bahkan untuk makan sehari-hari saja kita sulit Kak." Seketika Ran terdiam, matanya menyiratkan kesedihan, agaknya perkataan Rania cukup menyinggung perasaannya.

"Kamu benar, Kakak memang tidak mampu, Kakak minta maaf," lirihnya, dia mundur perlahan.

"Kak, aku tidak bermaksud begitu, aku hanya--," Ran mengangkat telapak tangannya, mengisyaratkan bahwa Rania tak perlu menjelaskan apa pun.

"Kak Ran," panggil Rania, namun pria itu hanya diam sembari berlalu pergi.

"Haish, sepertinya perkataanku sudah melukai hati pemuda polos itu, ck." Rania berdecak kesal, memang dia akui, perkataannya sudah salah tadi, tapi sungguh dia tak bermaksud untuk melukai hati Ran.

Malam harinya, Rania terbangun karena merasa haus, waktu masih menunjukkan pukul 22:00 PM. Dia berjalan ke dapur, dan melihat tudung saji masih di posisi yang sama, dia menilik isi di dalamnya yang ternyata masih sama tak kurang sedikit pun.

"Anak itu gak makan," decak Rania kesal, dia bingung harus membujuk Ran dengan cara apa, dia tak pernah punya saudara jadi dia tak tahu harus berbuat apa.

Rania berjalan menghampiri pintu kamar Ran yang tertutup rapat.

"Kak Ran, apa Kakak sudah tidur?" Tanya Rania di iringi ketukan di pintu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!