Tak ada sedikitpun yang terlewatkan, Asong berhasil membuat Lusi terbang berkali-kali atas perlakuannya.
"Sayang ampun, aku menyerah," lenguh Lusi, tetapi Asong masih terus melancarkan serangannya dari berbagai arah yang ia sukai.
"Kau adalah canduku sayang, tidak ada ampun bagimu, kau membuatku ingin melakukannya berkali-kali," rancau Asong saat menghentakan tubuhnya dan mendominasi permainan.
Kedua inti mereka masih menyatu, Asong merasakan hangat miliknya di dalam tubuh Lusi.
Keduanya melebur dalam rasa bahagia dan cinta yang saling berbalas satu sama lain.
Seusai permainan panas mereka, keduanya membersihkan diri seraya merendam dalam bathub yang berisi buih sabun.
Asong membelai lembut rambut Lusi yang basah dan di penuhi busa sabun, ia melakukannya dengan perasaan dan kasih sayang.
"Aku ingin selalu bersamamu seumur hidupku," bisik Asong ketika tubuh mereka sama-sama basah terendam air.
Asong merekatkan pelukan dari belakang Lusi, dan gadis itu balas menggenggam kedua lengannya yang terasa licin oleh air yang bercampur cairan sabun tersebut.
"Aku juga, hanya maut yang bisa memisahkan kita," balasnya lirih, membuat hati Asong terasa damai dan tentram berada di dekat istrinya.
"Sayang, sebetulnya kita pernah berjumpa sepuluh tahun yang lalu," ujar Asong, membuat Lusi mengerutkan keningnya.
"Kapan?" Lusi balik bertanya karena bingung, Asong terkekeh menatap ekspresi wajah istrinya yang begitu polos, lucu, dan menggemaskan meski usia Lusi akan menginjak 20 tahun.
"Aku adalah badut yang memberikanmu bingkisan makanan, apa kau ingat?" Kali ini Asong menyebutkan identitasnya terdahulu, Lusi terdiam sesaat dan tertawa.
"Oh, jadi paman badut itu, kau!" Lusi tertawa geli sambil mencubit hidung suaminya manja.
"Iya, itu aku, kau dulu begitu jelek!" ledek Asong sambil mendekatkan ujung hidungnya dengan hidung Lusi.
"Kau juga!" Lusi memutar kedua matanya malas, dan Asong balas menggelitiki pinggangnya.
Malam itu adalah malam yang sangat romantis bagi Lusi dan Asong di awal pernikahan mereka.
...
Keesokan harinya, seperti biasa, Asong hendak menjalankan rutinitasnya sebagai seorang pemimpin perusahaan CyberSaga.
Ia tak ingin terkalahkan oleh pesaing. Sampai-sampai tak ada waktu santai bagi Asong saat sebelum dirinya menikahi Lusi.
"Sayang, kau mau berangkat?" tanya Lusi yang baru saja menggeliatkan tubuhnya dengan malas.
Saat itu, Asong sudah terlihat gagah dan rapih di balik pakaian formal yang di kenakannya.
"Ya, aku harus pergi ke perusahaan, kau tetap disini ya, kalau kau perlu sesuatu minta lah kepada pelayan Rui," ujarnya sambil membetulkan dasinya yang agak miring.
Lusi beranjak dari tidurnya, lalu melangkah mendekati Asong yang masih bersolek, kali ini Asong tengah menata rambut yang di sisir ke belakang dan sedikit di buat kelimis.
Gaya itu mencerminkan kewibawaan yang tinggi, karena ia di tuntut harus selalu terlihat rapih dan berkelas.
Asong memberikan senyuman hangat pada Lusi saat ia mendekati lalu mendekap tubuh istrinya. Meskipun kesibukan sebagai seorang pemimpin perusahaan, ia selalu mencoba untuk memberikan perhatian kepada Lusi.
"Jangan khawatir, sayang. Aku akan segera kembali, dan kita akan memiliki banyak waktu luang bersama setelah urusan bisnis selesai," kata Asong dengan penuh kasih sayang.
"Bisakah untuk hari ini kau menemaniku? aku ingin menemui Kakakku di Desa," ujar Lusi dengan bibir mungil yang mengerucut.
"Sayang, untuk apa? Bukankah Kakamu itu sudah jahat terhadapmu? Lalu, untuk apa kau menemuinya lagi?" cecar Asong dengan pertanyaan, dan Lusi merasa rindu kepada Liu Kang meski Liu Kang sudah berbuat jahat padanya. Namun, ikatan darah diantara keduanya mampu menggerakan hati Lusi.
Lusi berlutut di hadapan suaminya. "Sayang, aku mohon, tolong antar aku ke Desa, aku ingin menemuinya meski hanya sebentar, tolong!" rintihnya dengan sungguh-sungguh.
Asong menuntun lengan Lusi, dan membantunya bangkit. " baiklah sayang."
Asong tersenyum lembut saat melihat ketulusan dalam mata Lusi. Meskipun ia agak khawatir mengatur pertemuan Lusi dengan kakaknya yang telah berbuat jahat, ia tidak ingin melihat istrinya bersedih.
"Asalkan itu yang kau inginkan, sayang, aku akan selalu mendampingimu," ucap Asong dengan ketulusan hati. Ia mengerti bahwa keluarga adalah bagian penting dalam hidup seseorang, meskipun ada kesalahan di masa lalu.
Asong memutuskan untuk tak datang ke perusahaan atas permintaan Lusi, sehingga ia mengembankan tugas sementara kepada Lu Han, anak buah yang paling ia percayai diantara lainnya.
"Lu Han, bekerjalah dengan baik, jangan berbuat kesalahan sekecil apapun! ingat!" ucapnya dengan tegas pada Lu Han, pria itu mengangguk mantap.
"Baik Tuan, semua perintah Tuan akan saya laksanakan dengan baik," balasnya.
Saat Asong dan Lusi berjalan memunggungi, Lu Han tersenyum miring sambil memicingkan kedua mata kearah mereka berdua.
Di depan Asong, Lu Han adalah seorang anak buah yang paling setia dan sangat diandalkan, sehingga Asong sangat percaya kepadanya.
Pagi itu, Lusi dan Asong berada di ruang makan, keduanya mendapat pelayanan sepesial dari para maid, terutama pelayan Rui yang menjalankan tugasnya dengan sangat totalitas.
Terkadang wanita paruh baya itu selalu menatap Lusi dengan tajam, membuat Lusi gemetar dengan ekspresi wajahnya yang tegas, dingin, dan angkuh.
"Nyonya, tak usah ketakutan seperti itu," ujar pelayan Rui dengan anggun dan santai tetapi penuh perhatian dan hangat.
Asong tersenyum, karena ia sudah hafal betul karakter sang pelayan yang sudah mengabdi selama 8 tahun dengannya.
Pelayan Rui mengerti tentang apa saja yang di butuhkan Tuannya, meski bahasa tubuhnya terkesan seperti seseorang yang sangat berbahaya.
Pagi itu, suasana sarapan berjalan dengan lancar, meskipun ada ketegangan yang tak terucap. Asong berbicara dengan Lusi tentang rencana kunjungannya ke desa untuk menemui sang Kakak, dan dia berusaha memberikan dukungan.
"Tuan, apakah kalian butuh pengawalan?" tanya Lu Han seolah memberi perhatian pada Tuannya, Asong.
"Tidak perlu!" tolak Asong sambil merangkul pundak sang istri.
Mereka berdua berjalan keluar dari ruang utama mansion, di halaman, mobil mewah sudah di persiapkan.
Asong membukakan pintu mobil untuk Lusi. "silahkan, Permaisuriku," rayunya, hal itu membuat Lusi tersenyum tipis seakan merasa spesial di mata Asong.
Dengan perasaan bahagia, Lusi memasuki mobil mewah tersebut, dan Asong dengan cekatan memasuki sisi pengemudi. Mobil itu melaju pelan meninggalkan mansion mewah mereka.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju desa tempat tinggal Liu Kang. Asong menjaga kecepatan mobilnya dengan hati-hati, sementara Lusi duduk di sampingnya, sesekali menggenggam erat tangan Asong.
...
Tak butuh waktu lama, mereka tiba di Desa Liuyuan.
Desa yang masih terlihat asri, dengan aktifitas para pedagang di sekitar pasar, dan hilir mudik para pejalan kaki.
Jalan setapak menuju kawasan persawahan yang membentang, di jalur kirinya tepat sebuah area pemukiman penduduk yang masih menjaga kearifan lokal, disana lah Lusin pernah tinggal bersama Kakaknya, Liu Kang.
Suasana desa ini memancarkan kehangatan dan kedamaian.
Saat mereka sedang berjalan, tiba-tiba seorang pria tua menawari mereka untuk di ramal. "Silahkan, ramalan hariannya!" teriak Pak Tua itu dengan kartu tarot yang sedang di genggam olehnya.
Pria tua itu menghampiri Asong dan Lusi dengan kartu tarot yang menggoda rasa ingin tahu mereka. Dengan senyum ramah, mereka memutuskan untuk membiarkan pria itu meramal nasib mereka, meskipun dengan sedikit keraguan.
"Apa shio kalian?" tanya pak tua itu pada Asong dan Lusi.
"Monyet," jawab Asong.
"Kalau aku, anjing," timpa Lusi.
Pak tua itu mengocok kartu, sambil menyoroti kedua wajah Asong dan Lusi secara bergiliran.
Tarot-tarot itu tersebar di atas meja kayu tua yang dimilikinya.
Asong dan Lusi penasaran dengan hasilnya, mereka terdiam berharap akan mendapat ramalan yang baik.
Pak tua itu tampak serius sambil menggelengkan kepala, membuat Lusi dan Asong saling tatap satu sama lain.
"Kalian lihat ini, ini adalah api." Pak tua itu memperlihatkan kartu dengan lambang api, lalu ia membuka kartu lainnya. "dan ini, pisau," lanjutnya sambil memperlihatkan kartu dengan gambar pisau.
"Apa itu artinya, Kek?" tanya Lusi dengan rasa was-was.
"Kemalangan dimasa depan, kalian harus mawas diri dan berhati-hati," terang pak tua tersebut, kemudian ia membuka kartu lain dengan gambar yang tak kalah mencengangkan.
"Ini serigala, itu artinya ada seseorang yang berpura-pura baik di hadapan kalian, waspadalah," papar pak tua, lalu menatap Asong dengan tajam, terlihat dua cekungan di kedua pipi pak tua itu.
"Kau berada dalam bahaya, dan kau telah membawa marabahaya baginya!" sambungnya sambil menunjuk Lusi.
Mendengar ucapan sang Kakek, Asong merasa murka, seketika ia lebih memilih untuk tak mempercayai ramalan tersebut.
Saat sang Kakek terus mengoceh, Asong langsung menarik lengan Lusi.
"Sudahlah sayang, ucapan Pak tua itu hanya omong kosong!" kata Asong dengan penuh ketegasan mencoba menenangkan, sementara Lusi sangat yakin pada ramalan tersebut.
"Tapi sayang..." ucapnya langsung terjeda, Asong tak menghiraukan ocehan sang Kakek yang terus mewanti-wanti padanya.
"Ini sudah zaman modern, kita sudah tak perlu percaya ramalan!" Asong bersikeras meyakinkan istrinya.
"Tapi, aku takut semua akan menjadi kenyataan." Lusi terisak dalam dekapan Asong.
Ketika mereka berjalan menuju rumah Liu Kang, Lusi terus merenungkan kata-kata Pak Tua yang mengatakan ada bahaya di dekat mereka. Asong mencoba menenangkan istrinya dengan berpegangan tangan erat dan memberikan pelukan yang hangat.
"Jangan khawatir, sayang. Aku akan selalu melindungimu, tak ada yang akan membahayakan kita," kata Asong dengan penuh keyakinan.
...
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments