Ketika upacara pernikahan yang begitu singkat telah usai, keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati suasana di sore hari.
Kedua pasangan pengantin baru itu di kawal oleh beberapa anak buah Asong.
Lusi tak henti-hentinya mengembangkan senyum di bibirnya ketika Asong melingkarkan lengan kekarnya di bahu gadis itu, dan Lusi bergelayut dengan mesra pada pria yang sudah resmi menjadi suaminya kini.
"Hari ini begitu indah," bisik Asong seraya menatap wajah Lusi yang sangat cantik.
"Ya, aku rasa juga begitu." Lusi membalas dan mengangkat wajahnya, dengan cepat Asong mengecup kening Lusi.
Mereka berjalan perlahan menyusuri tepi jembatan yang di bawahnya mengalir Sungai Yangtze airnya tampak jernih dan tenang, mengikuti balkon yang memayungi tepi sungai tersebut.
Kedua pasangan pengantin baru itu berdiri sambil menikmati saat-saat indah bersama, berjalan di bawah matahari yang mulai meredup menuju senja.
Asong kini berada di belakang Lusi, lalu menempelkan dagunya di bahu gadis itu.
"Aku bahagia bisa memilikimu," bisiknya, hembusan napasnya terasa jelas menggelitik daun telinga Lusi.
"Ya, aku pun demikian," balas Lusi dengan senyuman yang terus mengembang ketika matahari mulai tenggelam.
Lusi dan Asong kembali menyusuri jalan sambil menikmati hembusan angin di senja hari.
Di sudut lain, tepatnya di pinggir jalan raya sekitar kota, ia melihat beberapa anak-anak remaja jalanan yang tengah berkumpul.
Asong memeluk pundak Lusi, dan berjalan kearah mereka.
Tanpa canggung dan ragu, Asong duduk di tengah- tengah mereka, hal itu tentu sangat menganggetkan kelompok pemuda jalanan itu.
"Ayo kita pergi dari sini!" ajak Rain kepada kawan-kawannya, lalu mereka hendak beranjak.
"Eh, eh, kalian mau kemana?" Asong berupaya mencegah langkah mereka, Rain cs menoleh serentak kearah Asong berada saat ini.
"Kemari!" Asong melambaikan tangan pada mereka, dan semuanya kembali melangkah dengan ragu, lalu duduk saling berdekatan satu sama lain.
"Ada apa, paman?" tanya Afei mewakili kawan-kawannya.
Asong menatap mereka dengan santai berupaya berbicara dari hati ke hati.
"Sejak kapan kalian lontang lantung di jalanan seperti ini?" tanya Asong, awalnya mereka ragu untuk menjawab pertanyaan dari Asong. Namun, dengan upayanya, Asong berhasil membuat para pemuda itu menceritakan latar belakang mereka.
Hingga Asong mengangguk karena cukup puas mendengar penjelasan mereka satu persatu, sampai akhirnya, Asong menawarkan pendidikan gratis bagi mereka.
"Apa kalian mau lanjut sekolah?" tanya Asong, mereka saling lirik satu sama lain, kemudian mengangguk.
"Ya, kami mau, paman." mereka menjawab serentak, tetapi tidak dengan Rain, pemuda yang disinyalir menjadi ketua mereka.
"Untuk apa sekolah? Aku tidak butuh itu!" Rain bersikap berbeda dari kawan-kawan lainnya, Asong dengan bijak mengusap kasar rambutnya.
"Hei, sekolah itu penting, setidaknya kau menjadi pintar dan berguna!" ujar Asong, Rain menatap remeh dan terkekeh.
"Tapi aku tidak butuh! untuk apa? Presiden sudah ada, guru sudah ada, polisi sudah ada, dokter sudah ada, semuanya ada!" celoteh Rain membuat semuanya tertawa.
"Memangnya kau tak ingin menjadi salah satunya?" tanya Asong, dan Rain menaik turunkan bahunya dengan cepat.
"Aku tidak tertarik, biar saja hidupku seperti ini, aku bahagia, aku bebas!" ujarnya, dengan berbagai upaya, Asong mencoba membujuknya, tetapi tampaknya Rain terlalu keras kepala, sehingga Asong dan Lusi menyerah.
"Ya sudah, terserah kau saja, kami tak akan memaksa! di kasih pendidikan gratis tidak mau!" Asong yang putus asa beranjak, ia menggiring para pemuda itu terkecuali Rain, pemuda itu merasa geram terhadap Asong karena sudah mempengaruhi kawan-kawannya untuk melanjutkan pendidikan mereka.
"Ah, sialan!" pekik Rain, ia kini termenung seorang diri di tempat itu.
Tanpa disadari, Sam sedari tadi menguntit aktifitas Asong secara sembunyi-sembunyi.
Target Sam kini adalah Rain, pemuda yang sedang menyendiri di ujung jalan kota.
"Hahaha..." Sam tertawa sambil berjalan menghampirinya, Rain menatap penuh tantangan pada Sam.
"Kau mau menawari aku sekolah? aku tidak mau!" ucap Rain dengan geram, Sam duduk di sebelahnya dengan santai.
"Siapa bilang aku akan menawarimu sekolah? bukankah kau tak butuh itu?" tanya Sam sambil melempar seringainya, dan Rain mengangguk.
"Ya, aku tak butuh itu, yang aku butuh adalah uang yang banyak!" jawab Rain, mendengar itu Sam kembali tertawa.
"Hahaha...justru aku kemari ingin menawarimu uang yang berlimpah, kau mau?" tawarnya meng-iming imingi pemuda polos itu.
"Ya tentu saja aku mau, hidup tidak ada yang gratis, semuanya butuh uang, uang, dan uang!" Rain berucap penuh emosi dan ambisi.
Sam langsung menepuk kasar pundaknya."cerdas-cerdas! tanpa perlu sekolahpun kau sangat cerdas!" puji Sam, padahal ia memiliki maksud lain pada pemuda lemah itu.
"Lalu tujuanmu apa?" tanya Rain, ia terlalu jengah menghadapi orang-orang asing seperti Asong dan Sam yang sok akrab.
"Kau ingin uang, kan?" Sam kembali bertanya, dan Rain mengangguk.
Lalu Sam mempengaruhi Rain untuk menyerahkan salah satu organ tubuhnya, hal itu berhasil membuat Rain terhenyak.
"Apa?! aku harus menjual ginjalku?" tanya Rain merasa ragu, Sam terus meyakinkannya dengan iming-iming uang yang akan di dapatkan setelah itu.
"Apa aku masih bisa hidup dengan satu ginjal?" tanya Rain yang mulai tergiur dengan tawaran Sam.
"Ya tentu saja, kau masih bisa hidup dengan satu ginjal, dan kau bisa menikmati uang yang sangat banyak!" Sam kembali menegaskan, Rain sesaat terdiam mencoba mencerna bujukan Sam, dan akhirnya ia mengangguk sanggup.
"Baiklah, aku mau," kata Rain, Sam yang merasa usahanya berhasil, ia langsung memboyong Rain masuk kedalam mobilnya.
Mereka berangkat menuju markas Black Dragon, disana sudah banyak tawanan-tawanan lainnya, semuanya hendak menyerahkan atau menjual organ mereka secara ilegal.
Disana hadir beberapa Dokter yang bertugas dalam bisnis gelap mereka.
Para korban meneken beberapa surat persetujuan sebelum dilakukannya operasi untuk mengangkat satu ginjal mereka.
"Aku takut," kata Rain ketika Sam menyodorkan surat persetujuan untuk di tandatangani olehnya.
"Kau ingin uang yang banyak?" Sam kembali meyakinkan, dan Rain mengangguk meski penuh rasa ragu, ia membayangkan punya uang yang banyak seketika rasa sakit itu sirna terganti oleh harapan semu.
Rain, menandatangani surat tersebut, hingga operasi segera di lakukan.
Ia berbaring di meja operasi, dan jarum suntik menusuk ke dalam kulitnya, membuatnya tak sadarkan diri dalam sekejap di bawah pengaruh cairan anestesi tersebut.
Pisau bedah mulai melukai kulit perut Rain, dan pengangkatan ginjal segera di lakukan dengan sangat hati-hati oleh oknum Dokter yang bertugas.
Rain yang tidak lama setelah itu hilang kesadaran, terbangun dengan tubuh yang terasa lemah dan nyeri di satu sisi perutnya. Ia menyadari bahwa operasi pengangkatan ginjal telah sukses dilakukan. Meskipun ia menyesal, namun uang yang dijanjikan oleh Sam tetap menggoda pikirannya.
"Aduh." Rain yang lemah memegangi kepalanya, karena sudah kehilangan banyak darah pasca operasi pengangkatan ginjal tadi.
Namun, yang lebih mengejutkan, ia sadar bahwa ia tidak sendirian. Di kamar yang gelap dan kumuh, ia melihat beberapa tawanan lain yang telah menjalani operasi serupa. Mereka terbaring lemah dan merasa tersiksa, kehilangan organ vital mereka demi uang.
Tangisan para pemuda sebayanya menggema di dalam ruangan yang penuh dengan kesusahan dan penyesalan. Mereka bersama-sama merasakan pahitnya keputusan yang telah mereka buat.
"Kembalikan ginjalku!" jerit Rain, suaranya terpecah oleh rasa sesal yang dalam. Meskipun ia berteriak memohon, ia tahu bahwa tindakan yang telah ia lakukan tidak dapat dibatalkan.
"Paman..." teriaknya lagi, mencoba untuk bangkit dari tempat tidurnya yang dingin, namun tubuhnya terasa begitu lemah akibat operasi yang baru saja dilakukan.
Rain merasa seperti sebuah korban, terjerat dalam lingkaran keputusan buruk yang ia ambil, dengan harapan uang yang menggiurkannya. Namun, sekarang ia merasakan konsekuensi nyata dari tindakannya dan hanya bisa meratap dalam penyesalan yang mendalam.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments