Asih tak mau ambil risiko. Wanita itu memilih melipir turun ke tanggul. Dengan hati-hati ia melakukannya di tengah degup jantungnya yang tak karuan sebelum akhirnya ia kembali lari.
“Jangan lari kamu!” teriak pak Sanusi buru-buru menyusul turun.
Karena Asih terus berlari, pak Sanusi tak segan melempar pisau di tangan kanannya ke Asih. Tepat bersamaan dengan itu, Asih menoleh, hingga mata pisau yang masih dihiasi darah ayam itu seolah akan mengenai bola mata kiri Asih.
Dunia Asih seolah berhenti berputar detik itu juga, tapi Asih masih terus berjuang dan memaksimalkan kedua kakinya dalam berlari.
“Ini aku harus ke mana?” bingung Asih terus melewati jalan setapak di antara rerumputan tinggi. Yang lagi-lagi membawanya kembali sampai di depan rumah sang bibi.
“Kok ke sini lagi?” lirih Asih tidak bisa untuk tidak menangis. Padahal bisa Asih pastikan, tadi dirinya lari ke arah yang meninggalkan keberadaan rumah sang bibi. Namun lagi-lagi, seolah sudah diikat dengan kekuatan tak kasatmata, Asih kembali ada di sana.
“Mau ke mana kamu?!” sergah pak Sanusi dan itu ia dapati langsung membuat Asih ketakutan.
Asih masuk ke rumah sang bibi, kemudian buru-buru menutupnya. Asih amati, rumah sang bibi yang benar-benar sepi sekaligus gelap. Tak ada tanda-tanda sang bibi ada di sana. Terakhir itu, ketika ia menolak hidangan yang sang bibi berikan.
Renungan Asih terhadap keberadaan sang bibi usai, ketika dari belakangnya dan itu pintu kayu yang sudah tua tapi tengah berusaha dibuka dari luar. Asih yakin itu ulah pak Sanusi. Terbukti, suara menakutkan pria itu baru saja memintanya untuk membukakan pintu.
“Braggggg!” Kali ini dari luar pintunya seolah sengaja ditendang.
Di tendangan ketiga, kaki pak Sanusi bisa menembus pintu kayu yang memang sudah selayaknya diganti. Detik itu juga Asih lari dari sana sembari mencari apa pun yang bisa menjadi senja*tanya.
Namun sekali lagi, di sana tidak ada senj*ata karena rumah bibi Sujiah memang seperti rumah tak dihuni. Karena tidak ada pilihan lain, Asih sengaja meraih sekaligus mengangkat kursi di dapur yang ia lemparkan mengenai wajah pak Sanusi.
“Aduh .... dasar, wanita kur*ang ajar!” kesal pak Sanusi yang memang langsung terjatuh dalam keadaan terentang.
Sementara itu, lagi-lagi yang Asih lakukan ialah berlari. Apalagi, pak Sanusi langsung bangkit kemudian menyusulnya lagi. Asih keluar lewat pintu belakang, membuatnya teringat bahwa di pekarangan depan sana tengah diselenggarakan ritual. “Ini aku harus bagaimana?” bingung Asih refleks berhenti tepat di bibir pintu. Ia nyaris mundur, kembali masuk ke rumah sang bibi, tapi hanya berjarak satu meter lagi, pak Sanusi bisa meraihnya.
Mengenyampingkan ketakutannya pada ritual di pekarangan dan tadinya dipimpin pak Sanusi, Asih nekat lari keluar.
“Buuuuk!”
Asih refleks menghentikan langkahnya. Terdengar suara kesakitan dari pak Sanusi setelah suara hantaman yang juga membuat Asih berhenti lari karena refleks memastikan.
Bukan bibi Sujiah apalagi pihak Aqwa, melainkan wanita yang tadi menjadi bagian dari ritual! Wanita muda yang sudah sampai menutup dada menggunakan kain jarit, menatap Asih penuh kepastian.
“Ayo kita lari! Ayo kita pergi dari sini!” ucap si wanita sambil mengulurkan tangan kirinya kepada Asih.
Di tengah situasi layaknya sekarang, Asih benar-benar krisis kepercayaan. Terlebih jika melihat penampilan si wanita yang sampai detik ini tidak memakai alas kaki layaknya Asih. Juga, Asih yang pernah dengan cepat percaya kepada kaum ikan. Namun, baru saja, tangan kanan Asih diraih kemudian digenggam erat oleh si wanita.
“Kita harus lari!” ucap si wanita.
Namun sampai detik ini, walau Asih juga sudah langsung ikut lari, Asih tetap waspada.
Mereka menelusuri jalan yang sebelumnya sudah Asih lewati. Membuat Asih penasaran, andai ia pergi bersama wanita yang mengajaknya, akankah mereka bisa keluar dari sana?
“Tempat ini memang jauh dari keramaian. Namun andai kita bisa melewati sungai Merah, kita bisa sampai ke pedesaan ramai, lebih cepat!” ucap si wanita dan sukses membuat Asih melongo.
“Hah? Kamu juga tahu sungai Merah?” refleks Asih mempertanyakannya.
Si wanita yang samai detik ini masih memimpin lari sambil menggenggam Asih, berangsur menoleh. Ia menatap Asih sambil mengangguk. “Iya, yang terkenal angker itu.”
“Beneran dekat dari sini?” sergah Asih masih sulit untuk percaya.
Asih dapati, si wanita yang berangsur mengangguk-angguk. Wanita itu berangsur mengajaknya naik ke tanggul bertanah merah bata. Mereka tak lagi lari. Mereka melangkah dengan sangat hati-hati.
“Tuh! Itu sungai Merah! Kelihatan, kan?” ucap si wanita.
“Sedekat ini?” Asih benar-benar tak percaya. Tak perlu waktu lama dan tidak sampai ada sepuluh menit, mereka sungguh sudah bisa melihat sungai Merah yang airnya tak lagi berwarna merah!
“Semudah ini? Padahal biasanya kalau aku kabur sendiri sangat lama. Perutku saja sampai besar,” ucap Asih refleks.
“Hah ...? Maksud kamu gimana? Jangan-jangan, kamu kena pengaruh guna-guna? Kamu asli mana, sih? Kamu orang sini juga? Terus, alasan kamu ada di sekitar kawasan pegunungan tadi, juga buat abors*i?” tanya si wanita yang kemudian mengenalkan diri sebagai Sukma.
“Kalau aku sih, dipaksa sama keluarga pacarku. Padahal aku sudah bilang, aku mau besarin anak ini sendiri,” ucap Sukma yang mendadak melow.
“Sukmaaaaa!” teriak beberapa orang dari belakang sana.
Detik itu juga, Sukma langsung panik. “Duh, itu orang tua pacarku sama pacarku. Gimana dong ini? Itu ada perahu! Kita dayung bareng-bareng, ya!” sergah Sukma lagi-lagi menarik Asih, membawanya dalam pelariannya.
“Airrrrrr! Sungai Merah! Haruskah aku masuk air dan menghabi*si semua orang jahat itu?” batin Asih benar-benar dendam khususnya kepada pak Sanusi yang sudah menjalani praktik abor*si bersekutu dengan wewegombel. “Tapi kok bibi mendadak menghilang, dan kenapa juga, rumah bibi jadi di sekitar sini?” pikir Asih lagi.
Sukma sudah lebih dulu menaiki perahu getek bambu. Sementara di belakang, beberapa orang masih berteriak memanggil-manggil namanya.
“Ayo!” Layaknya sebelumnya, Sukma juga dengan berani mengulurkan tangan kepada Asih. Yang mana kali ini, Asih juga dengan sigap menerima.
Masalahnya, tangan Asih yang lain justru ditahan sekaligus digenggam oleh tangan yang terasa dingin. Genggaman yang sudah langsung membuat sekujur tubuh Asih merinding.
“Innalilahi ... wewegombel!” teriak Sukma refleks melepaskan genggaman tangannya kepada Asih lantaran ia terlalu syok.
Asih yang sudah bisa menebak bahwa genggaman tangan dingin itu memang bukan dari manusia, berangsur menoleh. Benar, itu wewegombel berwajah seorang wanita yang sangat Asih kenali!
“Sih, jangan pergi, Sih. Tolong temani Bibi. Hihihihihi ... hahahahahaha!” ucapnya bersama tawa menggelegar.
Asih yang meski gemetaran ketakutan, juga menjadi berlinang air mata lantaran tak menyangka, sang bibi menjadi salah satu wewegombel di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Al Fatih
ayo asih,, gercep,, sudah ketemu sama sungai kan
2024-06-14
0
Sarti Patimuan
Semoga asih bisa selamat
2023-10-08
0
Rumini Parto Sentono
ikutan tegang bacanya.....
2023-10-06
0