“Ritual apa yang sedang mereka lakukan?” pikir Asih menatap penasaran ruang yang sampai detik ini masih ditutup rapat, selain pintu ruangan tersebut yang sampai dijaga oleh empat orang di depan pintunya.
Asih memutuskan untuk ke sana karena panggilan teror untuknya saja juga masih berlangsung. Kedua matanya tak bisa untuk tidak menatap penasaran ke sana terlebih pada kenyataannya, ia memang sangat penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi di sana, kenapa ritual yang diceritakan justru bertolak belakang dengan yang ia rasakan? Padahal sebelum ia menjadi ikan, teror yang ia rasakan hanya teror hantu biasa? Hantu-hantu yang menerornya hanya sengaja jail, setelah atau sebelum mereka mengganggu Aqwa. Karena kebetulan, Asih kerja sekaligus tinggal di rumah Aqwa.
“Ratu tidak boleh masuk ke tempat ibadah,” ucap ikan wanita dan sempat Asih tanyai. Ia yang awalnya ditinggal Asih berangsur menghadap karena kebetulan, Asih sudah sengaja menghentikan langkah.
Asih menatap penuh terka wanita ikan di hadapannya dan sampai sekarang terus saja menunduk sekaligus menyembunyikan wajahnya. “Memangnya kenapa? Bukankah istana ini berada di bawah kekuasaanku?”
Si wanita ikan berangsur mengangguk. “Karena Ratu, ratu kami dan bagi kami suci. Jadi Ratu tidak boleh memasuki ruang ritual karena ditakutkan, itu akan berakibat fatal untuk Ratu dan bangsa ini. Ibaratnya, ini sudah menjadi kebiasaan di sini.”
Menyimak itu, Asih jadi makin bingung. “Kalau saya, sebagai ratu kalian tidak boleh masuk ke tempat ibadah kalian, terus saya ibadah di mana?”
“Di kamar, Ratu. Di kamar Ratu sudah disediakan banyak fasilitas termasuk tempat ibadah karena kamar Ratu sendiri sangat luas!” yakin si perempuan ikan tadi masih sangat sopan.
Karena terlalu bingung, Asih tak langsung berkomentar. Namun karena kenyataan kini juga, ia jadi ragu untuk percaya pada apa yang ada di sana. “Ini memang kaumku. Mereka menganggapku sebagai ratu mereka, dan sejauh ini, aku diperlakukan dengan baik. Namun sampai detik ini juga, hatiku tetap sulit percaya,” batin Asih.
Yang membuat Asih makin tak percaya lantaran pakaian Aqwa yang ada di tempat tidurnya sudah tidak ada. “Pakaian pemuda itu mana?” tanya Asih tanpa menyebut nama Aqwa. Ia tak mau kaumnya tahu bahwa ia sangat mengenal Aqwa.
Si wanita ikan yang mengawalnya sudah langsung berkata, “Sudah dibersihkan oleh Panglima untuk kebaikan bangsa kita, Ratu.”
Mendengar itu, Asih langsung bengong. “Semuanya serba untuk kebaikan bangsa,” pikirnya merasa makin suli percaya situasi di sana. Asih takut, memang ada maksud lain, atau malah dirinya yang hanya dijadikan boneka bahkan tu*mbal.
Sementara di dalam ruang ibadah bangsa ikan yang awalnya sempat akan Asih terobos, pakaian Aqwa sungguh menjadi bagian dari ritua*l yang masih berlangsung.
“Melalui pakaian ini, dia akan selalu merasa tidak nyaman bahkan benci kepada Asih, hingga perpisahan menjadi hal yang akan selalu dia lakukan meski pada akhirnya, mereka sengaja dupertemukan,” ucap sang panglima sembari meletakan pakaian Aqwa di nampan dan di sekelilingnya sudah dihiasi semacam dupa yang mengeluarkan asap pekat.
Di sebelah kiri tapi lebih belakang panglima, lumut tersenyum puas. Ia yang memangku sebuah piring antik warna keemasan berornamen ikan, dan berisi layaknya sesaj*en, tersenyum puas. Namun tak lupa, bibirnya berbisik lembut, “Asih ....”
“Dengan begini, bangsa kita akan aman dan kamu bisa menjadi ratunya setelah pemuda itu kembali, kemudian memberimu calon penerus!” ucap panglima sambil menatap sang putri yang kali ini sudah langsung tersipu.
“Di sini enggak sepenuhnya aman,” yakin Asih dalam hatinya.
Namun Asih juga yakin, di mana pun ia berada, posisinya tetap tidak aman sebelum ia menemukan pelaku teror tak kasatmata kepadanya. “Bagaimana caranya agar aku bisa masuk ke tempat ritual itu? Aku benar-benar harus memastikan apa yang sebenarnya ada di sana.”
Asih merasa dirinya harus menghentikan teror yang ia rasakan telah mengikatnya, segera. Teror yang ia yakini bersumber dari tempat ibadah bangsanya. Masalahnya andai Asih memaksa masuk, Asih yang belum paham keadaan di sana, takut salah langkah dan malah melakukan kesalahan fatal.
Karena Asih juga merasa, bertahan di sana sama saja menum*balkan diri, Asih sengaja pergi. Asih akan kembali setelah ia menemukan cara agar ia bisa masuk ruang ritua*l tanpa dihalang-halangi apalagi ketahuan.
Kembali ke daratan, sebenarnya Asih memiliki satu tempat yang bisa dituju selain rumah Aqwa. Iya, Asih masih memilih seorang bibi yang usianya tergolong sudah tua. Rumah bibi Asih ada di desa lebih terpencil dan sudah beda kecamatan dari rumah keluarga Aqwa. Kini, mengandalkan jalan kaki di antara bisik tak kasatmata yang terus memanggilnya, Asih bertekad pergi rumah sang bibi.
Suasana malam terbilang masih ramai, tapi Asih berharap tidak ada teror lebih dari bisikkan tak kasatmata, apalagi ular. “Omong-omong tentang ular, ... hantu wanita di bawah jembatan itu—” Asih yakin memang ada yang tidak beres dengan Dewi. Masalahnya, kini ia yang dalam keadaan kuyup, justru ditatap aneh oleh setiap orang yang melihatnya.
“Jangan-jangan, mereka mengiraku tidak waras,” pikir Asih. Terlebih malam ini, bulan dalam keadaan terang benderang.
Setelah mengarungi perjalanan panjang di tengah malam yang makin larut, akhirnya Asih sampai di desa terpencil yang sangat sepi. Selain minim penerangan, di sana juga minim pemukiman. Andai memang ada, tampaknya malah tidak dihuni. Rumah berdinding bilik dan beratap anyaman daun nipah itu tampak tua, reyot, bahkan angker. Sekelas Asih yang memang masih memiliki darah bangsa ikan, jadi sibuk merinding. Belum lagi jika melihat sekitar dan berupa rumput li*ar yang tumbuh tinggi, menutupi setengah bagian setiap rumah.
“Ini desa apaan? Ini aku enggak salah alamat, kan? Kok malah mirip hutan.” Setelah makin takut, cahaya terang di depan sana dan baru keluar dari sebuah rumah yang sekitarnya tidak begitu tertutup rumput, seolah menjadi angin segar tersendiri untuk Asih.
“Alhamdullilah, ternyata masih ada kehidupan. Tapi kok, masa mereka betah tinggal di sekitar rumah penuh rumput sama semak-semak. Memangnya mereka enggak takut ada ular apa gimana. Masa iya, mereka sibuk banget sampai enggak ada waktu buat bersih-bersih rumah?” Asih merasa aneh, tak habis pikir, dan lagi-lagi janggal. Rasa janggal yang lagi-lagi membuat Asih merasa makin takut.
“Ya sudahlah, toh sebentar lagi sampai. Lurus sebentar lagi, terus belok kiri, sampai rumah bibi,” pikir Asih.
Yang membuat Asih makin merasa janggal, setiap yang keluar dari rumah, kompak membawa lampu jadu*l bersumbu kain dan berminyak bakar minyak tanah. “Bukankah sekarang, minyak tanah langka? Terus, kenapa semuanya kompak keluar dari rumah?” pikir Asih lagi.
Asih baru saja mengulas senyum dan siap menyapa ramah semua yang ada di sana. Karena seolah menyadari kedatangannya yang tak sampai membawa penerang, semuanya dan awalnya menunduk atau membelakanginya, perlahan menoleh kemudian menatapnya. Namun, betapa terkejutnya Asih lantaran semua wajah di sana pucat kehitaman, sementara setiap matanya berwarna putih dan hanya dihiasi sedikit hitam. Mata yang juga langsung melotot, seolah mereka sengaja mengusirnya.
“Inalillahi ....” Detik itu juga, Asih tergeletak di jalan tanah basah berwarna merah bata dan tak luput dari rumput lia*r.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Nengnong4 ²²¹º
duuuhh.. masa masuk kampung demit lagi c Asih🤔
2024-02-21
0
Firli Putrawan
ka ini blm ngerti s asih kasian
2023-10-01
0
kinanti
thor.... tolong si lumut juga d ganti namanya jadi parasit.... 😂
2023-09-28
0