“Asih ...?” ucap Gendis lirih dan masih menatap tak percaya Asih yang kini tampak layaknya ratu ikan.
“Aku pastikan, kamu akan merasakan penyesalan yang begitu besar. Penyesalan yang akan tetap kamu rasakan meski kamu berada di kehidupan lain setelah ini!” tegas Asih bersama tangan kanannya yang dihiasi panah berwarna keemasan. Kali ini, Asih tak membiarkan Gendis melarikan diri lagi. Karena melalui tekadnya, bahkan meski Gendis tampak begitu ketakutan, puncaknya hantu gob*log itu nyaris menghilang, anak panah yang ia lesatkan tepat mengenai jantung Gendis.
Detik itu juga Gendis terdiam. Tak ada lagi tingkah jahat dari hantu penasaran itu. Kedua matanya menatap sakit kepada Asih sementara semua sumber darah termasuk yang dari mulutnya, berangsur mengering. Bersamaan dengan itu, air di sungai Merah tak lagi berwarna merah. Air di sana kembali berwarna agak keruh.
“Sekarang kamu sama sekali tidak bisa mencari pemb*unuhmu. Padahal sebelum ini, kamu memiliki kekuatan untuk melakukannya,” ucap Asih lembut sembari menatap sendu kedua mata Gendis.
Melalui tatapannya bersama suara adzan magrib yang berkumandang, Asih memindahkan tubuh kaku Gendis ke dasar sungai. Gendis tak sepenuhnya mati. Hantu penasaran itu masih hidup. Asih hanya membuat Gendis tak bisa berkeliaran apalagi menelan korban lagi. Di dasar sungai pun, dengan keadaan anak panah tetap tertancap, kedua mata Gendis tetap terbuka. Yang mana kini, seolah kian dihukum dengan keadaannya, ingatan Gendis justru dihiasi alasannya menjadi arwah gentayangan. Ia dihab*isi oleh sang bapak sebelum akhirnya dibuang ke sungai Merah. Ingatan itu terus saja terulang hingga Gendis yang tidak bisa melakukan apa pun, menjadi makin tersiksa.
Dari kedua sudut mata Gendis mengalir cairan. Cairan yang awalnya bening dan perlahan berubah menjadi warna merah layaknya darah. Gendis benar-benar emosi karena tak terima telah dihabis*i, tapi keadaannya kini membuatnya tak bisa melakukan apa pun.
Di atas sana, Asih menghilangkan panahnya. Asih yang mulai bisa bernapas lega, menjadi termenung bersama adzan magrib yang masih berlangsung. “Kangen salat. Kangen jadi manusia, tapi sungai memang tempat terbaikku,” batin Asih nyaris turun ke sungai, tapi kini, di hadapannya dan itu tepat di tengah jalan yang sepi, Aqwa ada. Pemuda itu menatapnya dengan tatapan yang sulit ia artikan.
Sempat bingung harus bagaimana, Asih berangsur masuk ke dalam sungai.
“Sih!” panggil Aqwa terbilang berseru.
Asih yang siap renang, tetap membelakangi Aqwa.
“Sih, aku minta maaf!” sergah Aqwa.
Namun, Asih tidak peduli. Asih memilih tetap masuk ke sungai, meski hadirnya sosok di bawah jembatan perlahan membuatnya urung. Ada seorang wanita, lebih tepatnya dia hantu. Sosok itu terus menatap takut kepadanya sambil membekap mulut menggunakan kedua tangan. Namun, sosok yang tak lain Dewi—hantu yang pernah meminta tolong kepada Aqwa sekaligus menjadi alasan Aqwa berurusan dengan Gendis, dirasa Asih agak lain.
Sebagian tubuh Dewi tenggelam atau setidaknya terendam di dalam air layaknya tubuh bagian bawah Asih yang berwujud ikan. Asih mendekat karena ia terlalu penasaran. Sebab ia curiga, Dewi juga layaknya dirinya yang bertubuh setengah ikan. Namun, Dewi mendadak kabur dan Asih merasa Dewi memiliki ekor panjang layaknya ular.
“Ular?” pikir Asih yang sudah langsung teringat makhluk yang seharian ini mengganggunya. “Apakah dia juga bagian dari teror itu?” pikirnya lagi.
“Sih, aku minta maaf!” sergah Aqwa dari bawah sana. Saking eratnya mencengkeram pegangan jembatan hanya untuk bisa melihat Asih yang ada di bawah jembatan, bagian yang ia pegang justru ringsek. Aqwa menyesali keadaan tersebut, tapi ia kembali memanggil sekaligus meminta maaf kepada Asih.
Bagi Asih, semua yang berkaitan dengan Aqwa hanya akan membuatnya terluka. Terlebih, dunia mereka saja berbeda. Karenanya, Asih memilih tetap pergi. Meski Asih sendiri tak sampai kembali ke kerajaannya.
Asih menelusuri setiap bagian sungai sembari mencari-cari tempat tinggal baru. Bersamaan dengan itu, Asih juga masih memikirkan alasan, kenapa hantu bisa menjelma menjadi setengah ular atau itu silum*an ular.
“Kenapa dia harus menutupi mulutnya seerat itu menggunakan kedua tangan?” pikir Asih yang belum apa-apa sudah merasa kesepian.
Di dalam sungai, ia belum memiliki sosok lain untuk ia ajak berinteraksi. Namun jika dibandingkan dengan kehidupan di daratan, bagi Asih tinggal di sungai tetap lebih baik. Tak semata ia yang tak lagi harus merasakan teror, tapi karena hubungannya dan Aqwa sudah ia anggap berakhir. Yang juga dengan kata lain, hubungannya dengan keluarga Aqwa juga turut berakhir.
Di pinggir jembatan, Aqwa terdiam lemas menatap bagian sungai yang masih beriak sekaligus dihiasi gelembung. Itu Aqwa yakini karena Asih. Masalahnya, ia tak mungkin menyusul karena kelemahannya saja semua tempat yang bisa membuatnya tenggelam.
Aqwa tahu, Asih akan baik-baik saja meski Asih memilih bertahan di sungai. Namun Aqwa yakin, Asih akan sangat kesepian karena harus menjalani semuanya serba sendiri.
***
“Asih ....” Teror suara itu kembali Asih dengar. Masih suara wanita, dan kali ini, Asih berniat mencarinya.
“Dari dasar sungai?” pikirnya yang justru menemukan kerajaan ikannya sebagai sumber suara. “Sumbernya benar-benar dari sana? Dari beberapa suara wanita yang menerorku, asalnya dari sana? Siapa?” pikir Asih makin penasaran.
Asih memutuskan untuk menyelinap masuk ke dalam kerajaan ikan yang sempat menjadikannya ratu. Sempat bersembunyi-bersembunyi, kehadirannya yang ketahuan dan langsung sangat dihormati, tak mematahkan niatnya untuk memastikan sumber suara yang memanggilnya. Terlebih tampaknya, dari semua silu*man ikan di sana, hanya Asih yang bisa mendengar suara teror untuknya.
“Tidak usah mengawal. Kerjakan yang lain saja atau setidaknya istirahat,” ucap Asih yang langsung disambut anggukan atuh dari kedelapan silu*man ikan yang mengawal. Ada empat laki-laki, juga empat wanita ikan yang beranjak meninggalkannya.
Setelah memastikan kedelapannya pergi, Asih memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya. Ia bergerak masuk dengan tubuhnya yang masih menjadi setengah ikan. Ini menjadi kali pertama ia memasuki kerajaan ikannya lebih dalam. Beberapa dari mereka yang ia lewati, sudah langsung menyambutnya dengan senyum santun. Semuanya kompak menawari pengawalan, tapi lagi-lagi, Asih menolak.
Ada satu ruangan di sudut istana bagian nyaris paling belakang. “Itu ... suara itu dari sana,” pikir Asih yang jadi teringat, bahwa suara yang tengah memanggilnya mirip suara ... Lumut.
“Itu ruangan apa?” sergah Asih sengaja berbisik-bisik kepada seorang wanita ikan yang berjaga di sebelahnya. Karena hampir di setiap sudut istana selalu dijaga oleh bangsa mereka.
“Itu ruang pemujaan, atau bangsa manusia kerap menyebutnya sebagai tempat ibadah. Panglima selalu melakukan ritu*al di sana untuk kebaikan bangsa kita. Termasuk itu, agar Ratu selalu baik-baik saja. Agar Ratu selalu sehat di mana pun Ratu berada, Ratu,” jelasnya sangat santun dan sama sekali tidak berani melirik Asih.
“Jika begitu, kenapa suara yang terdengar dari sana justru sangat menggangguku?” pikir Asih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Fani Indriyani
si lumut pastinya yg ganggu asih ya
2024-03-11
0
Firli Putrawan
aqwa nyesel kan udah ngusir asih skrg hrs berjuang demi asih gmn pun caranya
2023-09-30
0
yenni
apakah judulnya novelnya diganti??
2023-09-28
0