Asih masih mengejar sosok Aqwa jadi-jadian yang sebenarnya merupakan Gendis si hantu penunggu Sungai Merah. Gendis melajukan motornya dengan sangat cepat, hingga sekelas Asih yang sering melewati jalan tikus hanya untuk menghindari tilang polisi lantaran sampai detik gadis itu masih gagal tes uji kelayakan memiliki SIM sampai kalah. Namun seiring sosok tersebut yang makin dekat dengan jembatan Sungai Merah, Asih mendadak teringat wasiat bapak dan mamaknya.
“Sih, ingat, ya. Sampai kapan pun, kamu harus menjauhi sungai khususnya Sungai Merah. Jangan pernah kamu sampai masuk ke sungai bahkan sekadar membiarkan kaki kamu sedikit masuk,” ucap bapak Asih yang selalu saja diulang. Karena hampir setiap hari, apalagi ketika Asih akan pergi untuk mengerjakan keperluan di luar rumah Aqwa tanpa pengawasan, bapak maupun mamaknya Asih akan selalu mengatakannya.
Saking heran bahkan bosannya karena wanti-wanti tersebut tidak pernah disertai alasan berlogika alias masuk akal, di setiap Asih menanyakannya, Asih yang tipikal ngeyel jika tidak diberi bukti pernah menyeletuk, “Bapak sama Mamak selalu bilang begitu. ‘Sih, kamu jangan sampai masuk sungai, sungai mana pun apalagi Sungai Merah. Bahkan sekadar masukin sedikit kaki kamu ke dalam sungai, jangan!’ Kesannya aku ini, anak ikan atau malah anak buaya jadi-jadian! Terus kalau sampai kena air sungai, kakiku berubah jadi bersirip-sirip, atau malah jadi ekor!”
Saat itu, bapak dan mamak Asih yang memang sudah sepuh meski Asih terbilang masih muda, langsung kebingungan. Wajah orang tua Asih mendadak pucat, terlepas dari keduanya yang jadi tidak berani menatap Asih. Malahan, alih-alih menjawab, keduanya yang mendadak bungkam, silih berganti pergi tanpa pamit, bahkan sekadar basa-basi.
Sementara kini, Asih tidak bisa tinggal diam. Karena dengan mata dan kepalanya sendiri, ia memergoki sang majikan yang mengendarai motor, kecelakaan. Di mata Asih, Aqwa dan motornya langsung jatuh setelah oleng menghantam pinggir jembatan. Jantung Asih seolah copot hanya karena menyaksikan itu. Terlebih sejak kecil, meski harusnya sebagai anak pembantu dirinya yang mengasuh, justru Aqwa yang mengasuhnya. Meski ketika mereka beranjak dewasa, keadaan perlahan berubah. Karena sebijak-bijaknya Aqwa, saat kepadanya, pemuda itu kerap menjadi bayi.
“Mas Aqwa!” teriak Asih refleks setelah ia juga buru-buru menghentikan laju motornya di pinggir jembatan Sungai Merah yang memang sepi. Hanya dirinya yang ada di sana, hingga jika bukan dirinya, tidak mungkin ada yang menolong sang majikan. Terlebih yang ia tahu, sang bos yang memiliki kemampuan istimewa juga sangat pantang dengan air apalagi selevel sungai Merah yang konon berde*mit.
“Asiiiihhhh!” Padahal di belakang sana, Aqwa yang menyusul, sudah berulang kali berteriak. Hanya saja, pengaruh kekuatan Gendis sampai membuat mesin motor Aqwa mati.
“Begini caramu, tamat riwayatmu, Ndis! Enggak peduli meski kamu korban kekejia*n bapakmu. Aku beneran enggak bisa diam kalau caramu nyelong orang begini!” batin Aqwa. Setelah menepikan motornya begitu saja, di tengah sore menuju petang, pemuda itu lari. Namun, lari yang Aqwa lakukan tak ubahnya embusan angin yang begitu kencang, meski Aqwa masih melalui setiap yang dilalui sebagai wujudnya.
Setelah sempat dilema antara mematuhi wasiat bapak dan mamaknya, atau turun menolong Aqwa, Asih lebih memilih untuk loncat, apalagi di bawah sana, Aqwa jadi-jadian sudah langsung sibuk mengulurkan tangan.
“Sih! Tolong, Sih!” teriak Aqwa jadi-jadian belum sepenuhnya tenggelam.
Asih lupa, bahwa de*mit, silum*an maupun sejenisnya, bisa saja menyesatkan pandangan manusia melalui wujud berbeda. Saking sayangnya gadis itu kepada Aqwa yang sudah dianggap sebagai keluarga, juga kenyataan Aqwa yang Asih ketahui pantang ke tempat berair banyak, Asih mengabaikan wasiat sekaligus mengesampingkan ilmu-ilmu agama yang telah dipelajari.
“Bertahan, Mas! Pegangan ke apa pun!” sergah Asih. Tanpa pikir panjang lagi, gadis itu loncat. Hanya motor, helm, dan juga sandal jepitnya saja yang ia tinggal di pinggir jembatan.
“Byuuurrrr!”
Bersama loncatnya Asih ke dalam sungai, Gendis sudah langsung berubah wujud menjadi wanita bergamis merah yang sangat menyeramkan. Gendis yang telanjur dendam sudah langsung tersenyum senang di tengah mulutnya yang terus menyemburkan darah maupun belatung.
“Inalillahi ....” Aqwa terdiam lemas, kebas. Karena dengan matanya sendiri, ia menyaksikan Asih loncat ke dalam sungai. Tak beda dengan Asih, ia juga sudah langsung dilema. Antara pantangan yang selama ini ia patuhi dan selalu diwanti-wanti oleh para orang tua di keluarganya, atau Asih yang telanjur disesatkan oleh Gendis, sementara kini, gadis itu tengah berjuang antara hidup dan mati!
“BRAAAAAAAKKKKK!”
Tubuh Asih menggeliat seiring cahaya terang yang terpancar dari tubuh gadis itu. Tak ada lagi gamis yang menutupi sekujur tubuhnya. Juga, tak ada lagi kerudung yang menutupi kepalanya. Rambut panjang Asih tergerai seiring tubuh gadis itu yang dipenuhi sirip. Kedua kakinya pun sudah berubah menjadi sirip kaudal. Sirip yang terletak di bagian belakang atau disebut juga dengan ekor. Sirip yang akan menggerakkan ikan berbelok ke kanan dan kiri, serta mendorong ikan untuk maju. Dalam sekejap dan benar-benar sangat cepat, perubahan itu terjadi. Seperti yang pernah Asih celetukan kepada bapak mamaknya, dirinya sungguh menjadi ikan. Tubuh bagian bawahnya persis layaknya ikan raksasa, sementara kepala dan tubuhnya berwujud manusia. Asih menangis menyaksikan perubahan wujudnya. Perasaan sekaligus hatinya terasa sangat hancur. Kedua tangan berjemari lentiknya sudah dipenuhi sirip putih dan sangat berkilau. Sementara setiap butir air matanya berubah menjadi butiran emas dan kini telah berjatuhan ke dasar sungai sana.
“Pak ... Bu ...? Ini aku ... kenapa aku jadi gini? Kenapa aku beneran jadi ikan, padahal selama ini aku selalu jadi anak yang baik? Padahal selama ini, aku enggak pernah nak*al, meski aku memang ngeyel!” batin Asih tak kuasa menyudahi tangis maupun kesedihannya.
Di dalam sungai sana, Asih bisa bergerak sekaligus berenang dengan leluasa. Air sungai yang berwarna merah sekaligus beraroma sangat anyir juga bukan hambatan berarti untuknya. Padahal saat Gendis berulah di kediaman Aqwa, Asih sempat muntah-muntah.
“TUAN PUTRI!”
Dalam sekejap, Asih sudah dikepung oleh sosok-sosok yang berpenampilan layaknya dirinya. Beberapa ikan kecil yang benar-benar berwujud ikan juga menyertai. Mereka yang berwujud layaknya Asih dan kebanyakan tampak layaknya orang dewasa, masing-masing membawa tom*bak. Mereka kompak menatap Asih dengan sangat hormat.
“Akhirnya Tuan Putri pulang!” sergah mereka yang kembali membungkuk, benar-benar menghormati Asih.
“Apa lagi ini? Lawak bener ...,” batin Asih makin tidak paham. Namun tiba-tiba saja, Asih ingat alasannya ada di sana. Iya, Aqwa!
“Mas Aqwa!” sergah Asih yang seketika mengawasi sekitar. Ia berenang layaknya ikan ke lokasi yang ia yakini menjadi tempat jatuhnya Aqwa.
“Byuuuuurrrrrrr!”
Ada yang jatuh dari atas sana. Adegan jatuh yang mendadak membuat dunia Asih layaknya mengalami adegan slow motion. Apalagi setelah Asih perhatikan, sosok yang jatuh dan sampai bercahaya itu justru Aqwa. Detik itu juga, dunia Asih seolah berhenti berputar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Adang Soleh
mkin krn awal baca kali y..sdkit bingung dgn narasi dan penyampaian othor, tp critanya hrusnya bagus, jd coba terus baca.smga di chft berikutnya sudh terbiasa
semngt buat othor
2024-11-27
0
Hj. Raihanah
kok cerita nya bisa horor. dan agak lucu ya
2024-01-31
1
Indah Permatasari
kok bisa kepikiran ide cerita kek gini
2024-01-07
1