Sudah terasa sangat lama. Asih bahkan sudah merasa sangat lelah, termasuk langit yang pada akhirnya menjadi semakin petang, tapi jalan yang Asih lewati masih itu, itu saja. Tak kalah mencolok, satu persatu dari penghuni sana yang buru-buru masuk rumah.
Bertahan di sana membuat Asih tidak bisa membedakan mana yang halusinasi, mana yang kenyataan. Semuanya tampak tidak nyata, tapi mereka jelas memenuhi mata.
“Ada apa dengan desa ini? Apakah ini desa hantu? Atau aku justru terjebak di dimensi lain dan masih berkaitan dengan teror tak kasatmata yang aku dapatkan?”
“Karena jika memang rituaal di tempat ibadah kerajaan ikan untuk kebaikanku, kenapa kini hasilnya justru begini? Kenapa semenjak menjadi bagian dari mereka, hidupku jadi terlunta-lunta?”
“Aku tersesat di tempat yang mirip desa mati. Kanan kiri kebanyakan mirip hutan. Rumah gubuk reyot dan tampak sangat tua. Manusia berwajah datar tanpa ada sedikit pun tanda-tanda mereka hidup selayaknya manusia normal. Selain mereka yang memang akan berubah menjadi sangat menakutkan ketika aku berekspresi lebih, apalagi mengusik mereka bahkan itu meski untuk menyapa.”
“Malam akan datang, ... dan aku benar-benar takut.” Asih menunduk dalam, hingga pandangannya mendapati perut buncitnya yang sedari awal ia melangkah berusaha keluar dari desa tersebut, ia tahan menggunakan kedua tangan.
Asih berangsur menghela napas dalam sekaligus berat. Rasanya benar-benar membuatnya frustra*si. Terlebih setelah ia melanjutkan langkah, ia justru kembali ada di depan rumah sang bibi.
“Selelah ini ... aku seolah tidak diizinkan pergi. Namun jika aku bertahan di sini, bibi pasti akan terus memaksaku untuk aborssi,” batin Asih.
Suasana malam akan membuat situasi di sana sangat mengerikan. Kesunyian menjadi warna utama. Karena jangankan suara kokok ayam dan cicit burung, suara jangkrik saja nyaris tidak ada.
“Waktu petang apalagi malam Selasa kliwon, jangan keluyuran kalau kamu enggak ingin ditemenin!” ucap bibi Sujiah dengan ucapan yang kembali mirip petuah.
“Biasanya kalau malam kliwon khususnya Jumat dan Selasa, ada saja yang menjalani gebrak rituaal.” Satu nampan berisi nasi dengan aneka lauk pauk dan tampak sangat lezat, bibi Sujiah sajikan. “Ini dimakan. Kamu pasti lapar.”
Yang Asih bingungkan, dari mana sang bibi mendapatkan semua makanan itu? Padahal jika Asih amati, di sana tidak ada bahan makanan apa pun selain air minum. Karena jangankan ikan dan ayam, sekadar beras saja tidak ada. Termasuk itu, di rumah bibi Sujiah yang mungil, juga hanya ada satu amben dan sebuah kursi kayu sekaligus meja. Tak ada benda mewah, bahkan itu makanan.
Terlepas dari semuanya, Asih yang telanjur merasa ada yang tidak beres, juga enggan memakan makanan lezat itu, meski ia sendiri sedang sangat lapar. Terlebih Asih sudah sering diwanti-wanti oleh orang tuanya maupun Aqwa sekeluarga, bahwa Asih tidak boleh asal makan di tempat mencurigakan, apalagi yang kiranya sudah membuat tidak nyaman. Sebab hal gaib dan kerap dianggap tabu bahkan disepelekan, memang ada. Tak jarang, biasanya yang sudah sampai memakan jamuan, akan linglung atau malah gampang disesatkan.
“Jangan-jangan, gara-gara aku sudah minum air minum pemberian Bibi, aku jadi enggak bisa keluar dari desa ini, ya?” pikir Asih.
“Dan, aku jadi curiga, sebenarnya wanita di hadapanku juga bukan bibiku. Apalagi di setiap aku tanya jalan pulang, dia bilang enggak akan pernah ada jalan pulang, jika aku tidak aborssi,” pikir Asih lagi yang kemudian berkata dengan sedih, “Aku enggak lapar, Bi. Aku mau balik ke rumah bosku saja.”
“Dengan perut kamu yang begitu?” Bibi Sujiah sudah langsung menanggapi dengan sinis.
Asih yakin, wanita di hadapannya sudah langsung murka kepadanya. Tatapannya saja sudah langsung berbeda, selain rahang wanita itu yang menegang, hingga pipinya yang bergelambir, tampak agak gemetaran.
Asih yang masih menatap lurus kedua mata bibi Sujiah dengan tatapan lelahnya berangsur mengangguk. “Iya, Bi. Enggak apa-apa. Mereka orang baik. Kalau memang Bibi tidak mau mengantarku, tolong tunjukan arah jalan agar aku bisa keluar dari sini.” Asih benar-benar memohon. Terlebih apa yang ia lakukan juga demi keselamatan jabang bayi dalam rahimnya.
Padahal, niat hati beristirahat sekaligus mendapatkan perlindungan dari sang bibi, kini Asih justru mengalami banyak hal di luar nalar. Belum lagi, bibi Sujiah yang tak hentinya memaksanya untuk aborssi.
“Aku mau salat.” Tiba-tiba saja mulut Asih berucap demikian. Asih bahkan tak percaya jika kalimat itu terucap dari bibirnya. Sebab sejauh ini, ibadah termasuk itu salat sama sekali tidak ada di ingatan apalagi kehidupannya.
“Iya, ... selama ini aku kenapa? Kenapa sekadar salat saja sampai lupa?” pikir Asih lagi yang detik itu juga langsung ingat omelan Aqwa. Iya, Aqwa akan terus mengingatkannya untuk salat, menganggapnya sakti melebihi malaikat andai Asih lalai melakukannya.
“Ngapain kamu salat? Dapat duit kamu, kalau salat? Aborssi saja bisa bikin kamu dapat duit, selain kamu yang juga terhindar dari malu karena melahirkan anak tanpa bapak. Selain itu, menggunakan duit dari aborssi, kamu juga bisa mulai usaha!” omel bibi Sujiah langsung marah-marah.
Namun, Asih tidak peduli. Asih memilih melangkah ke belakang, menuju sumur dan keberadaannya memang tidak begitu jauh dari pintu dapur. Asih akan wudu dan menunaikan salat yang baginya sudah terlalu lama ia tinggalkan.
“Jangan keluar waktu petang apalagi kamu sedang hamil! Ganderowo dan wewegombel siap menjemputmu!” lantang bibi Sujiah yang lebih mirip sumpah serapah.
Air mata Asih akhirnya mengalir meluapkan kesedihan yang ia rasa. Ia makin yakin bahwa di sana memang tidak beres termasuk dengan sang bibi. Kini, hanya doa sekaligus ibadah yang bisa ia gunakan sebagai senjatta. Sebab ia sudah berusaha jalan ke sana kemari guna menemukan jalan keluar dari desa keberadaannya, tapi hasilnya tetap tidak ada.
Seolah sumpah serapah bibi Sujiah bukan bualan belaka, sosok tinggi besar dan wajahnya sangat seram berambut panjang gimbal, sudah ada di balik pintu menuju belakang rumah bibi Sujiah, yang Asih buka. Sosok tersebut sudah langsung menatap bengis kedua mata Asih dengan mata merah menyala. Air mata Asih makin berjatuhan karenanya. Namun, di tengah tubuhnya yang sampai panas dingin merinding, juga kedua tangannya yang mulai gemetaran, Asih memantapkan tekadnya. Wanita yang sampai saat ini tak memakai kerudung karena Asih saja bingung, ke mana kerudung yang sempat dipakai, melewati sosok hitam bertubuh besar yang menghadang.
Akan tetapi, memutuskan beribadah membuat Asih dihadapkan pada banyak sosok mengerikan. Kini saja, Asih masih harus menghadapi sosok wanita berpayyudara besar yang panjangnya nyaris menyentuh tanah. Seolah ingin membuat nyali sekaligus mental Asih ketakutan bahkan babak belur, sosok wanita berambut panjang gimbal itu juga tak segan tertawa nyaring sekaligus menggema.
“Hahahahahahahahaha!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Indah Permatasari
entah kenapa rasanya tulisan suara wewekgombel yg ketawa kyk terngiang2 di telinga....
dh mulai halusinasi nih akunya /Facepalm/
oya kak...
aku baru aja nyoba nulis, mampir ya ke tulisanku yg amatiran, mksih 😁
2024-01-12
0
Permata Diany
semangat kak
2023-10-01
0
Appleeza
hari ni tiada update kak?
2023-09-30
0