Hantu penunggu jembatan Sungai Merah bernama Gendis itu tak mengizinkan Aqwa berdiri. Malahan ia emosi lantaran Aqwa tak langsung jatuh layaknya setiap korba*nnya. Aqwa bahkan tak mengalami luka berarti. Bahkan kini, meski ia telah menc*ekik pemuda tampan itu, yang ada malah tubuhnya mendadak terasa terbakar. Ada yang aneh dengan sosok Aqwa dan Gendis menyadarinya, pemuda itu berbeda. Aqwa bukan manusia biasa.
“Pyaaaar!” Tak ubahnya kaca yang akhirnya pecah, tembok tak kasat mata yang sempat Aqwa tabrak dan selama ini selalu menjadi alasan korban di sana terjatuh, akhirnya pecah hanya karena tendangan Aqwa.
Marah, tentu saja. Gendis tak terima dan sengaja membuat tubuh Aqwa melayang ke udara. Niat Gendis melakukannya karena akan membant*ingnya. Namun, tampang Aqwa yang begitu tenang, selain kenyataan pemuda itu yang begitu santai, membuatnya bertanya-tanya. Ada apa? Kenapa Aqwa berbeda dari korban-korban sebelumnya?
“Carilah bapakmu dan balaskan dendammu kepadanya. Jangan pernah mengganggu orang sini yang jelas tidak tahu apa-apa tentang kalian apalagi dendammu!” ucap Aqwa yang kemudian loncat dan berakhir turun sendiri meski ia belum diturunkan oleh Gendis.
“Siapa orang ini?” batin Gendis.
“Kamu salah cari lawan!” tegas Aqwa. “Ini kesempatan pertama sekaligus terakhir kamu. Karena andai kamu berani berulah lagi dan mengganggu orang-orang yang lewat sini, ... aku tidak segan menghancu*rkan kamu hingga kamu tidak bisa memiliki kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar lagi!”
Gendis yang sempat bertanya-tanya mengenai siapa Aqwa, terusik oleh kehadiran Dewi yang ia pergoki diam-diam mengintip dari sebelah jembatan di depan saja. “Dewi, ... dia pasti tahu, siapa pemuda di hadapanku!” batinnya.
Aqwa yang bisa mendengarnya berkata, “Kamu tidak perlu tahu siapa aku. Yang perlu dan wajib kamu tahu adalah, balas dendammu dengan membuat semua orang bahagia yang melintas di sini celaka, itu benar-benar tidak beralasan!” Setelah berucap demikian, Aqwa memilih pergi menggunakan motornya. Ia putar balik dan sungguh tidak akan memberi toleransi andai Gendis tetap abai pada peringatan yang ia berikan.
Kepergian Aqwa menjadi celah bagi Gendis untuk segera memastikannya kepada Dewi. Dewi yang langsung ketakutan kepadanya, terlebih ia tak segan mence*kiknya mengatakan, bahwa Aqwa merupakan pemuda istimewa yang bisa membantu arwah penasaran layaknya mereka.
“Tidak mungkin hanya itu karena rasanya saja beda! Dia memiliki kekuatan langka. Apakah jika aku membunu*hnya, aku bisa memiliki keuntungan? Aku bisa memiliki kekuatannya yang istimewa?” tebak Gendis menerka-nerka. Namun, diamnya Dewi seolah membenarkan pertanyaan sekaligus anggapannya. Bahwa Aqwa memang pemuda istimewa, dan ia bisa mendapatkan kekuatan istimewanya andai ia membun*uhnya.
***
Sekelebat angin sekaligus bayangan hitam yang langsung membuat ibu Ryuna merinding, mengiringi setiap langkah wanita itu. Jantung ibu Ryuna menjadi berdebar lebih kencang seiring wanita itu yang jadi kerap mengawasi sekitar melalui lirikan. Ibu Ryuna yang tengah melangkah ke dapur yakin, ada yang tidak beres. Karenanya, sembari meraih teko berisi herbal yang subuh tadi ia buat, ia mengedarkan tatapannya untuk menatap suasana di luar dapur dengan saksama.
Suasana di sana benar-benar sepi, termasuk juga suasana di luar yang mulai terang karena matahari pagi mulai menyinari kehidupan. Ibu Ryuna yang tak lain merupakan mamah dari Aqwa, menggunakan sebuah cangkir berwarna ungu senada dengan teko, untuk menampung ramuan herbal yang ia buat, dari teko. Bersamaan dengan itu, ada sekelebat hitam berhias embusan angin yang kembali berlarian di belakangnya. Namun ketika ia menoleh untuk memastikan, lagi-lagi di sana tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain dirinya, tapi detak jantungnya makin kacau dari sebelumnya.
“Mas Aqwa ke mana, ya? Enggak mungkin tadi itu leluhur sini, atau setidaknya teman tak kasat matanya mas Aqwa,” batin ibu Ryuna yang terfleks terdiam lantaran dari hadapannya, ia menci*um aroma sangat anyir. Dan ketika ia memastikan, ternyata air herbal dari teko yang ia tuang jawabannya. Air itu bukan berwarna kuning dari kunyit selaku salah satu ramuan herbal pokok buatannya, melainkan merah agak kental persis darah!
Jantung ibu Ryuna nyaris copot, dan wanita itu menaruh teko maupun cangkirnya begitu saja di tengah tubuh terutama kedua tangannya yang sudah gemetaran hebat. Untuk sejenak, ibu Ryuna memang merasa kacau. Kemudian wanita itu memejamkan kedua matanya sambil berdoa. Namun ketika ia membuka matanya, wajah hitam berambut panjang dan basah oleh darah, sudah langsung menyapanya.
“Arrrrrrgggghhhh!”
Teriakan ibu Ryuna sudah langsung mengusik Asih yang tengah menyapu halaman depan rumah ibu Ryuna dan keberadaannya ada di sebelah pesantren.
“Ibu Ryuna, kan?” Meski suasana di depan rumah terbilang ramai oleh aktivitas warga yang lalu lalang lewat, Asih yakin, tadi merupakan teriakan sang majikan.
Segera Asih menyisihkan sapi dan pengkinya begitu saja. Ia buru-buru memasuki rumah terbilang mewah sekaligus megah di hadapannya. Suasana rumah yang besar dan tengah tidak banyak penghuni, membuat keadaan di sana sangat sepi. Karena kebetulan, sebagian penghuninya tengah berada di Jakarta untuk mengurus pekerjaan. Namun Asih yakin, tadi suara teriakan sang majikan tidak berasal dari kamar yang keberadaannya tidak begitu jauh dari pintu masuk utama. Benar saja, Asih menemukan sang majikan tergeletak di lantai dekat meja makan.
“I-ibu ...!” Asih sudah langsung menghampiri kemudian merengkuh tubuh ibu Ryuna. Namun tak beda dengan yang dialami ibu Ryuna, ia juga merasakan aktivitas aneh di sekitar belakangnya. Seperti ada yang sengaja berlari kencang, tapi menghasilkan embusan angin kencang. Dan baru saja, seolah ada yang meniup telinga kirinya disertai bisikan mengerikan yang menyebut-nyebut namanya.
“Asihh ... Asih ....” Panggilan itu terus berlangsung lirih, menggelitik, dan kian membuat Asih bergidik. Wanita berusia dua puluh tahun itu juga menyadari, ada aroma anyir yang begitu menusu*k penciumannya.
“Astaghfirullaah ....” Tubuh Asih seolah menjadi kaku tak ubahnya balok kayu bahkan batu. Karena detik itu juga, ia yang sudah memangku ibu Ryuna mendadak tak bisa bergerak.
“Assalamualaikum ...? Mah ...? Mbak Asih? Kok rumah sepi banget?”
Baru saja, Asih mendengar suara Aqwa. Namun, jangankan bersuara untuk membalas dan mengabarkan keadaan ibu Ryuna, lidahnya saja kelu, selain bibirnya yang mendadak terkunci rapat.
Terakhir, ketika Asih mencoba menoleh ke belakang selaku sumber suara Aqwa, wajahnya malah menyentuh sebuah permukaan basah sekaligus lembek. Permukaan tersebut berbau sangat bu*suk sekaligus anyir. Yang membuat jantung Asih seolah loncat, bahkan wanita itu merasa ketakutan luar biasa, tak lain karena dari sana mendadak banyak belatung berjatuhan menimpa wajah bahkan bibirnya.
“Asih ...!”
Baru Asih sadari, sosok tersebut lah pemilik suara yang sedari tadi memanggilnya.
“Aku enggak takut!” tegas Asih sebelum wanita muda itu berakhir pingsan, meringkuk persis di sebelah ibu Ryuna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Nengnong4 ²²¹º
asiihh.. aq ga takut.. tapi pingsan 🤭🤣🤣
2024-02-21
1
N'Dön Jùañ Shakespeare
ya ampun merinding terus, kuatkah aku membacanya sampai tamat?
2024-01-01
0
Aileen
serem x kak, belum 2 dah merinding sya sehat sllu ya kak ros di tunggu up ny 💪💪👍👍
2023-12-13
0