“Kenapa kalian hanya diam? Ayo ini dimakan!” ucap si kakek, dan tak lain merupakan pak Sanusi. Pria yang telah menghabi*si Gendis hingga hadirlah hantu penunggu jembatan sungai Merah.
Pak Sanusi selaku alasan yang membuat sungai tempat Gendis gentayangan diberi nama sungai Merah. Karena semenjak jasad Gendis yang terus mengeluarkan darah dibuang ke sana, air sungai yang awalnya keruh menjadi berubah berwarna merah. Meski semenjak Asih mengunci Gendis menggunakan anak panahnya di dasar sungai, keadaan di sana kembali layaknya semula. Air sungai tak lagi berwarna merah apalagi beraroma anyir. Hanya saja, Asih bukan Aqwa yang bisa mengetahui masa lalu maupun masa depan seseorang. Hingga Asih tak tahu, bahwa sebenarnya pria di depan sana masih memiliki hubungan erat dengan Gendis.
Kini, baru Asih sadari. Di sekeliling pekarangan terbilang luas di sana sudah dipenuhi sosok wewegombel. Sosok wewegombel yang setelah Asih amati, berpenampilan sangat mirip dengan penampilan si wanita hamil yang tiduran di tikar, dan perutnya diguyur darah ayam hitam. Mereka kompak tak menutup tubuh bagian atas mereka hingga bawah perut.
Sosok wewegombel itu tak hanya berdiri di sekitar lapangan. Karena sebagiannya sampai ada yang merangkak dan seolah siap menerkam sasaran mereka yaitu si wanita hamil. Tanpa terkecuali, mereka-mereka yang akhirnya tertawa dan duduk di pucuk pohon bambu selaku pohon yang menghiasi sekeliling di sana. Semuanya seolah siap berpesta, dan menjadikan apa yang ada di dalam perut si wanita hamil sebagai santapannya.
Tawa yang benar-benar menyeramkan dan dilakukan bersama-sama layaknya paduan suara itu sudah langsung membuat Asih kembali ketakutan. Asih refleks mundur dan bermaksud masuk ke dalam rumah sang bibi. Terlebih, hantu-hantu yang tadi mengganggunya juga dengan cepat mendekati wanita hamil dan tampaknya sengaja ditumba*lkan.
Jerit ketakutan terdengar dari si wanita. Jerit ketakutan tak kalah histeris dari tawa para wewegombel. Namun, dengan cepat pak Sanusi memarahinya.
“Jangan takut. Tutup matamu saja! Jangan sampai suaramu bikin tetangga curiga!” omel pak Sanusi lantaran si wanita hamil malah bersuara ketakutan, hingga para wewegombel tak jadi menerkam perut si wanita.
“Tapi saya beneran takut, Ki! Saya mau mundur saja,” tangis si wanita benar-benar memohon.
“Sudah terlambat! Kamu sudah tidak bisa mundur lagi karena kamu sudah menyepakati perjanjian kita! Bayimu sudah digariskan untuk menjadi bagian dari mereka dan kamu akan saya beri uang dua puluh juta!” tegas pak Sanusi.
“Perjanjian dengan makhluk gaib?” pikir Asih jadi penasaran.
Termasuk itu mengenai pernyataan pak Sanusi yang meminta si wanita hamil untuk tidak berisik agar tidak membuat tetangga curiga. Pertanyaan Asih, tetangga yang mana, sementara sejauh ini, semua tetangga yang Asih jumpai, layaknya robot yang sengaja diatur menjadi sosok-sosok menyeramkan?
“Apa sebenarnya, di sekitar sini memang ada kehidupan nyata? Apa sebenarnya, aku saja yang disesatkan? Maksudnya, memang ada yang dengan sengaja menyesatkanku hingga aku terjebak di sini? Namun jika iya, untuk apa?” batin Asih benar-benar berpikir keras.
“Serta, apakah ini yang bibi maksud dengan abors*i dapat dua puluh juta? Jika iya, sebagian dari pelakunya jelas manusia. Otomatis, aku bisa ikut mereka agar aku bisa keluar dari sini!” pikir Asih lagi mendadak optimis.
Asih sudah membulatkan tekadnya. Namun ketika ia melongok ke dalam rumah sang bibi, di sana benar-benar sepi. Justru, hati Asih tergerak untuk menolong wanita hamil di depan sana yang memang meminta tolong.
“Siapa pun tolong aku! Aku benar-benar takut!” teriak si wanita seiring para wewegombel yang mendekat.
Asih sudah langsung melangkah. Asih optimis bisa menolong meski kini, wujudnya bukan lagi ratu ikan yang sakti. Namun tiba-tiba saja, hati kecilnya bertanya. Mengapa ia yang pada akhirnya hamil, justru tersesat di tempat ritual abors—i yang bersekutu dengan wewegombel? Apakah memang ada yang sengaja mengirimnya ke sana, agar janinnya juga tidak baik-baik saja?
“Kehamilanku hanya diketahui bangsa ikan karena mas Aqwa pasti juga lupa. Jadi ... Justru bangsa ikan dan ... jangan-jangan, bukannya mendoakan untuk kebaikan sekaligus keselamatanku, mereka justru—” pikir Asih yang sudah langsung melakukan cocok logi. Cocok logi yang menghasilkan bahwa dirinya menjadi sosok yang dirugikan sekaligus korbankan. “Terus pakaian mas Aqwa ... mereka juga mengambilnya, kan?”
Setelah merenung serius, Asih justru mendapati pak Sanusi yang jaraknya hanya sekitar sepuluh meter darinya, sudah memperhatikannya. Pak Sanusi mengawasi Asih dari atas sampai bawah. Dengan tampak menakutkan, pak Sanusi memfokuskan tatapannya ke perut Asih yang memang buncit.
“Innalilahi ... celaka! Kenapa pria itu terus mengawasiku?!” batin Asih yang benar-benar tegang. Ia sampai lupa bernapas hingga ia menjadi sangat sesak.
“Tunggu! Ada mangsa baru! Aku ambilkan dulu!” sergah pak Sanusi yang seketika itu juga langsung lari menuju sekaligus menghampiri Asih.
“Enggak ...,” lirih Asih refleks menggeleng. Namun karena pak Sanusi terus mengejar, Asih melakukan gerakan refleks menyelamatkan diri yaitu lari sekaligus kabur dari sana.
Si wanita hamil yang ditinggalkan pak Sanusi, diam-diam berusaha kabur. Namun, wanita yang kiranya sebaya dengan Asih tersebut tidak bisa bergerak sama sekali kecuali kedua matanya. Tubuhnya seolah dikunci.
Di tempat berbeda meski tidak begitu jauh, Asih masih berlari. Asih terus menghindari kejaran pak Sanusi. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menahan perutnya. Sebab lari kencang layaknya sekarang, membuat perut maupun rahimnya sakit.
“T-tolong! Ya Allah tolong aku! Air ... di mana ada air sungai, biar aku masuk sungai saja!” batin Asih. Selain terus berlari sekencang mungkin menelusuri jalanan setapak mirip tanggul dan kanan kiri berupa hamparan rumput ilalang, sesekali Asih juga menoleh ke belakang. Membuatnya mendapati pak Sanusi yang terus mengejar dengan sebuah pisau berhias sisa darah yang sesekali berkilau tersorot bulan.
Malam ini bulan purnama tampak sangat sempurna. Hingga desa di sana yang biasa gelap gulita karena memang minim penerangan, jadi jauh lebih terang. Membuat Asih bisa melihat dengan mudah. Namun sejauh Asih memandang, keadaan tetap sama. Mirip desa mati. Tak ada tanda-tanda di sana ada tetangga manusia layaknya apa yang sempat Asih dengar dari pak Sanusi. Sekadar sungai pun juga tetap tidak Asih jumpai.
“Berhenti!” teriak pak Sanusi dan sudah langsung membuat yang dikejar tersentak.
“Berhenti, jika tidak, akan ada ular raksasa yang menghadangmu!” lantang pak Sanusi lagi.
Meski takut dengan ancaman tersebut, Asih tetap lari. Membuat keringatnya makin tak terkendali. Ia layaknya mandi keringat. Meski beberapa detik kemudian, apa yang pak Sanusi ancamkan sungguh menjadi nyata.
Karena kini, di pandangan Asih, ada ular kobra raksasa yang sudah langsung siap menerkamnya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Al Fatih
aq smpe maraton bacanya
2024-06-14
0
Sarti Patimuan
Cuma bisa ngasih semangat buat authornya semoga diberikan kesabaran ngadepin banyak tipe pembacanya
2023-10-08
0
Firli Putrawan
y allah kasian asih aku yg baca cape
2023-10-04
0