“Kita harus mencari Asih sekarang juga! Kita harus menemukannya secepatnya. Karena setelah apa yang terjadi, jauh darimu, dia beneran jadi enggak bisa. Begitupun sebaliknya dengan kamu yang jadi enggak bisa tanpa dia karena kalian memang saling membutuhkan!” sergah pak Helios.
“Asih ...,” batin Aqwa berusaha mencari melalui mata batinnya. Namun, semua yang berkaitan dengan Asih mendadak gelap. Ia tak menemukan tanda-tanda apa pun di benaknya. Ia tak menemukan Asih bahkan walau ia sudah mengerahkan segala kemampuannya.
“Aku benar-benar tidak bisa melihat Asih,” ucap Aqwa sengaja mengabarkannya kepada sang opa.
“Kamu sudah terlalu melukainya. Ucapan yang kamu katakan kepadanya sudah memutus komunikasi kalian,” balas opa Helios yang kemudian meminta Aqwa untuk menyusul Asih ke sungai Merah karena biar bagaimanapun, itu menjadi rumah Asih sekaligus satu-satunya tempat Asih kembali.
“Ya sudah, Opa. Aku pamit mau cari Asih. Mengenai ini, haruskah kita menceritakannya kepada orang tuaku apalagi ke mamah?” sergah Aqwa yang juga sudah langsung menyalami tangan kanan opa Helios dengan takzim. Kini, ia masih menatap saksama opa Helios yang tampak merenung serius. Tampaknya opa Helios sudah langsung mempertimbangkan pertanyaannya, selain keputusan yang tampaknya sudah langsung dibuat.
Entah kenapa, keadaan kini mendadak membuat Aqwa sangat tegang cenderung takut. Setelah sempat merasa tak habis pikir sekaligus sulit menerima, apa yang ia dengar dari sang opa justru membuatnya menyesali keadaan. Terlebih dengan kata lain, kini nasib Asih benar-benar terancam. Terlebih saat tadi masih bersamanya saja, sederet teror sudah mulai Asih rasakan.
“Itu nanti, setelah kita menemukan Asih!” balas pak Helios menatap yakin sang cucu.
Padahal di luar sana, Asih yang kembali diteror banyak ular, tengah lari sekuat tenaga untuk menghindarinya. Sepanjang jalan, Asih terus berlari ketakutan hingga setiap mata yang memergoki langsung menganggapnya aneh. Seperti yang sempat Aqwa yakini, teror tersebut sengaja dibuat agar orang-orang di sekitar Asih menganggap Asih kurang waras. Karena dari semuanya, memang hanya Asih yang melihat ratusan ular yang terus mengejarnya.
“Kenapa sampai begini? Kenapa didoain tetap enggak ilang? Apakah ini alasan agar aku kembali ke sungai?” batin Asih.
Asih masih ingat kata-kata Lumut, mengenai risiko sekaligus apa yang akan terjadi jika Asih tinggal di sungai, juga apa yang akan terjadi ketika Asih kembali ke daratan menjadi manusia seutuhnya. Karena setelah semua yang terjadi, dari Asih yang akhirnya menjadi ratu ikan, juga pernikahannya dengan Aqwa, hidup di daratan akan membuat Asih mendapatkan banyak masalah, selain Asih yang tak lagi menjadi seorang ratu, juga Asih yang tak memiliki kemampuan istimewa apalagi kekuatan.
Kini, sandal jepit Asih sampai putus sebelah dan Asih memilih meninggalkannya. Ia hanya memakai satu sandal. Di belakang sana, sandal yang baru saja ia tinggalkan begitu saja, sudah dilewati kerumunan ular yang terus mengejarnya.
Di tengah ketakutannya itu, Asih jug masih mendengar suara lirih seorang wanita yang terus memanggilnya. Suara yang masih sama, tapi bukan lagi suara Gendis. Namun omong-omong membahas Gendis, setelah lari nyaris tiga jam lamanya dari kediaman Aqwa, Asih baru menyadari bahwa sedari tadi, ia hanya berputar-putar di sana.
“Padahal aku sudah selemes ini. Ini apa yang sebenarnya terjadi? Lagi-lagi para demi*t curang. Mainnya tanpa penampakan. Sini, kalau kalian memang berani, sini!” jerit Asih yang sudah kuyup keringat. Ia sudah sempoyongan, ingin menyerah saja karena rasanya benar-benar sudah tidak ada tenaga yang tersisa. Namun, andai ia sampai melakukannya, tubuhnya pasti akan dililit ular-ular di belakang sana.
Matahari makin tenggelam. Suasana sudah makin gelap layaknya pikiran sekaligus pandangan Asih. Kendati demikian, Asih menyadari dirinya malah tengah melewati jalan menuju sungai Merah.
“Apakah ini maksudnya, aku harus pulang ke kerajaanku karena itu satu-satunya tempatku kembali?” pikir Asih seiring langkahnya yang perlahan berhenti. Ia juga berangsur menoleh ke belakang. Ia tatap berat kepingan air matanya yang masih utuh membentuk hati. Bentuk hati yang Aqwa buang ke wajahnya ketika pemuda itu mengusirnya. Dan layaknya apa yang Aqwa lakukan kepadanya, Asih akan melakukannya ke kerumunan ular di sana.
“Bismillahirrahmanirrahim!” ucap Asih bersama lemparan yang ia lakukan. Percaya tidak percaya, satu persatu dari ular di sana raib tak tersisa.
Sempat bernapas lega, kehadiran Gendis yang begitu tiba-tiba sambil mencek*iknya dengan tangan yang tersisa, membuat Asih tak berdaya. Tanpa dibuat kaget apalagi sampai dicek*ik saja, Asih nyaris sekarat. Apalagi sekarang.
“K—au ...?” lirih Gendis. Dirasanya, Asih berbeda dari orang kebanyakan maupun dari Asih sebelumnya.
“Aku ... tidak takut!” tegas Asih nyaris sekarat.
“Tapi mau pingsan lagi?” balas Gendis lirih yang kemudian tersenyum penuh kemenangan.
“Tidak akan!” tegas Asih dan sudah langsung membuat Gendis kehilangan senyumnya. Tatapan Gendis kepadanya menjadi tatapan khas ketika hantu ngeyel itu marah.
“Kamu ... jadi manusia enggak berguna, jadi hantu pun makin enggak bermutu. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, tapi kamu justru melakukan hal yang sama sekali tidak berkaitan dengan luka maupun dendam kamu!” tegas Asih meski ia hanya mampu mengatakannya lirih. Tak semata karena ia sudah kehabisan banyak tenaga, tapi juga karena sampai detik ini, Gendis masih menceki*knya. “Kenapa? Merasa ter*tampar? Di dunia ini banyak hantu, tapi enggak ada yang lebih gob*lok dari kamu ya. Kamu haus pengakuan takut dari orang, tapi kamu saja tetap tidak bisa membalas dendam kamu kepada orang yang telah membuatmu begini!”
“Jangan banyak omong!” tegas Gendis ya g kemudian memban*ting tubuh Asih. Ia tertawa bahagia bersamaan dengan adzan maghrib yang berkumandang, hanya karena menyaksikan tubuh Asih yang menggeliat di aspal. Tubuh mungil itu menggeliat kesakitan, dan ia sengaja membuangnya ke sungai.
“Berkumpul dan jalani lah reuni dengan para korbanku yang sudah aku buang ke sana.” Gendis tertawa penuh kemenangan. Ia begitu bahagia karena akhirnya bisa menyingkirkan sosok yang sempat dilindungi Aqwa. Sosok yang ia yakini bisa menjadi kelemahan Aqwa.
Hanya saja, di tengah kesunyian jalan lantaran tidak ada yang berani lewat, tiba-tiba ada cahaya terang dari dalam sungai Merah. Posisinya persis dari bekas Gendis membuang tubuh Asih.
“Apa itu?” pikir Gendis yang seketika mendapatkan jawabannya. Karena hanya dalam hitungan detik, ada yang melesat muncul disertai siara ledakan.
Detik itu juga Gendis yang refleks menengadah hanya untuk melihat sosok yang melesat tinggi dari dalam sungai, tercengang. Gendis gemetaran hebat dan memang tidak bisa menerima kenyataan. Bahwa sosok bercahaya berwarna keemasan dan bertubuh ikan tapi sangat cantik itu justru Asih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Endah Setyati
Aqwa sama asih,, saling melindungi dan saling membutuhkan,, Aqwa lemah pada air butuh asih buat melindungi dia ketika berdekatan dengan air yg banyak,,, Asih lemah di darat karena dia harusnya hidup di air jd butuh aqwa buat melindungi dia di daratan,, klop emang udah di takdirkan sama authornya buat bersama 😅😅
2024-12-12
0
Muhammad Fauzi
berarti asih dan aqwa uda ditakdirkan bersama sejak kecil ya thor...
duyung vs manusia pilihan
ceritanya beda dari kisah para ortu mereka ya...
2024-03-20
1
Firli Putrawan
kasian asih semoga bs bersatu sm aqwa lg
2023-09-30
0