Jambore tingkat SMP yang dilaksanakan di bumi perkemahan Bogor, telah selesai dilaksanakan. SMP Nusantara menjadi primadona diacar tersebut, karena meraih beberapa prestasi dari beberapa nominasi. Salah satunya adalah lomba Pasukan Baris Berbaris. Dan Syamil yang menjadi salah satu panitianya juga turut bangga dengan hasil kerja kerasnya dengan adik-adik binaannya.
"Kak Syamil, terimakasih banyak ya, sudah membimbing kami, sampai kami bisa menjadi juara." kata Zea saat Syamil berpapasan dengan Zea di parkiran.
"Sama-sama Zea. Tetap semangat ya." kata Syamil.
"Ya kak, kak Syamil juga ya." kata Zea.
Syamil pun pulang ke rumahnya setelah urusan jambore selesai di bereskan. Syamil pulang malam hari, dan disaat yang sama, papa Syamil juga baru pulang dari bertugas, tampak dari pakaian dinas yang masih melekat di tubuhnya.
"Ma, ini." kata pak Heru menyerahkan selembar kertas kepada mama Syamil. Syamil yang tadinya mau mengucap salam, dia urungkan, karena dia tak ingin mengganggu perbincangan kedua orangtuanya.
"Apa ini pa?" tanya mama Hastin.
"Surat pindah ma." jawab pak Heru.
Bu Hastin segera membaca isi surat itu, dan menutup mulutnya, dengan mata yang terbuka lebar.
"Papa, ini serius?" tanya mama Hastin berbinar.
"Ya, serius." jawab papa Heru.
Melihat ekspresi kedua orangtuanya yang tampak bahagia, Syamil tak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya.
"Surat pindah ke mana pa?" tanya Syamil tiba-tiba muncul di mulut pintu.
"Astagfirullah, Syamil. Ucap salam dulu dong nak kalau mau masuk." tegur mama Hastin.
"Hehe, maaf ma. Assalamualaikum mama, papa." kata Syamil sambil mencium punggung tangan kedu orangtuanya dengan khidmad.
"Wa'alaikumussalam warohmatullah. Baru pulang bang? Katanya acara jambore cuma sampe dzuhur, kenapa jam segini baru pulang?" tanya pak Heru yang mengetahui jadwal acara jambore.
"Ya biasalah pa, panitia kan harus beres-beres dulu, menyelesaikan beberapa masalah pasca acara dulu." jelas Syamil.
"Hem, ya ya." gumam pak Heru.
"Pa, itu surat pindah apa? ke mana?" tanya Syamil.
"Alhamdulillah, papamu naik jabatan Bang, dan papa akan dipindah tugas ke Solo, tempat asal mama dulu." kata bu Hastin kegirangan.
"Ke Solo? Ke rumah mbah?" tanya Syamil.
"Ehm, tidak juga. Masih satu karisidenan, tetapi tidak satu kota dengan mbah. Papa di tugaskan di Solo Kota, sedangkan mbah 'kan di Wonogiri, ya lumayan jauh dong." kata pak Heru.
"Syamil ikut pindah juga?" tanya Syamil.
Tampak pak Heru dan bu Hastin saling pandang, mereka mencoba mencari makna dari pertanyaan Syamil.
"Ya...iya..." jawab bu Hastin bingung mau menjawab apa.
'Pindah? Kenapa harus sekarang, disaat aku sudah menemukan kenyamanan ku di sini. masa putih abuku, masa mudaku, masa remajaku, bahkan masa bertumbuhnya rasa cintaku.' batin Syamil.
"InshaaAllah, nanti di tempat baru, kamu pun akan mendapatkan teman baru yang lebih baik dari yang di sini. Percaya sama papa. Dan papa janji, kita ga akan pindah-pindah lagi." kata pak Heru mencoba menghibur.
"Gapapa pa, ma. Syamil ngikut aja." kata Syamil berusaha tegar.
"Mama yakin, kamu kuat. Lagipula, ini hal yang bagus Bang, karena si kembar nanti akan lahir di kota Solo, dan nanti saat mereka lahir, kamu ga usah repot-repot mengurus mama seorang diri di rumah sakit, ataupun di rumah, karena keluarga mama pasti juga akan datang untuk membantu kita." kata Bu Hastin.
"Iya ma." jawab Syamil.
Pak Heru mengelus pundak Syamil, dia paham bahwa ada rasa kecewa pada diri Syamil, karena dia harus meninggalkan teman-temannya dan tempat masa remajanya.
Malam harinya, Syamil tidak bisa segera tidur, meski tubuhnya terasa letih karena tiga hari berkegiatan full time di bumi perkemahan. Dia yang menjadi bagian sie korlap, harus selalu bergerak untuk menyiapkan tempat dan mengkondisikan peserta juga suasana.
"Pindah? Haruskah ku tinggalkan kota ini begitu saja, tanpa berpamitan kepada orang-orang terdekatku? Hm... baiklah, patuh pada papa dan mama, InshaaAllah semua akan dimudahkan." kata Syamil bertekad.
"Begini banget ya, nasib jadi anak seorang polisi? Harus selalu siap ditinggal tugas jauh, harus siap dipindah-pindah sekolahnya, dan harus siap berkenalan dengan orang baru." gumam Syamil.
"Iya Bang...memang begitu. Itulah yang disebut sebagai abdi negara, harus selalu siap kapanpun. dimanapun ditugaskan, tanpa mengeluh dan protes. Termasuk istri dan anak-anaknya." sambung pak Heru yang ternyata mengawasi gerak gerik Syamil sedari tadi.
"Papa belum tidur?" tanya Syamil.
"Bagaimana papa bisa tidur, jika melihat pandu nya papa masih kesulitan untuk tidur." kata pak Heru.
"Papa sudah punya tabungan yang cukup, untuk membeli rumah di Solo. Sehingga papa janji, papa ga akan mengajakmu pindah-pindah rumah lagi " kata Pak Heru.
"Papa... Makasih pa." kata Syamil sambil memeluk papanya.
💕💕💕
Waktu terus berlalu, Zea kini telah menduduki bangku Sekolah Menengah Atas. Kini Zea bersekolah di sebuah Sekolah Swasta di kota Solo. Dia memilih bersekolah jauh dari ayah dan bundanya, karena dia ingin belajar mandiri, dan yang jelas, dia ingin mengikuti abangnya yang mengajar di kota itu. Zea bersekolah di tempat abangnya mengajar, tepatnya di sebuah Madrasah Aliyah swasta, tetapi Zea tidak mau masuk di asramanya, dia memilih untuk tinggal bersama abangnya, di kontrakan abangnya.
Zea memilih ikut Azzam, karena bersama Azzam dia tidak akan lebih banyak bergerak sesuai minatnya. Sedangkan di rumah, dia akan selalu emosi jika berjumpa dengan abangnya yang bernama Ayyub, karena Ayyub akan mengeluarkan banyak argumen dengan segala apa yang dilakukan Zea, dan hal itu membuat Zea jengah.
Jangan ditanya, berapa alenia argumen Ayyub, ketika Zea memutuskan untuk ikut Azzam ke kota Solo, dan meninggalkan ayah dan bundanya. Sedangkan Ayyub masih harus tetap tinggal di rumah, menemani ayah dan bundanya.
"Ga ada Zea, sepi juga ya bun?" tanya pak Bilal saat makan malam. Malam itu, adalah hari pertama Zea tidak di rumah, dan hanya tinggal bu Gina dan pak Bilal bersama satu anak mereka, yaitu Ayyub.
"Yah...malah enak dong yah...ga ada yang bikin rusuh." kata Ayyub seolah merdeka tidak ada biang rusuh seperti Zea.
"Ish, Ayyub, ga boleh gitu ah. Awas lho. nanti kalau Zea lama ga pulang, kamu bakal merasakan, gimana rasanya rindu sama adiknya." kata bu Gina memperingati.
"Ya ga mungkin lah bun. tiap hari Ayyub harus adu mulut terus sama Zea, sampa Pusing kepala Ayyub. kalau berdebat sama tu anak." kata Ayyub berargumen sambil memasukkan nasi dalam sendokmya ke dalam mulut.
"Ayyub, kamu boleh sebel sama adikmu, tetapi ingat. Walau bagaimana pun juga, dia adikmu, adik perempuan mu, yang harus selalu kamu jaga, dan kamu sayangi. Ketika dia terpuruk dan tidak ada satu orang pun yang menolongnya, maka, kamu lah yang harus menolongnya. Disaat semua orang tal percaya padanya, kamu harus menjadi orang yang pertama percaya kepadanya." pesan pak Bilal kepada Ayyub.
"Tapi Ayyub capek yah, kalau sama dia. Yab, mungkin memang Tuhan lebih tau, sehingga kami dipisahkan jarak seperti ini." kata Ayyub.
"Ayah mengerti, tetapi. tetaplah menjadi kakak yang terbaik bagi Zea." kata Pak Bilal mengakhiri makannya, dan menutup sendoknya di atas piring kosong yang kotor.
Setelah selesai makan malam bersama, pak Bilal dan Bu Gina segera memasuki kamar mereka dna beristirahat. Sedangkan Ayyub tetap duduk di ruang tengah sambil menghadap leptop dengan wajah seriusnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Herry Murniasih
masa sih Ayub senang banget Zea jauh dari rumah nanti kangen lo, adik perempuan satu2nya. Zea sekolah di kota Solo pasti ketemu sama Syamil 😁😁
2023-10-15
0