"Assalamualaikum." salam Syamil sesampainya di sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh dari SMP tempat dia mengajarkan pramuka tadi sore.
"Wa'alaikumussalam. Bang Syamil, kamu baru pulang? Sudah sholat belum?" tanya Mama Hastin.
"Sudah kok mah, tadi Syamil mampir di masjid." jawab Syamil sambil mencium punggung tangan mamanya dengan khidmad.
"Ya sudah, segera mandi gih, papa juga sudah pulang, kita makan malam bareng ya." kata mama Hastin mengusap punggung Syamil.
"Papa pulang jam berapa ma?" tanya Syamil.
"Tadi, jam lima. Udah sana, segera mandi, nanti papa menunggumu terlalu lama." titah mamanya.
"Siap ma." jawab Syamil sambil bergaya seperti pasukan dengan sikap hormat. Mama Hastin hanya tersenyum menanggapi sikap putranya yang terkadang konyol, tetapi memang seperti itulah sikap sang papa setiap bercanda dengan anak-anaknya.
Syamil adalah anak sulung dari dua bersaudara, dan kini mamanya sedang hamil besar anak kembar. Sehingga kemungkinan, Syamil akan memiliki tiga adik, di usia Syamil yang menginjak usia tujuhbelas tahun. Ayah Syamil adalah seorang abdi negara yang bertugas di bidang ketertiban dan keamanan masyarakat, yang tidak lain adalah seorang polisi yang saat ini sedang bertugas di kantor polsek. Dan tentunya, sudah jelas, bahwa mamanya Syamil adalah seorang ibu rumah tangga yang disebut dengan anggota Bhayangkari, karena dia adalah istri seorang polisi.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Syamil segera melaksanan perintah mamanya untuk ikut serta bergabung di meja makan bersama papa dan mamanya serta adiknya yang kini sudah menginjak remaja.
"Assalamualaikum papa." salam Syamil pada papanya dengan mencium punggung tangan papanya yang baru saja pulang dari tugas di luar kota.
"Wa'alaikumussalam nak. Kamu sehat?" tanya papanya yang bernama Heru.
"Alhamdulillah, sehat pa. Papa juga sehat kan?" tanya Syamil.
"Alhamdulillah." jawab Pak Heru.
"Mama, sini biar Syahla bantu." tawar Syahla sambil bergegas membantu mamanya yang membawakan sebuah teko berisi teh hangat.
"Ada yang bisa Syamil ambilkan lagi tidak ma?" tawar Syamil berjalan menuju dapur.
"Oh, ya itu. Mama mau ambil buah." jawab mama Hastin.
"Baik, mama duduk saja, biar Syamil sama Syahla yang siapin semuanya." kata Syamil sambil memegang pundak mamanya.
Dengan perlahan, Mama Hastin berjalan menuju kursi makan sambil memegang perutnya yang buncit.
"Hati-hati ma." kata pak Heru menarik kursi untuk istrinya duduk.
"Terimakasih pa." jawab mama Hastin.
Bu Hastin dan pak Heru melihat kedua anaknya yang sudah remaja, tampak cekatan menyiapkan makanan di atas meja makan dengan tersenyum.
"Mereka sudah remaja ya ma." kata pak Heru.
"Iya pa." jawab bu Hastin.
Kemudian setelah dirasa cukup, Syahla dan Syamil duduk di kursi mereka masing-masing.
"Sudah siap semua?" tanya pak Heru.
"Siap pa." jawab Syahla dan Syamil bersamaan.
"Bang Syamil, pimpin doa!" perintah pak Heru.
"Baik pa." jawab Syamil sigap.
"Sebelum kita makan, mari kita berdoa bersama, Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma Baariklana Fiima rozaqtana waqina 'adzabannar. Aamiin. berdoa selesai." kata Syamil.
"Mari kita makan." kata pak Heru.
Menjadi anak dari seorang polisi dari tingkat terbawah, membuat Syamil dan Syahla tumbuh menjadi anak yang mandiri, tegas, disiplin dan rajin. Mereka juga hidup sederhana, dengan tinggal di rumah dinas tempat papanya bertugas. Sudah dua kali Syamil merasakan pindah sekolah, karena mengikuti papanya pindah tugas, dan kini, Syamil berharap, mereka tidak akan pindah-pindah lagi.
Malam itu, Mereka makan bersama dengan tidak mengobrol, karena itu didikan pak Heru sejak anak-anaknya masih kecil. Setelah makan selesai, Syamil mengajak Syahla membereskan alat makan mereka, sedangkan Mama mereka diminta untuk istirahat.
"Ma, kemungkinan besar, tahun depan kita akan pindah mah." kata pak Heru membuka percakapan.
"Pindah ke mana pa?" tanya bu Hastin.
"InshaaAllah ke Jawa ma." jawab pak Heru.
"Oh...ya, sudah, kemanapun papa ajak kami pergi, kami siap pa." jawab bu Hastin.
"Dan, InshaaAllah, di sana nanti adalah tempat kita tua nanti ma. Karena kalau dihitung-hitung, tabungan papa sudah mencukupi untuk membeli rumah di sana." kata pak Heru.
Bu Hastin tampak terkejut.
"Papa serius?" tanya bu Hastin.
"InshaaAllah ma. Serius. Papa sudah mulai mencari-cari tempat tinggal yang pas di sana, semoga nanti anak-anak juga senang tinggal di sana." kata pak Heru.
"Iya pa. Semoga." jawab bu Hastin.
"Bagaimana keadaan kandunganmu ma? Kapan waktunya periksa lagi?" tanya pak Heru sambil mengelus perut buncit istrinya.
"InshaaAllah, lusa pa. Sama USG pa, karena sudah mendekati HPL." jawab bu Hastin.
"Semangat ya ma. Semoga mama sehat dan selamat nanti saat melahirkan si kembar." kata pak Heru.
"Aamiin pa." jawab bu Hastin.
💕💕💕
Sedangkan di sebuah rumah sederhana yang terletak di sebuah komplek perumahan Nasional (perumnas), tampak dua anak remaja baru turun dari motor vespanya.
"Assalamualaikum." salam Zea sambil mengetuk pintu setelah melepaskan sepatunya dan meletakkannya di rak sepatu.
"Wa'alaikumussalam." jawab bu Gina, ibunda Zea yang tergopoh-gopoh dengan masih mengenakan mukena, membukakan pintu utama untuk kedua anaknya yang baru pulang.
"Kalian baru pulang?" tanya Bu Gina sambil menyalami anaknya dan tangan kiri mengelus kepala anak-anaknya.
"Iya bun, gara-gara bang Ayyub tuh jadi kemaleman kan pulangnya." gerutu Zea sambil cemberut dan masuk ke dalam kamarnya.
"Ye... gue udah bilang sorry juga, kenapa masih ngomel sih? Maaf bunda, tadi Ayyub ada acara gladi bersih di sekolahan buat acara besok bun. Jadi maaf, telat bun." kata Ayyub menjelaskan alasan terlambatnya.
"Ya sudah gih, sana sudah malam, segera mandi dan sholat. Kalian pasti belum sholat kan?" tebak bu Gina.
"Belum bunda." jawab Ayyub, yang meletakkan ranselnya di kamar. Sedangkan Zea sudah keluar dari kamarnya dengan membawa handuk untuk segera mandi.
"Dek, abang dulu lah, kamu kan mandinya lama. Abang keburu telat ini maghribnya." kata Ayyub dengan wajah protes.
"Biarin, salah siapa ngebiarin adiknya nunggu lama-lama di sekolahan." omel Zea dengan tidak mengindahkan kata-kata abangnya.
"Bang Ayyub ambil wudlu duluan aja, biar ga telat sholatnya. Nanti mandinya abis sholat gapapa." kata bu Gina menengahi supaya pertengkaran kedua anaknya tidak berlanjut.
"Hhh, dasar Zea! Ya udah bun, Ayyub sholat dulu aja." keluh Ayyub.
Setelah mandi dan Sholat, Zea segera keluar dari kamarnya, dan berjalan ke lantai satu menuju dapur, karena lantai dua sebagai kamar Zea dan ayah bunda nya, sedangkan satu kamar di lantai satu untuk kamar Azzam bersama Ayyub.
Didapatinya mamanya sedang menata makan malam untuk mereka.
"Bunda, Zea bantuin ya." tawar Zea.
"Makasih sayang." jawab bu Gina.
Bu Gina menyiapkan makan malam di karpet depan televisi. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu bersama di ruang itu ketika ba'da isya' setelah mereka mengaji dan menjalankan sholat isya'.
Rumah kecil dan sederhana itu, membuat rumah pak Bilal semakin sempit ketika mereka sedang berkumpul. Karena pak Bilal yang berprofesi sebagai seorang abdi negara di bidang pendidikan, membuatnya harus pandai-pandai mengatur keuangan dan berusaha memberikan tempat tinggal yang nyaman untuk anak dan istrinya, meski hanya sebuah rumah kecil dan sederhana.
"Assalamualaikum Zea, Ayyub." salam seorang laki-laki yang tak asing bagi Zea. Zea mendongak dan mendapati wajah cerah dan bening kakak sulungnya yang sudah beberapa bulan pergi untuk belajar di pondok pesantren.
"Bang Azzam." pekik Zea sambil menghambur ke dalam pelukan abangnya.
"Kamu sehat dek?" tanya Azzam lembut, sambil mengelus pucuk kepala Zea yang tak terbalut jilbab.
"Alhamdulillah bang, sehat. Bang Azzam kapan datang?" tanya Zea.
"Baru tadi sore, pas adzan Ashar." jawab Azzam.
"Hem...pantesan bunda masaknya lumayan banyak, ternyata bang Azzam di rumah ya?" kata Zea.
"Iya." jawab Azzam yang berjalan ke arah Ayyub, dan Ayyub dengan khidmad mencium punggung tangan abangnya.
"Sehat Yub?" tanya Azzam.
"Alhamdulillah bang, sehat." jawab Ayyub.
"Nah, karena sudah berkumpul, dan makanan juga sudah terhidang, bagaimana kalau kita mulai makan malamnya?" tanya pak Bilal yang tersenyum bahagia melihat ketiga anaknya tampak akur.
Pak Bilal melihat ketiga anaknya yang sudah menginjak dewasa, tersenyum bahagia, karena ternyata rumah mereka kini ramai lagi, meski tak akan lama, karena beberapa waktu lagi, mereka akan pergi untuk mencari ilmu di luar kota.
Tampak Zea bahagia makan bersama Azzam, dan sesekali disuapi Azzam, sedangkan Ayyub tak bergeming dengan tingkah kakak dan adiknya, karena bagi Ayyub, mereka terlalu berlebihan.
💕💕💕
Bab kedua di survival hati. Wah, buat para reader yang pernah merasakan hidup sederhana dan penuh kehangatan seperti mereka, semoga cerita ini bisa menjadi obat rindu untuk kalian... love you😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Herry Murniasih
benar kak dulu waktu masih sekolah selalu kumpul bersama saudara makan seadanya terasa kenyang, sepertinya keluarga Zea dan Syamil sama2 keluarga bahagia ya
2023-10-14
0