Dengan rambut, dan pakaian yang basah, Syamil berjalan menuju ke tempat Rendi berdiri saat ini, yang tepatnya sedang berdiri di lobi sekolah.
"Ya ampun Mil, lo ngapain sampe basah kuyub begini?" tanya Rendi.
"Lo ga liat? Tadi gue kan nolongin cewek yang tadi jatuh di lapangan." jawab Syamil.
"Ya engga lah, secara gue tadi juga panik nyari tempat aman. Terus gue diajak pak Hadi ngamanin anak-anak ke ruang ini." kata Rendi sambil menunjuk sebuah ruang yang membelakangi mereka.
"Oh, jadi beberapa peserta PBB tadi berteduh di kelas ini?" tanya Syamil.
"Iya." jawab Rendi.
"Tapi tadi, gue kok diarahkan bu Ira ke kelas itu ya?" tanya Syamil sambil menunjuk sebuah kelas yang berada di ujung koridor.
"Ya mana gue tau." jawab Rendi.
Saat Syamil masih berbincang dengan Rendi sambil melipat kedua tangannya karena kedinginan, tiba-tiba Bahtiar datang menghampiri Syamil.
"Maaf, apakah anda yang bernama Syamil?" tanya Bahtiar.
"Ya, saya." jawab Syamil.
"Anda diminta pak Hadi untuk mengisi materi kepanduan." kata Bahtiar.
"Sekarang?" tanya Syamil.
"Iya." jawab Bahtiar.
"Baik, saya ke sana." jawab Syamil, namun saat Syamil akan melangkah pergi, Rendi menyebut nama Bahtiar.
"Bang Tiar?" sapa Rendi.
Bahtiar melihat ke arah Rendi, dan mencoba mengingat-ingat wajah itu.
"Rendi?" tanya Bahtiar memastikan.
"Iya bang. Apa kabar lo bang?" tanya Rendi sambil menyalami Bahtiar.
"Baik. Elo sendiri gimana? Masih suka balapan?" tanya Bahtiar.
"Hahaha, gitu lah bang, tapi tidak untuk beberapa waktu ini, soalnya gue lagi di hukum bokap bang." jawab Rendi apa adanya.
"Kalian saling kenal?" tanya Syamil terheran-heran.
"Iya Mil, dia ini senior gue di ajang balap motor." jawab Rendi.
"Oh, begitu?" komentar Syamil.
"Ya udah sana Mil, elo masuk kelas gih, keburu ditungguin. Biar gue ngobrol dulu sama bang Tiar." kata Rendi.
"Iya, silakan anda masuk ruangan, karena yang lain sudah menunggu anda." kata Bahtiar.
"Baik bang." jawab Syamil langsung bergegas pergi.
Setelah tiba di ruangan yang di maksud, Syamil segera mengisi materi kepanduan di depan kelas. Semua mata terfokus pada sosok Syamil yang tampak lebih tampan dari biasanya, karena rambut dan pakaiannya yang basah.
"Wah, ganteng banget...." puji beberapa gadis dengan antusiasnya.
"Selamat sore semuanya. Seperti apa yang sudah di sampaikan oleh pak Hadi, karena sore ini hujan turun dengan deras, yang tidak memungkinkan kita untuk latihan di lapangan, maka hari ini kita akan belajar materi teori tentang kepanduan ya, kita akan mulai dengan materi sandi, untuk memecahkan suatu masalah." kata Syamil sambil memegang sebuah spidol untuk dia torehkan di whiteboard.
💕💕💕
Sedangkan di sebuah ruangan, tampak Pak Hadi menengok ke dalam, dan melihat ada bu Ira bersama seorang siswinya yang terduduk berselonjor di atas meja
"Lhoh, ini kenapa tidak ikut masuk ke ruangan pemateri? Belum sembuh ya?" tanya pak Hadi.
"Belum pak, ga tau ini, apa jangan-jangan terkilir ya pak? Karena ini kakinya anget pak." jawab bu Ira.
"Waduh, bagaimana ini? Padahal kamu kan nanti yang bakal menjadi pimpinan regu?" tanya pak Hadi.
"Iya pak." jawab bu Ira.
"Baiknya kita harus segera mencari pertolongan pak, karena kalau keluarganya tau dia cidera karena latihan, bisa saja dia diundurkan dari lomba ini." kata bu Ira cemas.
"Iya juga ya bu, terus, mau minta tolong siapa ini? Hujan deras begini, apa perlu di bawa ke rumah sakit?" gumam pak Hadi, sambil berfikir.
"Oiya pak, saya ingat. kalau ga salah, kak Syamil juga bisa mengobati kaki terkilir lho pak, kapan waktu itu pernah menolong tetangga saya yang terjatuh dari sepeda, alhamdulillah langsung sembuh pak." kata bu Ira.
"Oh, iya ya bu. Saya baru ingat. Ya bu, saya akan minta tolong kepadanya." kata pak Hadi yang langsung bergegas pergi mencari Syamil.
💕💕💕
Di ruang sebelah, saat Syamil sedang memberi pengetahuan tentang kata sandi, pak Hadi memanggilnya dan membisikinya.
"Maaf mas Syamil, mengganggu sebentar. Bisakah anda mengurut kaki Zea? Karena sepertinya dia masih kesulitan berjalan, sedangkan dia adalah pimpinan regu. Takutnya nanti dia tidak bisa mengikuti lomba, yang tinggal menghitung hari." kata pak Hadi.
Syamil tampak berfikir, bukannya dia tak mau menolong Zea, bahkan hanya menggendong Zea tadi saja, rasanya sudah tidak karuan, ini ditambah harus mengurut dengan menyentuh kakinya. Syamil berfikir keras untuk memberikan alasannya, karena walau bagaimanapun juga, Zea bukan mahromnya, dia tidak ingin menyentuh gadis itu.
"Tolong mas." welas pak Hadi.
Hati kecil Syamil pun berkata, bahwa dia teringat akan pesan ustadz nya dulu, bahwa di saat yang genting, kita harus menolong, dan tetap luruskan niat. Akhirnya, hati Syamil pun luluh.
"Baik pak. Lalu, bagaimana dengan mereka?" tanya Syamil.
"Biar dilanjutkan mas Bahtiar mas." kata pak Hadi.
"Ehm, baiklah pak."
Syamil pun berpamitan kepada adik didiknya, dan melangkah mengikuti pak Hadi.
Sesampainya di ruang itu, Syamil meminta pak Hadi untuk tidak pergi dari ruangan itu, begitupun dengan bu Ira, dan juga Rendi yang diajaknya serta ke ruangan itu.
Saat Syamil akan memegang kaki Zea, Syamil memejamkan matanya dan tangannya tidak melepas sedikitpun kaos kaki Zea yang masih menempel di kakinya.
"Apa perlu saya lepas kak kaos kakinya?" tanya Zea.
"Eh, tidak. Tidak usah." jawab Syamil.
"Baik kak."
Bu Ira heran, dimana-mana kalau mengurut kaki yang terkilir, tetap haris menyibakkan kain yang menempel di bagian tubuh itu, kenapa ini tidak?
"Maaf, nanti sakit sedikit ya. Jangan kaget, dan tahan. Tarik napasnya, supaya tidak syok." kata Syamil mengarahkan.
"Ya kak." jawab Zea.
Syamil berusaha meluruskan niatnya, Dia mengucapkan bismillah dan doa untuk kesembuhan kaki Zea sambil perlahan mencoba mencari syaraf yang keluar dari jalurnya. Syamil memegang pergelangan kaki Zea yang duduk di atas meja, sedangkan Syamil berjongkok di bawahnya dengan fokus mencari jalur syaraf yang keseleo. Dan...
'Krek'
"Aaawwww...." teriak Zea yang kesakitan.
Syamil berdiri tegap, dengan jantung yang berusaha dia netralisir karena khawatir salah memegang syaratnya, dan mengakibatkan kaki Zea semakin sakit parah.
"Coba, di gerak-gerakkan kakinya." kata Syamil.
Zea menggerakkan pergelangan kakinya, telapak kakinya diputar-putar nya, dan syukurlah, Zea sembuh dan tidak merasa sakit lagi.
"Alhamdulillah, sudah tidak sakit kak." kata Zea dengan tersenyum bahagia.
"Alhamdulillah, coba di pakai berdiri." perintah Syamil lagi.
Zea pun turun dari meja dan berusaha untuk berdiri. Dan, benar saja, Zea bisa berdiri tegap.
"Coba untuk berjalan satu langkah." lagi-lagi Syamil masih tak percaya dengan usahanya.
Zea menurut saja, dia mencoba untuk berjalan, menampakkan kakinya di lantai, dan saru, dua langkah bisa dia lakukan dengan masih sedikit menahan rasa sakit, tetapi sudah lebih enakan.
"Udah enakan kak." kata Zea.
"Alhamdulillah." gumam Syamil yang diikuti Bu Ira, pak Hadi dan Rendi.
"Terimakasih kak Syamil." kata Zea dengan senyum teduhnya, membuat Syamil seketika merasakan senyar- dengar aneh di relung hatinya. Syamil tak berani menatap lama gadis itu, dia tertunduk dan mengangguk.
"Terimakasih ya mas Syamil, sudah menolong Zea." kata pak Hadi.
"Ya pak, sama-sama." jawab Syamil.
"Memang kamu ini tukang urut handal ya Mil." canda bi Ira yang sudah akrab dengan Syamil.
"Hehehe, saya hanya perantara bu, penyembuhnya itu tetap Allah bu." jawab Syamil.
"Iya, iya pak Ustadz..." jawab Bu Ira.
Semua orang yang ada di sana ikut tertawa dengan kelakaran bu Ira, membuat Syamil jadi tersipu malu, dia pun melirik gadis yang baru saja dia tolong, tampak wajah ayunya yang tersenyum bahagia.
💕💕💕
Apakah Syamil suka sama Zea? Ikuti terus cerita survival hati ya😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Herry Murniasih
sepertinya ada getaran di hati Syamil, tapi Syamil belum bisa mengungkapkannya.
2023-10-15
0