"Ayah, Ibu! Buka pintunya! Kataia salah apa? Kenapa aku tidak boleh masuk?" Tangis seorang gadis kecil yang menggedor-gedor sebuah pintu dengan frustasi.
Isakan tangisnya yang begitu frustasi mengiringi hujan di gelapnya malam itu. Dia terus menggedor pintu sebuah rumah sederhana yang terletak di pemukiman yang terbilang masih asri dengan beberapa pepohonan di sekitarnya. Begitu sunyi, gadis kecil dengan rambut coklat itu menangis sesenggukan sendirian di depan pintu di dinginnya angin hujan.
"Ayah.. Ibu..." Lirih tangisnya semakin meredam dalam tanpa suara, menggambarkan kesedihan yang begitu besar dihati kecilnya. "Buka pintu.."
Gadis kecil yang kira-kira berumur 6 tahun tersungkur di depan pintu, memohon-mohon tanpa hentinya walaupun angin sejuk menusuk ke dalam kulit. Namun tidak sedikitpun apa yang dia harapkan terjadi, tidak ada yang peduli. Hanya ada angin sejuk dan hujan yang terus berderai menjadi saksi bisu kepedihan hati kecilnya.
Waktu terus berjalan, pintu rumah yang menjadi tempatnya bersandar berubah menjadi sebuah pintu asuhan. Namun tidak ada yang berbeda, tetap tidak ada yang peduli pada gadis kecil itu. Bahkan ada begitu banyak anak-anak seumurannya di sekitar lapangan bermain dengan gembira, tapi sama seperti sebelumnya, tidak ada yang peduli dengan isakan dalam diamnya.
Jika sebelumnya yang menjadi saksi bisu tangis itu adalah angin sejuk dan hujan yang terus berderai, kali ini yang menjadi saksi bisu nya adalah bisikan-bisikan. Bisikan yang berisik, sangat di bencinya. Saking bencinya mendengar suara bisikan itu dapat membuat seorang gadis kecil polos sepertinya menjadi geram, giginya terkatup rapat, menggertakkan giginya tak beraturan dengan air mata yang terus berderai dalam diam.
"Kenapa bisa kamu mengambil dia kemari?"
"Kenapa?"
"Dia itu iblis."
"Desas-desus nya dia dibuang orang tuanya karena membunuh kakaknya sendiri."
"Astaga... Mengerikan sekali."
"Haruskah kita buang juga? Bahaya kalau dia di sini."
"Iya, buang saja yuk."
"Tapi ke mana?"
Matanya menjadi gelap karena mendengar bisik-bisik itu. Dengan sekuat tenaga gadis kecil itu berdiri dengan kaki lemahnya, berdiri tegak menatap teman-temannya dan orang-orang yang berbisik-bisik di kejauhan. Air matanya terus mengalir dengan tatapan kosong dan aura kebencian.
Tapi saat gadis kecil hendak melangkah mendekat dengan kebencian yang dia bawa, seorang gadis yang sedikit lebih tua darinya berdiri tepat di depan langkahnya. Dia tertegun melihat sosok yang dia kenal berada di depan itu, matanya tiba-tiba saja berkaca-kaca, hatinya mulai melembut dengan senyuman tipis yang perlahan mengembang.
"Kakak..." Gumamnya pelan dengan rahang gemetar merasa haru.
Namun ketika kakaknya itu membalas senyuman Kataia kecil, tubuhnya meledak, darah dan potongan tubuhnya berceceran di mana-mana hingga mengenai dirinya sendiri. Orang-orang disekitar langsung berteriak histeris melihat itu, mereka amat ketakutan.
Apalagi wajah Kataia kecil tetap datar saat tubuhnya telah bersimbah darah kakaknya sendiri. Tatapannya kembali kosong, tubuhnya langsung terkulai lemas dan terjatuh di lantai..
"Sial!"
Kataia mengangkat tubuhnya yang tertidur di atas meja dengan tiba-tiba hingga selimut yang menutupi sekeliling pundaknya terjatuh ke atas kursi di belakang. Dia berdiri di depan meja dengan linglung, nafasnya memburu tak karuan dan tangan gemetar hebat. Ternyata itu hanyalah mimpi belaka, mimpi buruk yang menghantuinya sampai bangun sekalipun.
Disudut ruangan, Hikazu yang sedari lama duduk di tepi ranjang sambil menyusun sebuah menara kartu ikut terpekik ketika Kataia bangun tiba-tiba dengan umpatan yang seketika keluar dari mulut. Dia menoleh pada Kataia yang masih membeku di tempatnya dengan tatapan kosong.
"Aih.. Kamu tadi sampai tertidur karena kebanyakan minum wine. Sudah aku bilang kan, jangan minum wine banyak-banyak! Bandel!" Omel Hikazu kembali asik menyusun menara kartu nya di tepi ranjang.
Tapi tidak ada sahutan yang menjengkelkan seperti biasa. Kataia diam, tidak bergerak di tempatnya dengan tatapan mata yang masih kosong. Heran dengan sikap Kataia, Hikazu mendekat menghampirinya.
"Kataia?" Suaranya terdengar khawatir sambil memegang salah satu pundak Kataia.
Tubuhnya gemetar berkeringat dingin, tatapannya kosong dengan nafas yang masih memburu. Merasa khawatir dengan Kataia yang masih tidak menjawab, Hikazu memegang kedua pundaknya dengan tegas, membuat Kataia tertegun dari lamunannya.
"Kataia!"
"Ng! Hikazu?" Sorot matanya kembali ada secercah kehidupan, namun tanpa terduga setetes air mata mengalir dari sudut matanya.
"Kamu menangis?"
Sesaat Kataia kebingungan dengan perkataan Hikazu, lalu dia menyeka pipi lembutnya dan benar saja, ada setetes air mata yang mengalir. Mengetahui itu membuat rahang dan bibirnya gemetar tak karuan, Kataia mendorong kasar Hikazu yang memegang kedua pundaknya itu.
"Aku tidak menangis." Kataia membuang muka.
Dengan cepat Hikazu menggenggam kembali salah satu pundak Kataia agar tidak memberontak. Dia mengangkat dagu Kataia dengan tangan lain dan menyeka lembut air mata baru yang mengalir di sudut mata Kataia yang satunya.
"Kamu menangis, Kataia." Ucap Hikazu lembut menatapnya Khawatir. "Kamu bermimpi apa sampai menangis begini?"
Tak kuasa menahan rahang dan bibirnya yang gemetar, Kataia tidak bisa menyahut menjawab Hikazu. Mungkin jika satu saja kata keluar pada waktu itu, tangisnya akan pecah sejadi-jadinya. Tapi dengan kasar Kataia mendorong Hikazu kembali dan segera pergi ke dalam kamar mandi tanpa bicara apapun.
Di dalam kamar mandi Kataia mengguyur tubuhnya, membasahi permukaan kulit putih pucat yang tanpa pakaian di bawah pancuran air dingin, duduk dalam diam di lantai sambil menyandarkan punggungnya pada tembok kamar mandi. Sunyi senyap, hanya ada suara aliran air yang terdengar. Bahkan Hikazu yang berada di luar kamar mandi pun tidak membuat suara.
Ketika baru saja Kataia keluar, dia terkejut sudah melihat Hikazu berada di depan kamar mandi, tepat di depannya. Pria itu menyandarkan salah satu tangannya di tembok dengan tangan lain yang membawa handuk kecil.
"Mau ku bantu mengeringkan rambut mu tidak?" Ucap Hikazu tersenyum lembut pada Kataia yang berdiri di ambang pintu dengan mengenakan jubah mandi berwarna hitam.
"Aku bisa sendiri."
Handuk itu Kataia ambil dari tangan Hikazu, dia melewatinya sambil menggosok lembut rambutnya yang mengkilap basah. Suaranya tiba-tiba menjadi sedikit dingin dan berbeda dari biasanya. Kataia pun berjalan dan duduk di meja yang sebelumnya dia tinggalkan dengan keadaan berantakan, kini sudah menjadi rapi dan bersih.
Tak menyerah mendapatkan kembali perhatian Kataia, Hikazu mengejarnya dan berdiri tepat di belakang Kataia yang sedang bercermin. Dari pantulan cermin Kataia bisa melihat jelas sikap aneh nan menganggu yang Hikazu lakukan. Dia membuat wajah aneh mengejek di belakang Kataia yang sedang mengeringkan rambutnya itu. Pria itu membuat raut wajah seolah-olah berakting menjadi om-om bejat, tentu saja Kataia merasa sangat terganggu dengannya.
"Ck, kamu pergi sana! Menganggu pemandangan!" Akhirnya decakan sebal Kataia yang biasanya terdengar, membuat Hikazu terkekeh puas dengan hasil dari usahanya itu.
"Kamu kejam sekali mengusir ku begitu. Padahal aku berniat baik untuk menghibur mu, lho.." Kedua sudut bibir Hikazu terangkat, tersenyum sangat lebar hingga matanya terlihat tertutup pada pantulan cermin di depan mereka.
"Aku tidak menangis! Kamu kenapa sih, membuat orang kesal terus? Tidak punya pekerjaan lain apa?" Ucap Kataia kesal, masih menggosok rambutnya yang basah sambil memandang Hikazu dari pantulan cermin.
"Tidak ada. Makanya aku menganggu mu, karena aku tidak ada kerjaan."
"Ah.. Lelah sekali berbicara dengan mu." Helaan nafas yang berat.
"Jangan begitu, Kataia. Aku ini sudah mencoba mengumpulkan niat baik untuk menghibur mu alih-alih menindas mu seperti tujuan pertama ku." Suara Hikazu terdengar menggoda dengan sedikit mengejek, dia menyandarkan kedua lengannya yang terlipat di atas sandaran kursi yang Kataia duduki.
"Sudah aku bilang, aku tidak menangis! Itu tadi ada bayi lebah menusuk mata ku. Makanya jadi berair dan sedikit bengkak." Celetuk Kataia menyangkal perkataan Hikazu yang sebenarnya adalah fakta.
Semuanya Hikazu bisa baca dengan cermat dari manik Kataia, dia berbohong dan menyangkal apa yang dikatakan Hikazu. Tapi walaupun begitu Hikazu pun tidak ingin membuat Kataia semakin tertekan dengan masalahnya, dia hanya mengangkat sebelah alisnya sebelum mengambil coat hitam pada gantungan yang ada di dekat pintu.
"Baiklah, aku mengerti."
Kembali Hikazu mendekat ke meja di dekat Kataia dan mengambil secarik kertas dengan gambar denah kapal di sana, lalu memasukkannya ke dalam saku dengan cepat. Dengan senyum manisnya yang berkharisma, Hikazu menatap lekat Kataia sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana.
"Aku mau berkeliling sebentar dan mengecek tempat barang lelang di bawah. Susul aku nanti kalau kamu sudah siap."
"Oke, pergi saja duluan. Aku mau siap-siap sebentar."
Sedikitpun Kataia tidak memperhatikan Hikazu secara langsung bahkan saat dia telah pergi keluar, hanya melihatnya dari pantulan cermin yang ada di depan. Rambut ash brown yang masih sedikit basah dia sisir dan tata sedikit demi sedikit, tangannya telaten menyusuri setiap helaian rambut lebat dengan memusatkan semua fokusnya.
Dek kapal terlihat ramai saat itu, banyak orang-orang kaya dengan baju yang lumayan terbuka bersusun di pinggir pagar penghalang untuk sekedar melihat pemandangan dan menikmati angin sepoi-sepoi yang segar. Matahari nya bersinar sangat terang di langit, namun tidak sedikit pun cahayanya yang menyengat permukaan kulit halus, nampak ramah pada waktu itu.
Sungguh menyenangkan jika bisa melihat pemandangan indah di tengah laut begitu. Tapi tujuan Deeper Stuck untuk ikut di dalam kapal pesiar ini bukanlah untuk berlibur, namun menjalankan misi. Hikazu yang berperan sebagai ketua pun harus menjalankan tugasnya pada saat itu. Langkahnya terus berkeliling kesana kemari tanpa tujuan jelas, namun ada niat yang jelas dalam langkahnya menyusuri setiap ruangan.
Tidak main-main ruangan yang Hikazu jelajahi, dia memasuki berbagai ruang 'terlarang' yang hanya bisa dimasuki oleh orang tertentu. Namun karena keterampilannya, dia berhasil menyusup ke setiap tempat itu dengan pergerakan yang halus dan lembut tanpa diketahui oleh satupun orang. Hingga dia tiba di sebuah ruangan dengan pintu logam di tempat terpencil di kapal, Hikazu menghentikan langkahnya.
"Ini pasti tempatnya."
Sebelum menempelkan salah satu kupingnya pada permukaan pintu besi itu, Hikazu memperhatikan sekitar persimpangan lorong di dekat ruangan, hanya untuk memastikan kalau dia aman menguping di sana. Dari balik pintu Hikazu bisa mendengar jelas bisikan-bisikan asing beberapa orang pria di dalam.
"Ini kan barangnya? Coba cek dulu chip nya ada atau tidak? Siapa tahu saja orang-orang itu menipu kita."
"Tunggu."
Suara kebisingan barang-barang yang terjatuh dan di pindahkan ke tempat lain terdengar jelas dari permukaan pintu yang menempel dengan telinga Hikazu. Dia tetap diam di sana, mendengar lebih banyak apa yang orang-orang itu lakukan di dalam.
"Ini, chip nya ada. Kita cek dulu bagaimana?"
Keheningan tiba-tiba terjadi di dalam, tidak ada tanda-tanda pergerakan dari orang-orang itu. Hikazu sedikit mengernyit frustasi, namun tetap berusaha untuk tetap tenang dan terus mendengarkan dengan sabar.
"Ini asli, bos."
"Bagus, ganti tempat nya. Di sini."
"Eh? Benarkah? Tapi bos.."
"Ganti saja ke sini, jangan banyak tanya kamu. Kita akan membawa chip nya dengan harga murah jika meletakkannya pada barang lelang yang murah juga."
"Memangnya bos besar tau ini, bos? Takutnya nanti beliau marah besar pada kita."
"Ah! Tidak usah banyak bicara kamu! Bos tidak akan peduli bagaimana cara kita untuk mendapatkan chip ini. Cepat sebelum ada petugas keamanan kemari!"
Lalu grasak grusuk terdengar di dalam selama beberapa waktu. Tak lama saat Hikazu masih tetap menguping, dia mendengar ada suara langkah kaki yang mendekat ke balik pintu. Cepat-cepat dia berlari ke persimpangan lorong dan terlihat linglung sesaat menoleh ke sana kemari.
Ada sebuah bak sampah yang terletak di belokan persimpangan lorong, Hikazu membukanya dan melihat ada beberapa sampah botol alkohol. Botol itu Hikazu ambil dan dengan cepat dia berbaring di lantai, memejamkan matanya dengan botol alkohol terletak di samping.
Benar saja, tidak sampai Hikazu membuat nyaman posisinya, tiga orang keluar dari pintu besi itu dengan langkah yang tenang. Langkah mereka terdengar semakin dekat pada Hikazu yang terbaring di lantai dengan cepat. Melihat ada seseorang yang sepertinya mabuk tentu saja membuat naluri preman mereka aktif. Ketiga orang itu mendekat dengan salah seorang menendang langsung perut Hikazu dengan keras.
"Oy! Bangun idiot!" Salah satu sudut bibir orang yang menendang Hikazu itu naik, tersenyum jahat.
"Ahh.. Babi lumpur. Mandikan babi nya, Maya. Aku mau daging bakar.. Saus barbeque.." Gumam Hikazu asal sembarang ucap, hanya itu yang bisa terpikirkan olehnya.
Matanya sedikit terbuka, meringis kesakitan dengan rasa ngeri pada perutnya yang di tendang. Tidak puas hanya sampai di situ saja, salah seorang yang lain mendekat dan mencengkram kerah Hikazu, mengangkatnya sampai melayang dari lantai dengan otot-otot kekar di tubuhnya.
"Babi bakar, hm? Bagaimana kalau kami antar kamu tidur lebih lama? Kamu bisa bermimpi memakan segunung babi bakar yang panas dengan semangkuk ramen jumbo."
Tawa jahatnya menggelegar di sepanjang lorong, tinju yang tinggi terangkat naik, siap untuk memukul Hikazu yang terlihat lemas itu. Namun ketika tinju itu hendak dia layangkan, ada suara degupan lari seseorang yang datang dengan tergesa-gesa.
"Hikazu!" Ayaka berlari cepat menghampiri ketiga orang itu, membuat tinju nya segera turun. "Ah, tuan. Apa teman saya membuat masalah? Saya minta maaf, saya minta maaf.." Ucap Ayaka menunduk cepat untuk beberapa kali.
"Tidak apa-apa. Kami hanya membantunya berdiri dan membersihkan sedikit debu di jaketnya." Suara pria yang mencengkram kerah baju Hikazu tadi seketika menjadi ramah sambil menepuk-nepuk coat nya yang tidak kotor.
Sikap ketiga orang-orang yang sangar itu tiba-tiba saja berubah menjadi ramah saat Ayaka datang. Mereka tersenyum lembut menyambut datangnya Ayaka, lalu berpamitan sebentar sebelum pergi meninggalkan Ayaka dan Hikazu berduaan di lorong yang sepi itu.
Setelah memastikan bahwa mereka benar-benar telah sendiri, Ayaka menghampiri Hikazu yang tergeletak terduduk di lantai dengan punggung yang bersandar tembok. Dia mencubit kuat-kuat kulit perut Hikazu yang keras karena otot-otot hasil olahraga rutinnya.
"Aww! Awww! Ini baru saja di tendang mereka, lho.. Kejam sekali." Jerit Hikazu kesakitan merespon cepat rasa sakit itu, matanya langsung terbuka lebar dan terlonjak dari duduknya.
"Salah sendiri bodoh! Memangnya apa yang kamu lakukan disini sendirian, berlagak bodoh lagi. Untung saja aku datang tepat waktu. Kalau tidak, habis kamu babak belur oleh mereka." Omel Ayaka kesal sambil melepaskan cubitannya.
"Ck, aku melakukan itu semua ada tujuannya. Asal tau saja, aku tidak sembarangan bertindak bodoh."
"Oh, iya? Jadi apa yang dilakukan orang pintar Kita ini di sini? Bersikap seolah-olah seperti orang mabuk yang nyasar lagi." Kedua alisnya naik, nadanya terdengar menantang dan meremehkan.
"Kamu tau? Ternyata klien dari Otoko itu licik juga." Suara ceria Hikazu terdengar bersemangat namun hampir berbisik.
"Ha? Bagaimana? Apa? "
"Nanti saja aku ceritakan kalau kita sudah kumpul semua. Ayo kita pergi, tidak ada yang bisa kita lakukan lagi tempat ini sekarang. Pintunya sudah terkunci." Hikazu menoleh kebelakang, kearah pintu besi berat yang nampak sudah tertutup rapat disana.
"Syalan memang." Gumam Ayaka kesal.
Padahal Ayaka sudah sangat siap mendengar informasi apa yang telah Hikazu ketahui itu, namun harapannya langsung pupus mendengar penundaan Hikazu. Entah kenapa beritanya menjadi tidak menarik saja nanti karena sudah terbagi dengan yang lain. Tapi pada akhirnya Ayaka hanya bisa menghela nafas berat sambil memutar bola matanya malas, berjalan mendahului Hikazu menyusuri lorong dengan karpet biru itu.
"Sudahlah.. Aku lapar, kamu mau ikut makan ke restauran tidak?"
Pandangan Ayaka sedikit melirik pada Hikazu yang berjalan mengikutinya dari belakang dengan hening. Tidak biasanya bisa sehening itu saat berada di dekat Hikazu. Saat Ayaka benar-benar memfokuskan arah pandangnya, Hikazu nampak asik mengecek layar ponselnya di belakang, bahkan hampir tidak berkedip dan mendengarkan sekitar sekalipun.
"Hikazu?" Panggil Ayaka yang masih berjalan sambil menoleh padanya.
"Ha? Oh, iya. Ikut, ayo!"
Dengan cepat Hikazu segera menyimpan ponselnya ke dalam saku ketika lamunannya buyar. Mereka terus berjalan menyusuri lorong itu untuk beberapa waktu hingga menemukan ujung lorong yang tembus menuju dek kapal. Cahaya matahari langsung mendapati sosok mereka selepas keluar dari lorong sepi itu.
"Kenapa kamu tidak mengecek tempat tadi bersama Kataia?" Tanya Ayaka tiba-tiba saat langkahnya masih memimpin di depan.
"Dia sepertinya kurang enak badan, jadi aku menyuruhnya untuk tinggal beristirahat di kabin. Lagipula aku tadi di sana saja adu keberuntungan saat bertemu para preman itu. Kalau aku membawa Kataia yang dalam kondisi tidak enak badan itu, mungkin akan lebih repot." Tukas Hikazu cepat dengan nadanya yang santai sambil mengantongi tangannya di dalam saku celana.
"Masuk akal juga. Aku kira manusia itu tinggal di kabin hanya untuk berleha-leha dan minum wine."
Namun tebakan Ayaka itu tidak salah, Kataia memang berleha-leha sebelumnya di kabin sambil meminum botol wine yang telah Zean bekali dalam kopernya. Menanggapi tebakan Ayaka, Hikazu hanya mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum canggung di balik punggung Ayaka.
Bukan hanya alasan berkedok dusta belaka saja yang Hikazu ucapkan itu tadi, tapi dia punya alasan tersendiri saat melakukan sesuatu itu sendirian. Jikalau Kataia yang berisik itu ikut, mereka berdua pasti akan bertengkar di sepanjang perjalanan mencari tempat 'utama'. Sementara tempat 'utama' itu adalah tepat yang tidak sembarangan orang boleh masuk. Bahkan Kataia yang seorang presidir Grize yang merupakan induk dari Vilang sekalipun telah terus terang kalau dia sendiri tidak bisa masuk ke sana.
Tidak bisa Hikazu bayangkan kalau Kataia ikut dengannya waktu ada preman-preman klien Otoko tadi. Tentunya ketika sudah panik, Kataia akan cenderung bertindak gegabah dari pada berpikir secara matang-matang dulu. Bisa saja Kataia dengan gegabah membunuh preman-preman itu kerena merasa terancam dan misi mereka pasti akan terancam karena harus berurusan dengan pihak berwajib kapal, dan bisa saja mereka akan diusir dari kasino Vilang karena itu.
Kataia itu diibaratkan seperti cicak, ketika merasa terancam mereka melepaskan ekor mereka dari tubuh utama tanpa tau itu benar-benar bahaya atau tidak, baik atau tidak. Kataia dan cicak sama-sama memiliki pemikiran yang gegabah dan punya prinsip yang sama, yaitu 'Apapun itu, tetap terlihat bahaya', tidak bisa membedakan benar atau tidak.
Bahkan jikalau Hikazu berlari pada seperkian detik itu tadi saat para preman keluar dari ruangan, mungkin dia akan digebuki karena dicurigai sebagai pengintip pada area 'terlarang' kapal, bahkan jika mereka sama-sama pengintip sekalipun, atau mungkin akan di laporkan pada pihak berwajib kapal. Tentunya masing-masing akibatnya akan membuat masalah menjadi besar. Itulah mengapa Hikazu rela berpura-pura menjadi orang bodoh yang mabuk pada waktu itu.
Sampailah Ayaka dan Hikazu di restoran kapal setelah beberapa saat berjalan. Restoran megah dan mewah, dipenuhi dengan dekorasi mahal nan estetik. Para orang kaya berkumpul di sana, menyantap hidangan makanan seharga ginjal yang hanya bisa di makan dalam satu suapan. Sesaat mereka ragu untuk duduk di sana, tapi baru ingat, kalau semuanya telah di tanggung Kataia sang ATM berjalan mereka.
"Kamu mau pesan apa?" Tanya Ayaka sambil membaca sejumlah harga makanannya yang setinggi langit ke bumi, hampir tidak masuk akal.
"Aku mau telur dadar saja boleh tidak si? Takut sekali aku mau pesan makanan di sini. Siapa tau saja nanti makanannya ada pajak yang seharga ginjal dan jantung ku. Kan tidak lucu kalau aku pulang-pulang dari sini tiba-tiba modar gara-gara hilang jantung." Wajah Hikazu langsung meringis ngeri menatap beberapa angka-angka yang tertera di sana.
"Sama, aku juga."
Nyali Ayaka ikut ciut ketika mengetahui Hikazu pun takut untuk memanggil pelayan yang nampak kesana-kemari melayani orang-orang kaya yang tidak tanggung-tanggung makanan. Keduanya serempak dengan hati-hati dan lembut meletakan buku menu yang sebelumnya mereka pegang kembali ke atas meja, terlalu takut kalau itu rusak akan di bayar dengan satu ginjal. Keduanya menghela nafas berat.
Namun belum lama mereka terdiam sambil tatap-tatapan dengan frustasi, beberapa pelayan menghampiri mereka, meletakkan sejumlah makanan yang harganya selangit itu. Mereka kebingungan, terkejut sekaligus takut. Keduanya saling lirik dan memberikan isyarat mata ke satu sama lain, tidak berani bersuara.
"Weh! Apa ini? Kamu yang pesan?" Ayaka membulatkan matanya, menaik turunkan kedua alisnya dengan cepat.
"Enak saja! Bukan!"
"Siapa ya kira-kira? Siap-siap, Hikazu. Kita akan pulang tanpa ginjal."
"Belum siap.." Balas Hikazu dengan wajah yang meringis miris.
Ketika para pelayan dengan pakaian rapi itu selesai menata rapi semua makanan di atas meja dan hendak pergi, Hikazu langsung tertegun dan terlihat sedikit panik hendak menghentikan pelayan-pelayan itu.
"Tunggu dulu, ini bukan pesanan kami, apa kalian tidak salah meja? Kami belum memesan." Ucap Hikasu cepat.
"Tapi nona yang duduk di sana bilang, anda berdua pesan makanan set eksklusif." Tukas salah satu pelayan pria yang langsung menjawab dan menunjuk pada salah satu meja yang tidak jauh dari tempat mereka.
Nampak sangat jelas siapa yang di tunjuk oleh pelayan itu. Seorang wanita dengan mini dress hitam, rambut ash brown yang dicepol setengah dan kaki jenjang tersilang sombong, tidak lain dan tidak bukan adalah Kataia. Dia duduk bersama dengan sepasang kekasih yang terlihat tertekan dengan senyuman sinis nya yang tidak asing.
"Kalau sudah tidak ada yang lain, kami pergi dulu tuan. Permisi.." Pelayan itu pergi, disusul oleh pelayan lain di belakangnya.
Hikazu dan Ayaka masih terdiam membeku memperhatikan Kataia yang berada di kejauhan dengan lekat. Sesekali mereka saling tatap, memberikan telepati pada satu sama lain membahas tentang apa yang terjadi di meja sana.
"Kataia... Sedang apa dia di sana?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments