Bersembunyi lah siluet seseorang di bayangan redup gedung tua di tepi kota kecil, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang menembus masuk lewat jendela yang pecah. Sosok pria duduk menyilangkan kakinya di anak tangga dengan karpet merah kusam. Manik merah dingin dan bengis beradu dengan kegelapan malam.
"Jadi kamu meremehkan ku? Heh! Iblis hina seperti itu mimpi saja bisa menandingi ku, bahkan untuk duduk diatas seperti ini pun dia tidak akan pantas." Suara ketus dan bengis itu melawan udara dingin masuk diantara celah tembok yang bolong.
"Siapa tau saja, Rachel. Kita tidak akan tau kalau belum melihatnya langsung. Tidak ada yang tau kekuatan sesungguhnya iblis setengah manusia itu."
Dari tengah gerombolan seorang yang lain menyahut dengan mata yang tidak kalah dingin. Orang-orang itu menoleh sinis ke sumber suara sambil membuka jalan bagi pria itu menghadap Rachel. Namun perkataan orang itu tidak menggoyahkan Rachel sedikitpun.
"Tidak perlu aku lihat Devang yang kalian bicarakan itu. Mendengar nama buatannya saja sudah bisa membuat ku menilai seberapa bodohnya dia. Apanya 'Devang'? Memangnya sudah sehebat apa dia sampai membuat mu khwatir?"
Mengucapkan kata-kata kejam itu sepertinya sangat menyenangkan. Dia tertawa terbahak-bahak menghentakkan kakinya hingga perutnya sendiri keram karena terlalu banyak tertawa. Ujung matanya berair, menikmati kesenangan dalam penghinaan.
"Aku tidak tertarik membuang-buang waktu ku untuk bermain dengan orang bodoh seperti Devang."
Nada dingin setelah tawa puasnya membuat angin berhembus semakin kencang menerobos masuk ke dalam ruangan dari celah dinding. Hawa dingin yang menyisir lembut rambut putih lebat pria dengan karisma dingin dan bengis itu. Matanya merah menyala menekankan peringatan.
"Terserah saja."
Sosok yang berbicara pada Rachel dari keramaian menyipitkan matanya, tajam dan sinis dengan jantung sedikit berdegup gugup. Dia berbalik dengan ketus mengibaskan jubahnya. Orang itu berdecak frustasi menyusuri jalan dalam karpet merah yang kusam dan berdebu di bawah kakinya.
Mengantarkan kepergian orang itu, Rachel berdiri sambil melambaikan tangannya dari atas tangga, terlihat antusias dengan mata berbinar. Namun berbanding terbalik pada suaranya yang terdengar menjengkelkan seperti ejekan.
"Sampai jumpa, Equa. Selamat bersenang-senang Devang, ya? Jangan lupa untuk pulang hidup-hidup!" Seru Rachel.
Betapa senangnya Rachel mengantarkan Equa dengan senyuman mengejeknya, membuat Equa hanya bisa mendengus bengis dari balik punggungnya menuju pintu tua yang setengah rusak. Sekumpulan orang yang terpisah karena memberikan jalan tadi kembali bergerombol setelah sosok Equa hilang dari pandangan, menyisakan keheningan sesaat pada Rachel dan sekumpulan orang di sana.
"Nah, aku jadi sedikit penasaran pada Devang yang sampai bisa membuat Equa yang jarang peduli itu turun tangan." Gumam Rachel kembali duduk di atas tangga di bawah kakinya.
Tertinggal hawa dingin dari luar beradu dengan aura dingin Rachel. Hanya ada suara desiran jam pasir di bawah tangan pria berkharisma itu dan beberapa bisikan diam-diam dari antara sekumpulan orang di depannya.
"Ternyata Louis benar-benar sudah kembali."
"Iya, bahkan dia kali ini sudah terang-terangan mengungkap dirinya."
"Sudah yang kesekian kalinya, tapi Louis baru pertama kali kan seperti ini?"
"Wahh! Anak tengik itu sudah berani membantah Fronce, kalau sampai berani membantah Rachel juga... Aku sudah tidak bisa membayangkan."
"Benar, jangan dibayangkan."
"Tapi aku juga penasaran permainan macam apa kali ini yang dimainkan Louis."
"Aku juga."
Ditengah bisikkan yang masih begitu panas di dinginnya hembusan angin, pintu besar yang setengah rusak di ruangan itu perlahan terbuka kembali dengan suara decitan yang memekik telinga. Seorang pria dengan pakaian kumuh dan lusuh berdiri di ambang pintu bersama bayi di gendongannya.
"Wah, sudah lama sekali tidak ada manusia yang masuk sini. Selamat datang.." Sapa Rachel cepat dan ramah sambil berdiri dari tempatnya.
Kembali orang-orang itu tadi memisah diri, memberi ruang bagi Rachel lewat pada karpet merah. Langkahnya mantap menyusuri karpet merah sambil memandang pria tadi lekat beserta bayinya. Semua mata melirik sinis, penampilannya begitu memprihatinkan dan menyedihkan sekali. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya ikut gemetar gugup melihat sekeliling. Begitu Rachel sudah di depannya, rahang pria itu gemetar ketakutan menatap mata merahnya.
"Tidak banyak manusia bodoh seperti mu akhir-akhir ini masuk kemari. Aku jadi senang.. Sekali lagi aku ucapkan, selamat datang di perbatasan akhirat. Tempat dimana manusia tidak seharusnya disini." Senyum tipis Rachel yang penuh dengan arti terselubung.
Beberapa saat pria itu terdiam dengan dekapan yang gemetaran pada bayi nya. Langkahnya menjadi mundur beberapa ke belakangan. Dia memeluk bayi itu dengan erat dengan mata yang mulai berlinang.
"Tuan! Aku ingin mengubah hidupku! Aku ingin hidup lebih sejahtera! Aku lelah hidup susah setiap hari. Aku ingin bahagia, aku ingin kaya, aku ingin sejahtera, dan harta ku berlimpah ruah supaya semua orang yang pernah menghina ku melihatnya." Seru pria itu dengan lantang.
Rachel dengan susah payah menahan tawanya, matanya sampai terpejam menahan tawa, entah apa yang menjadi lucu dalam pikiran orang itu. Sambil menggelengkan kepalanya pelan, Rachel kembali membuka matanya, menatap pupil pria itu.
"Kalau kamu meminta kebahagiaan, kamu sepertinya salah mendatangi tempat." Rachel tersenyum sinis seperti mengejek. "Tapi kalau yang kamu maksud mu kebahagiaan dalam bentuk finansial, kamu datang pada tempat yang tepat." Sambungnya lagi sambil maju beberapa langkah mengejar pria itu yang sebelumnya mundur.
Pria itu sempat terdiam membeku sebentar menatap Rachel, mata mereka bertemu, Betapa takutnya pria itu pada Rachel didepannya, tidak ada yang bisa di tebak maupun di baca di wajahnya. Tidak dapat tertebak kedepannya apa yang akan orang itu lakukannya padanya. Mata merah yang bengis itu hanya memberi arti satu kata saat bertemu—'kematian'.
"Aku.. Aku ingin hidup sejahtera, hidup bahagia, terserah kamu mau memandangnya seperti apa, aku sudah sangat lelah... Setiap hari aku harus pergi kerja dari pagi sampai malam. Pulang ke rumah malam hari pun aku harus mendengar suara omelan istri ku yang kekurangan uang, belum lagi suara bayi yang rewel ini. Aku tidak kuat, aku hampir gila dengan hidup ini..."
Suaranya semakin gemetar dengan air mata yang perlahan berlinang, dia meringkuk memeluk erat bayi di gendongannya itu dengan kasih sayang. Tangis nya pecah, dia tidak peduli dengan semua mata yang memandangnya di tempat itu. Pria itu sangat frustasi sampai-sampai kehilangan akal sehatnya.
"Tentu saja aku bisa kabulkan permintaan mu. Tapi ada biayanya." Rachel berhenti sejenak sambil menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Bayaran apa yang bisa kamu berikan?"
Mata Rachel berpindah pada bayi yang berdenyut di gendongannya, bayi itu perlahan menangis merasakan angin dingin semakin membelai kasar kulit sensitif nya yang lembut. Walaupun sudah tau apa yang menjadi jawaban pria itu, Rachel masih penasaran, apakah jawabannya akan berubah atau akan tetap sama.
Dengan ragu lengan pria itu gemetar mengulurkan bayi nya, Rachel sontak mendengus ketus dengan senyum sinis nya. Dia menyibakkan rambut lebat nya ke belakang sambil sekali lagi menatap pria itu.
"Kamu yakin?"
Mulut pria itu gemetar, dia menarik kembali bayi nya, menatapnya lekat dengan tatapan yang ragu. Pelukannya hangat dan erat pada bayi kecil yang menangis itu, penuh kasih sayang yang tidak bisa di artikan. Namun apa yang sedang dia lakukan sekarang?
"Maafkan ayah.. Maaf.. Maaf, nak." Ucap pria itu pada bayi kecilnya sebelum mengulurkan nya kembali kepada Rachel, anggukan nya yakin dan mantap kali ini walaupun dengan linang air mata. "Ambillah wahai pangeran iblis, bayaran atas permintaan ku pada kaum bangsa-bangsa iblis mu."
Tangan Rachel dengan antusias menyambut bayi yang menangis itu ke dalam gendongannya. Mereka berdua melewati karpet merah kusam di tengah-tengah kerumunan orang-orang di ruangan itu, pergi menuju kegelapan abadi yang sesungguhnya. Gemuruh sorak-sorai kerumunan orang di ruangan itu mengikuti mereka.
Dalam semalam apa yang menjadi keinginan pria itu terwujud setelah dirinya pulang dari suatu ruangan gelap gedung tua itu. Harta berlimpah dan keberuntungan datang berturut-turut ke rumahnya atas pengorbanan bayi laki-laki nya yang telah dikorbankan kepada sang pangeran iblis, Rachel.
...----------------...
"Aduh.. Uang ku sudah sangat menipis. Emi, coba kamu telpon adik mu itu untuk minta uang. Kalau bisa minta satu black card lagi lah." Ujar wanita paruh baya sambil duduk di sofa besar sebuah rumah megah.
"Hmn."
Emi yang sedang menyantap ramen di ruang tamu membeku sebentar sebelum memutar bola matanya malas dan lanjut menggigit mie nya. Tanpa banyak merespon dia tetap makan dengan kyusuk sampai membuat wanita itu kesal.
"Cepatlah, aku ada perkumpulan dengan teman sosialita ku di luar negeri sore ini. Aku perlu uang untuk pergi." Suara nya semakin mendesak.
"Telpon sendiri saja, ibu." Tidak ingin di ganggu ritual makannya, Emi sang wanita muda itu menyerahkan ponsel dengan kontak yang sudah terpanggil di ponselnya.
Sesaat nada dering tunggu panggilan berbunyi pada ponsel yang sekarang ada di tangan ibu. Panggilannya diangkat, namun orang di seberang telpon hanya diam menunggu. Dengan antusias ibu meletakkan benda pipih itu di telinganya.
"Halo anak ku sayang.. Sudah lama sekali, bagaimana kabar mu?" Seru ibu bersemangat dengan nada yang manja.
"Berapa lagi yang kalian butuhkan?" Nada dingin dan datar seorang wanita dari seberang ponsel.
Seakan sudah tau tujuan dari salam yang diucapkan pada awal pembicaraan, wanita itu menjawab langsung pada inti topik yang biasa dia dengar. Tidak lain dan tidak bukan adalah topik tentang uang, harta, aset, semua yang terucap hanyalah pengalihan dari tampang naif.
"Ah, Kataia, jangan begitu. Ibu hanya ingin menanyakan kabar mu." Suaranya lemah gemulai dengan antusiasme tinggi.
"Oh, aku baik-baik saja. Tidak ada yang lain? Aku tutup panggilannya."
"Ahhhh...!!! Tunggu, tunggu, sebentar." Seru Ibu sebelum Kataia yang ada di seberang sana menurunkan ponsel dari telinganya.
Pinggul ibu bergoyang-goyang malu, senyum senangnya mengembang dengan nafas yang memburu karena kegembiraan. Ibu bergumam dan berdehem dengan nada merayu.
"Jadi begini—
"Berapa?" Tukas Kataia cepat mendapati keinginan ibu yang sesungguhnya.
"Hanya 2 juta saja. Bisa, kan?"
Ibu cengar-cengir senang di seberang telpon, disusul oleh Emi yang tiba-tiba duduk disebelahnya meninggalkan ramen untuk menguping. Dalam beberapa detik sebuah notifikasi masuk ke dalam ponsel yang ada di telinga ibu, betapa senangnya ibu karena sudah tau apa yang berbunyi itu.
"Sudah." Ucap Kataia seadanya.
"Aaaaaaa! Terima kasih, cinta ibu. Kalau kamu sempat nanti malam datang ke rumah untuk makan malam."
Jeritan kegembiraan ibu menggema ditelpon, membuat Emi juga sontak terlonjak gembira duduk nya. Namun saat hendak mematikan panggilan, untuk yang kesekian kalinya Kataia di hentikan oleh seorang pria paruh baya yang tiba-tiba merampas ponsel dari ibu.
"Kataia, bagaimana dengan, ayah?"
Suara berat itu membuat Kataia terdiam, menunggu nya untuk berbicara kembali mengucapkan maksud. Ibu dan Emi susah payah mengisyaratkan sesuatu seperti kartu di balik panggilan antara Kataia dan ayah, mereka sangat antusias setiap kali Kataia menerima panggilan telpon mereka. Walaupun sebenarnya panggilan itu hanya akan ada jika ada kepentingan yang berhubungan dengan uang.
"Apa.. Apa kamu punya kamu punya black card lagi?" Tanya Ayah malu-malu, suaranya lemah lembut sambil merespon isyarat dari ibu dan Emi dengan alis yang naik-turun.
"Ada, tapi kemana yang waktu itu? Yang sebelumnya itu isinya 15 juta. Uangnya kemana?"
"Yah.. Itu tidak cukup."
Sebenarnya Kataia tidak sebodoh itu untuk memberikan uang dan hartanya secara cuma-cuma pada mereka, tapi ada sesuatu perjanjian yang menjadi alasan hal itu harus terjadi. Namun untuk kali ini Kataia merasa ini sudah keterlaluan untuk disepelekan. Kataia menghela nafas kasar, menyandarkan punggungnya pada tepi meja kerja dengan semua beban tubuhnya.
"15 juta Yen masih belum cukup? Baiklah, aku sudah mengirimkan 5 juta lagi dengan ibu." Kata Kataia semakin datar di setiap tambahan kata.
"Apaan 5 juta itu? Mana cukup. Lagi pula 1 black card lagi juga tidak akan membuat kamu bangkrut! Pelit sekali!" Protes ayah dengan nada yang sedikit tinggi.
"Kalau dana nya masih kurang buat ayah berjudi, jual saja ginjal ayah. Lagi pula kehilangan 1 ginjal tidak akan membuat ayah langsung mati, kan?"
"Pokoknya ayah mau kamu mengirimkan black card, minimal 20 juta!" Rahang ayah mengeras, geram dengan bantahan Kataia.
Ayah sangat marah, kesal. Suaranya dari seberang ponsel terkesan memaksa dengan peringatan, namun tidak mempan pada Kataia yang sudah kebal. Sambil berdecak kesal ayah menghempaskan punggungnya pada sofa di samping ibu saat Kataia tanpa balasan memutuskan panggilannya. Frustasi ayah menggeram nyaring sambil menggosok gusar kepalanya.
Masih tersulut emosi Kataia meletakkan ponselnya, sedikit melempar ke atas meja. Dia duduk di kursi kerjanya, di depan Hikazu yang kebingungan dengan situasi mood Kataia yang sulit ditebak. Wanita itu terlihat kesal, dan marah dengan aura dinginnya, merogoh laci yang di buka dengan kasar hingga isinya terguncang.
"Anu.. Maaf aku mendengarkan sedikit perbincangan kalian tadi."
"Tidak usah dipikirkan." Balas Kataia acuh tak acuh dengan nada yang sangat datar.
Hikazu masih duduk tenang di depan Kataia, mengingat bahwa di tempat itu, di ruangan kerja yang besar itu bukanlah kekuasaannya. Yang biasanya Hikazu suka menggangu Kataia sampai merengek di kantor—sekarang menjadi ciut, bukan takut.
"Kamu marah, Kataia? Apa kamu kesal karena aku keluar tanpa sepengetahuan mu? Atau karena aku kurang ajar masuk ke taman tadi? Atau.. Kamu khawatir padaku?"
Hikazu nampak berhati-hati berucap mengingat Kataia yang sekarang sepertinya sangat sensitif, tubuhnya sedikit condong curi-curi pandang ke manik coklat Kataia yang sedikit merah gelap. Aura yang seakan tidak akan segan melemparkan pisau hingga menembus tenggorokannya, Hikazu bahkan sampai tertegun walaupun hanya sebentar melamun.
Masih belum menjawab, jari-jari dalam sarung tangan Kataia meraba tepi tumpukan kertas di laci. Dia mengambil selembar sebelum memandang lurus Hikazu yang langsung ciut seperti anak kucing yang ketakutan karena tertangkap basah curi-curi pandang.
"Semua yang kamu katakan, kecuali yang terakhir." Jawab Kataia setelah sekian waktu mendiamkan pertanyaan Hikazu.
Dengan tatapan yang masih lekat dan datar Kataia mengambil pulpen di atas meja dan meneken stempel tinta pada kertas yang baru saja dia keluarkan. Suasananya menjadi canggung sesaat.
"Benarkah? Kalau begitu, maaf. Tapi apa kamu benar-benar tidak mengkhawatirkan ku sama sekali? Padahal aku sudah menyelamatkan nyawa mu, lhoo." Hikazu sedikit berdecak sebal mendengar bahwa pengorbanannya tidak hargai.
"Tidak."
"Wahh... Tidak, tidak bisa. Setidaknya kamu khawatir aku akan mati waktu di tembak waktu itu, kan? Kan? kan?" Matanya berbinar berharap.
"Tidak, tidak, tidak. Untuk apa? Memangnya apa gunanya untuk ku?"
Dia menatap tidak percaya Kataia yang tanpa dosa berekspresi datar lurus di depannya. Hampir tidak ada kata yang bisa Hikazu lontarkan, dia hanya bisa meringis sakit hati atas perjuangan nya waktu itu yang sekarang tidak dianggap sama sekali oleh Kataia.
Saat Hikazu masih meringis kecewa pintu besar ruangan itu terbuka, Zean dengan sopan mendekat ke tepi meja Kataia dan memberikan selembar kertas di atas meja. Masih dengan tatapan lekatnya Kataia menandatangani kertas yang letakkan di atas meja itu tanpa menoleh.
"Kejam sekali.. Aku kira kamu akan khawatir setengah mati pada pahlawan mu ini. Ya, setidaknya kamu panik." Masih belum menyerah dia menggali kebohongan Kataia sedalam mungkin pada matanya. Hikazu mencondongkan sedikit badannya kembali.
"Seperti 'Hikazu jangan mati dulu, aku belum mengucapkan Terima kasih'." Harap Hikazu sambil menirukan sebisa mungkin suara wanita.
"Tidak." Kata 'tidak' untuk yang kesekian kali dari Kataia. Badannya mundur menghindari Hikazu yang terlalu dekat.
Zean yang mengetahui tentang penyangkalan Kataia terkikik di samping meja. Apa yang Hikazu tirukan hampir sama dengan reaksi Kataia saat dirinya hampir mati. Tapi dengan cepat tatapan tajam dari mata Kataia membungkam tawanya yang hampir jelas terdengar, membuat Hikazu menjadi satu-satunya orang yang kebingungan di situ sambil mengalihkan pandangannya sebentar pada Zean.
"Gengsi nona tinggi sekali. Ayolah nona, mengaku saja supaya tuan Hikazu diam. Lagi pula itu memang benar." Zean membatin dengan tawa yang sekarang tertahan di kedua sudut bibir nya yang terangkat.
Kataia memutar malas bola matanya saat masih bertemu dengan Zean, sebelum pada akhirnya kembali pada Hikazu yang mengerjapkan matanya bingung untuk beberapa kali.
"Kasino Vilang akan mengadakan lelang minggu depan. Aku dengar Deeper Stuck perlu undangan VVIP untuk masuk dan menjalankan misi di sana. Jadi, ini sebagai permintaan maaf ku atas kejadian tadi."
Ekspresi lembut menguasai wajah Kataia sesaat ketika dirinya memberikan Hikazu sebuah amplop hitam dengan secarik kertas undangan didalam sana.Tangan ramping dilapisi sarung tangan hitam terulur menjepit amplop itu diantara jari jempol dan telunjuknya. Senyum nya terlihat samar dengan penyesalan.
"Kalian memang tidak ada bedanya, yah?" Hikazu perlahan tersenyum getir, hanya menatap amplop itu tanpa mengambilnya dari tangan Kataia. "Apa semua orang di rumah ini memang memberikan sebuah barang sebagai segalanya?"
Menyadari perkataan Hikazu membuat Kataia tertegun sekaligus tiba-tiba merasa tidak enak. Tangannya perlahan turun dan kembali dengan ragu, sekarang tidak tau apa yang harus diperbuat setelah suasana menjadi semakin canggung. Kepala Kataia tertunduk, maniknya perlahan melembut mengarah ke tepi meja. Sekali lagi rasa penyesalan bertambah di wajahnya.
Hening kembali suasana karena kecanggungan ini. Sambil menghela nafas kasar Hikazu memejamkan matanya sebentar sebelum menatap lembut kembali Kataia seperti sebelumnya.
"Yah, berhubung aku benar-benar butuh undangannya, jadi aku terima saja. Terima kasih, Kataia." Hikazu tersenyum lebar memecah suasana canggung diantara mereka, tangannya terulur mengambil amplop hitam sebelumnya dari tangan Kataia yang sudah lemas karena ragu. "Tapi kamu masih berhutang nyawa padaku."
Kataia mengangkat cepat kepalanya terbelalak tidak terima, dia menganga sambil menunjuk wajah Hikazu dengan telunjuknya seperti biasanya tanpa hormat.
"Heh! Tidak bisa begitu! Tidak adil! Aku sudah memberikan undangannya sebagai balasan, permintaan maaf dan tanda terima kasih ku. Kamu curang!" Suara protes Kataia naik satu oktaf meneriaki Hikazu sambil beranjak dari duduknya.
Namun bukannya marah diperlakukan seperti itu, Hikazu malah tertawa dengan respon Kataia. Jadi satu-satunya orang yang gugup di situ adalah Zean yang memperhatikan mereka dari sudut ruangan, hanya berjaga-jaga jika nantinya Kataia berbuat ulah pertengkaran. Ternyata wanita yang ada didepannya ini tidak bisa lama-lama bersikap dingin, pastinya sikap bobroknya lah yang lebih mendominasi, sikap dingin itu hanyalah gimik semata.
"Tidak, tidak bisa." Protes Kataia masih tidak terima sambil menggelengkan kuat kepala ya.
"Tapi berkat aku, kita bertiga selamat. Aku, kamu dan Zean selamat. Benarkan?"
Kataia terdiam dengan lirikan sinis yang lekat ke Hikazu, dia berpikir sejenak dalam hati. Ternyata apa yang Hikazu katakan itu ada benarnya juga. Akhirnya Kataia sedikit luluh dan duduk kembali di kursi dengan tenang walaupun lirikannya masih bengis karena tidak terima.
"Sebenarnya walaupun waktu itu tidak ditolong juga aku tidak akan mati. Tapi ya.. Karena Hikazu kami berhasil lolos. Baiklah, mau bagaimana lagi? Anggap saja kamu berhutang budi untuk hidup dia dan Zean, Kataia." Kataia membatin meyakinkannya dirinya sendiri.
"Terserah. Jadi kapan aku balas budinya? Kalau bisa segera, aku ini orang sibuk jadi tidak ada waktu untuk mengurusi hal yang semacam itu. Oh iya, jangan ribet juga." Balas Kataia cepat ketus membuang mukanya.
Tapi Hikazu hanya tersenyum tipis membalas Kataia, membuat wanita itu kebingungan dengan keheningan tiba-tiba dari Hikazu yang cerewet itu. Perlahan Kataia menggeser pandangannya kembali pada Hikazu, menatap pria tampan itu dengan kebingungan.
"Jadi balas budi ini diartikan sebagai tiket permintaan? Kalau begitu.. Aku akan mengambilnya kapan-kapan."
"Kapan?" Suara Kataia sedikit menuntut.
"Kapan-kapan."
"Tck, kalau kamu mati duluan, berarti tiket permintaannya hangus."
"Cih, umur ku masih panjang. Malaikat maut tidak berselera mencabut nyawa ku yang masih belum bahagia ini. Jadi tidak ada alasan untuk mu." Hikazu berdecak sebal.
Kecanggungan diantara mereka hancur, keduanya merasa santai dengan candaan yang menggoda satu sama lain seperti biasa. Candaan yang random dan membuat emosi satu sama lain, berujung pada pertengkaran kecil layaknya kucing dan anjing yang tidak bisa akur namun dipikir-pikir lagi kadang menyenangkan.
"Oh iya, bisa lupakan tentang semua yang terjadi beberapa hari ini? Dari kejadian penembakan itu, sampai hari ini. Lupakan semuanya." Pinta Kataia acuh tak acuh dengan pandangan yang di buang, wajah nya sedikit memerah malu-malu meminta itu pada Hikazu.
"Oke, lupakan tentang beberapa hari lalu. Dengan senang hati."
Sambil mendengus pelan, kedua bibir Hikazu terangkat, bukan tersenyum lebar ataupun tersenyum tipis, itu adalah senyum jahil. Dia menyanggah dagu nya dengan kedua tangan di atas meja, menatap lekat Kataia di depannya itu tanpa berkedip. Baru kali ini Kataia berucap dengan sopan dan lembut walaupun masih dengan sikap kurang ajarnya.
Heran dengan tatapan Hikazu, Kataia menjadi curiga, tubuhnya kembali condong ke belakang menghindari Hikazu yang terlalu dekat dengan pandangannya.
"Kenapa? Jangan liat-liat aku seperti itu, muka mu vibes nya kayak om-om mesum."
"Tampan begini disamakan dengan om-om mesum." Decak Hikazu sebal sambil membuang muka dengan bibir manyun yang cemberut.
"Sekarang malah kaya monyet." Tutur Kataia terus terang ketika melihat wajah bagian samping Hikazu saat dia membuang muka. Kataia terkekeh pelan ala anggunly sambil menutup mulutnya.
"Kurang ajar."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments