"Kataia, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" Halbert nampak sangat terkejut ketika Kataia tiba-tiba saja duduk di depannya yang sedang bersama dengan seorang wanita di samping.
"Haa? Seharusnya aku yang tanya begitu. Kenapa kamu di sini, Halbert? Bukannya kamu bilang, kamu sakit dan di rujuk ke rumah sakit di luar negeri?" Kataia menyeringai sinis dengan kepuasan di wajahnya.
Halbert nampak bungkam tanpa suara, dia menundukkan kepalanya menatap lantai di bawah, tidak bisa berkata-kata. Wanita blasteran di sampingnya pun ikut kebingungan dengan situasi tidak diantara mereka bertiga. Pandangannya mengarah pada Halbert di samping, lalu pada Kataia dengan tatapan sinis nya.
"Halbert, siapa dia sayang?" Rautnya nampak bingung sekaligus sinis pada Kataia.
Tanpa banyak basa-basi, Kataia berinisiatif mengulurkan tangannya lebih dulu sambil tersenyum lebar. Senyumnya begitu tinggi, terlihat ramah namun diam-diam mengerikan. Seakan terhipnotis oleh senyum Kataia, wanita itu menyambut uluran tangannya.
"Yari."
"Aku Kataia, selingkuhannya Halbert. Kamu pacar barunya, ya?" Nadanya terdengar mantap dengan percaya diri. Senyum Kataia pun kembali puas melihat Halbert yang langsung terpekik kaget sambil menatapnya.
"Kataia! Jaga ucapan mu, apa maksudmu bilang begitu?"
"Ada yang salah?"
Nampak frustasi sekali Yari yang berada di tengah-tengah perdebatan mereka. Dia menatap Halbert lekat, menuntut penjelasan dengan apa yang barusan Kataia katakan. Yeri merasa sangat bingung, kaget dan marah pada saat itu, bahkan mulutnya sampai bingung hendak mengatakan dari mana lebih dulu yang harus di ucapkan.
"Ini.. Ini maksudnya apa Halbert? Apa yang dia maksud?" Amarah mulai menguasai Yari, terdengar jelas dari nadanya yang sedikit meninggi.
"Tidak usah dipikirkan lagi, Yari. Mari kita berteman saja sebagai sesama selingkuhannya Halbert. Bagaimana?"
Siapa yang tidak akan bingung dengan sikap makhluk yang satu ini. Bukannya sedih ataupun marah melabrak pacarnya selingkuh, Kataia malah dengan santainya mengajak selingkuhan pacarnya itu untuk berteman. Entah karena Kataia sudah terbiasa diselingkuhi oleh Halbert atau mungkin dia sendiri yang sudah gila, tidak ada yang tau, memang sulit ditebak senyum ramahnya itu.
"Kataia!"
Tingkah Kataia yang kurang ajar dan aneh itu membuat Halbert naik pitam, nada nya meninggi dengan tangan yang langsung menggebrak kuat meja makan mereka, membuat orang-orang yang di sana pun menoleh dengan tatapan sinis. Semua mata tertuju pada keributan yang mereka buat, Halbert pun merasa sedikit malu dan menurunkan alisnya yang sebelumnya teredam dalam amarah.
"Jangan munafik, jalang! Kamu kemari tidak mungkin hanya sendiri karena ini pesta yang diwajibkan membawa pasangan. Pasti ada pria lain bersama mu, benarkan?"
"Benar sekali, sayang. Kamu sangat pintar."
Nada Halbert berat seperti ditekankan, terdengar hampir berbisik dengan gigi terkatup geram menggertakkan giginya. Setelah mata-mata tadi memperhatikan mereka, sangat keras Halbert menahan amarahnya di tengah-tengah publik saat ini. Namun sikap sok angkuh Kataia masih dengan santainya menghadapi Halbert, terlihat polos tanpa dosa. Itulah yang membuat Halbert tidak bisa menahan rasa geramnya.
Walaupun Halbert berperan sebagai penjilat harta kekayaan Kataia, kesabarannya juga tetap ada batasnya. Sikap Kataia inilah yang menjadi masalah, sangat menguji kesabaran mental dan batin, hampir tidak ada yang kuat dengan sikapnya. Bahkan Zean sekalipun frustasi dengan Kataia. Selain moodnya yang bisa berubah dengan tiba-tiba, kelakuan Kataia juga sangat menguji kesabaran siapapun.
Yari yang kebingungan terdiam sesaat ditengah perdebatan mereka. Dia mencoba sebisa mungkin menemukan dan mencerna maksud yang ada di tengah-tengah kedua orang itu. Akhirnya Yari paham, amarahnya berubah menjadi kebencian yang tidak terbendung lagi. Dengan cepat Yari beranjak dari duduknya, mengambil tas mahal yang langsung dikaitkan pada salah satu bahu.
"Sudah cukup, Halbert. Aku sudah mengerti, kita sudahi saja sampai sini."
"Apa maksudmu, Yari? Yang benar saja. Kamu percaya dengan ucapan wanita jalang ini?! Tunggu dulu, aku bisa jelaskan. Dia ini wanita gila yang terobsesi dengan ku. Percayalah sayang!"
Sangat terkejut Halbert ketika kekasih seksinya itu beranjak dari duduk dan langsung berkata seperti itu. Dia meraih tangan Yari yang hendak berjalan pergi menjauhi meja dengan suara memelas yang lembut. Nada nya memang terdengar melembut, namun semakin mengandung sampah yang tidak berguna.
"Cuih!" Kataia meludah kosong ke lantai, masih dengan senyuman sinis yang mengejek melihat betapa menjijikkan nya Halbert.
Namun usaha Halbert itu sia-sia, kali ini Kataia menang lagi mendominasi persaingan. Tujuan utama Kataia yang hendak mengusir wanita itu akhirnya tercapai, tapi itu adalah keinginan Yari sendiri. Bisa di bilang hasilnya tidak sepenuhnya murni kehendak Yari, tentunya dibantu oleh keahlian Kataia yang mampu memprovokasi seseorang.
"Tidak, tidak. Sudah aku bilang kita sudahi saja." Kekeh dengan keputusan yang sudah bulat, Yari menepis kuat genggaman Halbert yang menahannya.
Akhirnya Yari pergi meninggalkan Kataia dan Halbert berduaan. Tentunya makhluk hawa itu memancing amarah Halbert kembali, entah kenapa rasanya seru saja menganggu kesenangannya. Kataia menyeringai mengejek, dengan salah satu alis yang dinaikkan.
"Seru mainnya?"
"Jangan main-main, Kataia. Kesabaran ku ada batasnya." Diam-diam Halbert mengepal kuat-kuat tinjunya di bawah meja menahan amarah yang membara.
"Siapa bilang aku main-main? Aku tidak main-main, aku serius lho sayang.."
"Kataia!"
"Nah, karena kamu selingkuh, aku juga selingkuh... Sepertinya tidak ada gunanya marah-marah, kan? Sayang nanti perawatan mahal ku sia-sia kalau kulit wajah mengkerut."
Masih sikap main-main Kataia mengambil gelas wine milik Halbert di seberang meja. Senyum nya sangat lembut saat menyesap habis langsung wine pada gelas Halbert yang hanya tersisa sedikit itu. Dengan sedikit tekanan, Kataia meletakkan kasar gelas wine kembali ke atas meja. Seringainya terlihat semakin jahat.
"Hmm... Enak sekali rasa mulut bajingan ku ini. Haruskah aku mengatakannya keras-keras supaya orang-orang disini mendengar nya? Siapa tau ada yang tertarik juga mencicipi virus HIV dari mu."
Kharisma elegant Kataia tiba-tiba saja menjadi lebih besar ketika seringai jahatnya semakin lebar. Tangannya menyanggah dagu di atas meja, mencondongkan kecantikan wajahnya sangat dekat dengan Halbert. Namun bukannya terpesona, Halbert yang sedari tadi menahan amarah menjadi naik pitam lagi.
Halbert berdiri dari tempatnya, hendak melayangkan tangan tinggi-tinggi pada Kataia yang langsung memejamkan mata. Namun seharusnya rasa sakit dari tamparan itu akan datang dalam beberapa detik, tapi tidak sedikit ada rasa sakit yang Kataia rasakan saat matanya masih terpejam memasrahkan rasa sakitnya. Kataia pun bingung dan mengerutkan keningnya.
"Eh? Tidak jadi ya?"
Karena tidak kunjung merasakan rasa sakit dari pukulan Halbert, Kataia menjadi penasaran. Matanya terbuka perlahan, melihat satu lagi tangan seseorang yang menahan pukulan tangan Halbert ke pipinya. Kataia menyusuri tangan itu dan melihat sosok Hikazu yang nampak marah dengan kening yang mengerut di belakang.
"Singkirkan tangan mu sebelum aku patahkan."
Untuk yang pertama kalinya Kataia mendengar seberapa dingin suara Hikazu yang selalu lembut dan jahil itu. Ada sedikit rasa kagum dan bangga pada hati Kataia ketika tau kalau Hikazu membelanya, alih-alih menindasnya seperti biasa. Hikazu terlihat sangat marah, genggaman tangannya sangat erat memegang Halbert yang nampak sedikit meringis kesakitan.
"Ck."
Halbert pun menepis tangannya dari Hikazu, kembali duduk sambil berdecak kesal. Matanya tajam menatap Kataia yang masih santai dengan tangan menyanggah dagu di atas meja. Halbert terlihat sangat marah, namun kembali dia redam ketika tatapan Hikazu lebih tajam darinya ketika duduk di kursi samping Kataia.
"Jadi ini selingkuhan yang kamu maksud itu?" Halbert tersenyum getir dengan merendahkan.
"Tentu saja, kenapa?"
Tidak mau kalah sinis dari Halbert, Kataia membalasnya dengan bangga. Bagaikan bos yang berkuasa, Kataia menyandarkan punggungnya sambil menyilangkan tangan di depan dada, lalu menyilangkan kaki jenjang nya juga di kaki yang lain. Mendengar pembahasan tentang perselingkuhan diantara mereka membuat Hikazu sedikit bingung karena tatapan Halbert mengarah padanya.
"Jadi... Kita impas, kan? Aku dan kamu berselingkuh. Jadi tidak ada alasan untuk kita menyalahkan satu sama lain lagi."
"Ehmmm... Benar juga. Kita impas ya, sayang!" Kataia tersenyum lebar.
Halbert menjadi bungkam dengan kepala yang tertunduk. Dia tidak berani membandingkan Hikazu dengannya, karena bisa di bilang fisik Hikazu memang adalah spek pangeran yang diidamkan semua wanita. Dari bentuk tubuhnya, wajahnya, ototnya, semuanya sempurna. Jadi setelah Halbert pikir-pikir, tidak heran jika Kataia terpesona dengan Hikazu.
"Dia akan menjadi ayah yang baik untuk bayi di rahim ku ini nanti. Aku tidak sabar menanti bibit rupawan bayi ku lahir dari ayahnya." Gumam Kataia memandang dan mengelus lembut perut ratanya.
Sangat terkejut Halbert itu ketika mendengar itu dari Kataia, dia sedikit terlonjak, tertegun dengan wajah yang terheran-heran. Begitupun Hikazu, dia sangat tertegun sampai-sampai menghancurkan imej yang sebelumnya dingin, menatap Kataia dengan matanya yang terbelalak lebar.
"Aku?!" Seru Hikazu kaget menunjuk pada dirinya sendiri, dibalas oleh anggukan Kataia yang tersenyum lembut dan menginjak cepat kaki Hikazu di bawah meja.
Untungnya Hikazu cepat tanggap, wajahnya kembali datar ketika menerima isyarat rasa sakit yang Kataia berikan pada kakinya di bawah. Bagaikan kucing yang teraniaya, Hikazu pun diam, duduk dengan tenang menahan ngilu di kaki.
"Kamu bohong, kan Kataia? Tidak mungkin kalian berkencan! Apalagi sampai melakukan 'itu' dan membuat mu hamil! Kamu pasti bohong, ini pasti rencana licik mu, kan?!" Halbert terlihat masih kaget dan tidak terima dengan kenyataan yang dia dengar. Tangannya mengepal, nada juga terdengar seperti ditekankan.
"Yasudah kalau tidak percaya."
Saat Kataia hendak beranjak, Halbert menahan tangannya dengan kuat dan kasar. Matanya berapi-api oleh amarah yang membara. Sebelum Hikazu yang ada disebelah Kataia menghentikan kekasaran Halbert, Kataia sudah lebih dulu menjaga dirinya sendiri, menepis kuat tangan Halbert hingga sedikit terbentur ke tepi meja.
"Kamu bohong, Kataia. Kamu bohong, kan?" Kening Halbert mengkerut, terlihat serius dan tidak lagi menyimpan sifatnya yang sebenarnya arogan.
"Mau bukti?" Sudut bibir Kataia naik, melirik Hikazu yang masih terduduk di kursi sebelah.
Dalam sekejap mata Kataia mencondongkan tubuhnya ke arah Hikazu, menggapai lembut bibir Hikazu dengan tangan satu menutupi salah satu sudut pandang orang-orang dari hal sedang dia lakukan. Hikazu dan Halbert pun terkejut bukan main dengan apa yang tiba-tiba Kataia lakukan itu, mata keduanya terbelalak tidak percaya. Walaupun begitu Hikazu tetap diam tanpa memberontak, karena sebelum ciuman tiba-tiba itu terjadi Hikazu melihat gerak bibir Kataia mengatakan 'Maaf' yang tulus.
"Nah, sudah percaya belum?" Kataia tersenyum senang penuh kemenangan.
Bibir Halbert seketika menjadi kelu tidak dapat mengucapkan satu katapun. Tindakan Kataia tadi telah menjadi buktinya, tidak ada yang bisa Halbert lakukan lagi untuk menyangkal kenyataan yang Kataia katakan bahwa dia sedang mengandung. Kepala Halbert tertunduk, otot-ototnya terasa lemas tanpa jiwa.
"Ayo, sayang. Kita pergi."
Tangan dengan sarung tangan kulit itu meraih lembut tangan Hikazu, menggandeng mesra pria yang kebingungan dengan peran nya disitu. Benar-benar tidak dipahami oleh Hikazu tentang apa yang barusan terjadi. Apalagi otaknya mendadak menjadi tersendat ketika mendapat ciuman tiba-tiba dari seorang Kataia. Hikazu pun pasrah di bawa oleh Kataia.
"Kita impas, Kataia. Jadi mari bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan kembali seperti biasanya." Lirih Halbert dengan suara yang satu ketika Kataia dan Hikazu belum terlalu jauh meninggalkan meja.
Langkah Kataia terhenti dengan tangan yang masih menggandeng Hikazu, sedikit melirik sinis pada Halbert yang berada di belakang punggungnya. Namun ketika Kataia berusaha untuk menegakkan kakinya, Kataia terlihat sedikit sempoyongan dan segera meremas lengan Hikazu yang dia gandeng.
"Tentu saja aku setuju usulan mu yang pertama, kita impas dan akan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi ini sudah yang terakhir kalinya aku memberikan mu toleransi. Kita harus sudahi ini sekarang, Halbert."
Hawa di sekitar mereka menjadi tiba-tiba dingin dan suram ketika ucapan itu keluar dari mulut Kataia yang tersenyum lebar. Memang benar Kataia selalu bersabar dan tersenyum lembut pada Halbert, tapi sepertinya ini akan menjadi kali terakhir Kataia melakukannya. Bahkan orang yang Halbert anggap bodoh seperti Kataia sekalipun punya batas kesabaran.
"Kataia, jangan begitu. Kamu meninggalkan aku demi dia, kan?" Panggil Halbert dengan nadanya yang kembali melembut.
"Apa maksudmu? Aku mengakhiri hubungan kita itu karena anak ini kan nanti akan lahir.. Jadi tanggungan ku akan bertambah lagi dong? Aku mana sanggup menanggung biaya semuanya sendirian, apalagi kamu hanya bisa jadi beban. Tentu saja aku jadi cepat bosan dengan mu, tidak seru!" Kataia tersenyum lebar sambil berbalik sesaat melambaikan tangannya. "Dadah Halbert, aku sudah dapat yang baru." Seru Kataia dengan nada main-main yang ceria.
Tidak ada yang bisa Halbert lakukan lagi sekarang, bahkan jika itu dengan kekerasan sekalipun. Jika dia melakukan kekerasan di kapal, bisa saja dirinya akan diusir dan di buang ke laut oleh staf Vilang karena membuat rusuh pada acara ekslusif mereka. Mau tau mau Halbert pun harus merelakan Kataia pergi bersama Hikazu ke meja lain yang tidak jauh dari tempatnya, duduk bersama Azari yang sedari tadi makan sambil menonton pertunjukan dari kejauhan.
"Kenapa bergandengan begitu?" Tatap Azari menyelidik dengan mata yang melirik sinis pada Kataia yang menggandeng erat lengan Hikazu.
"Anu.. Itu, tadi.. Apa, ya? Kataia.. itu.."
Sesaat Hikazu bingung dan kelabakan harus menjawab apa, akhirnya dia pun memasrahkan semuanya pada Kataia untuk bicara. Tangan Kataia langsung melepas gandengannya pada tangan Hikazu dan duduk dengan tenang di depan Azari disusul oleh Hikazu, terlihat angkuh dan dingin, berbeda dari dirinya yang sebelumnya.
"Bukan urusan mu, kita bukan satu tim."
"Walaupun kita bukan tim misi, tapi tetap saja aku harus tau, karena aku dan kalian bagian dari deeper stuck! Kita semua disini sebagai satu tim, ingat itu Kataia."
Namun alih-alih menggubris perkataan Ayaka yang serius, Kataia lebih memilih mengurusi urusannya sendiri. Gelas kosong di atas meja Kataia isi dengan wine baru dari sebuah botol, menyesap santai setiap tetes air wine yang masuk ke dalam tenggorokannya dengan ekspresi yang sangat menikmati.
Tentunya Ayaka menjadi geram dengan Kataia, memang kenyataannya tidak ada seorangpun yang tidak akan merasa geram ketika bertemu Kataia. Sifatnya yang tidak peduli, angkuh dan seenaknya itulah yang membuat Kataia kebanyakan di benci daripada disukai oleh orang-orang. Lagi dan lagi Kataia tetap acuh dengan opini orang lain tentangnya, dia tetap diam, namun ada kalanya dinding kesabaran dan acuhnya itu runtuh.
"Sudah, Azari. Jangan buat keributan lagi. Nikmati saja makanannya dulu." Tegur Hikazu lembut.
Akhirnya Ayaka pun terdiam ketika ditegur Hikazu, namun dalam hati kesalnya bukan main ketika setiap makanan masuk ke dalam perutnya sekalipun. Setelah beberapa waktu terhanyut dalam keheningan di meja makan mereka, Kataia bangkit dari kursinya setelah meminum beberapa gelas wine.
"Ayo, Hikazu. Kamu mau 'kesana' tadi, kan?" Kataia menatap lekat Hikazu yang masih lahap menikmati berbagai makanan dalam mulutnya yang telah mengembangkan karena penuh.
"Kamu tidak makan?" Tanya Hikazu bingung, suaranya masih agak tidak jelas karena makanan yang menyumpal mulutnya.
"Kalau kamu masih makan, makan saja dulu. Susul aku nanti."
Bagaimana bisa Hikazu tidak bingung, Kataia sedari pagi keberangkatan mereka tidak menyentuh sedikitpun makanan. Hanya beberapa gelas wine yang terlihat di konsumsi Kataia pada hari itu. Tentu saja Hikazu khawatir, tapi mengingat sifat Kataia yang acuh, pasti tidak akan dipedulikan.
"Kataia, tunggu! Aku ikut! Ayaka, kami pergi dulu." Seru Hikazu bergegas menelan semua makanan yang di mulut sambil menoleh cepat pada Ayaka.
"Hm." Gumam Ayaka menyahut dengan acuh.
Ketika langkah Kataia mulai berjalan menjauhi meja, Hikazu menggapai cepat serbet di atas meja mengelap mulutnya, berlari kecil menyusul langkah kaki pendek Kataia yang masih belum terlalu jauh. Hikazu menyamai langkah kaki Kataia keluar dari restoran, meninggalkan Ayaka sendirian di meja makan.
"Kamu tidak apa-apa, Kataia? Mau menangis dulu, boleh, kemari." Hikazu tersenyum lebar membuka lengannya saat mereka berjalan di dek.
Dengusan sinis itu berhasil menahan tawa Kataia yang terheran-terheran ketika dia menoleh sebentar ke Hikazu di belakang. Setelahnya Kataia kembali fokus ke depan dengan seringai main-main.
"Untuk apa?"
"Siapa tau saja kamu patah hati setelah putus dengan kekasih mu. Jadi aku menghiburmu, salah ya?"
"Bajingan itu cuma mainan ku. Tidak ada kata serius salam hubungan kami." Suara Kataia tenang tetap melanjutkan langkahnya.
Terik matahari ditengah laut saat itu terasa lumayan panas membakar kulit di dek karena musim telah mendekati musim semi. Tentunya itu berhasil membuat orang-orang merasa kepanasan dan kegerahan. Apalagi bagi Hikazu yang setiap saat mengenakan coat hitam kemana-mana, dia sampai melepaskan coatnya dan meletakkannya di lengan karena kepanasan. Namun satu-satunya yang aneh adalah Kataia, dia bahkan sanggup mengenakan dress mini hitam dan sarung tangan kulit itu setiap saat, entah itu dingin ataupun panas.
"Memangnya kamu tidak kepanasan?" Tanya Hikazu mencondongkan sedikit tubuhnya kesamping menyamakan posisinya tepat di samping Kataia.
"Kenapa tanya begitu?"
"Aneh saja melihat mu begitu. Memangnya kamu tidak kepanasan apa tangan mu pakai sarung tangan kulit begitu setiap saat?"
"Tidak." Jawab Kataia singkat, tersenyum tipis seperti biasanya.
"Bagaimana kalau saat musim dingin? Semua AC dan kipas kamu nyalakan semua di kantor, tidak kedinginan apa hanya pakai dress mini begitu?" Hikazu masih penasaran.
"Tidak, Hikazu."
"Owhh... Tebal juga kulit mu. Bagi dikit untuk ku bisa tidak?" Kekeh Hikazu tertawa jahil mencairkan suasana.
"Kulit ku pakai sisik buaya, jadi tahan banting plus tahan musim. Pergi saja sana cari di hutan, banyak kok. Bilang saja ingin tukar rambut dengan sisik." Balas Kataia balik, tertawa lepas sambil memukul gemas lengan Hikazu.
"Tidak jadi kalau begitu. Kasihan nanti kancil tidak bisa melompat di atas buaya. Yang ada kakinya terlilit."
Memang candaan yang aneh, tapi kalau di bayangkan lucu juga. Dimana kulit keras buaya yang sebelumnya menjadi tanjakan kancil untuk menyebrang sungai berubah menjadi berambut, melilit kaki kancil ketika melompat ke danau hingga terjatuh ke dalam sungai yang tidak seharusnya dia tercebur.
Tawa lepas terus mengikuti di setiap langkah mereka menyusuri dek. Tak terasa tujuan mereka telah sampai, sebuah lorong bagian ujung kapal sekarang berada didepan mata, mereka masuk dalam keheningan. Hikazu memimpin didepan hingga keduanya menemukan persimpangan dan berbelok.
Sudah ada pintu besi besar yang berat menunggu di depan mereka, pintu dengan sejumlah barang berharga yang mahal dan bernilai. Tentunya ketika melihat pintu itu kembali, Hikazu menjadi sedikit frustasi, merasa kalau usaha mereka, misi mereka akan lebih sulit lagi jika dia tidak bisa mengatasi yang satu ini.
"Terkunci, Kataia. Sebenarnya tidak ada gunanya kita kemari." Hikazu lekat menatap Kataia santai sambil menyandarkan tangan pada pintu besi yang dingin itu.
"Bukan masalah untuk ku."
Lagi dan lagi Hikazu dibuat terkesan oleh Kataia. Sebelah alis Hikazu naik karena penasaran ketika Kataia menunduk mengambil sesuatu dari dalam heels boots. Benda kecil pipih berwarna silver yang langsung Kataia selipkan pada celah kunci.
Memang tidak ada sesuatu yang terjadi ketika Kataia melakukan itu. Tapi setelah beberapa kali Kataia mengulangi menyusuri selipan pintu dengan benda kecil tadi, seringai tipis mengembang di wajahnya.
"Lihat?"
Dengan ekspresi angkuh Kataia mendorong pelan pintu besi besar yang ada di depan mereka dengan kaki. Yang kagetnya, pintu yang sebelumnya terkunci berdecit dan terbuka dengan begitu saja saat benda kecil Kataia itu bekerja. Hikazu terheran-heran lagi, dia meraih tangan Kataia dan menatap benda di tangannya itu dengan sangat dekat, sangat terheran-heran.
"Benda apa ini? Kamu penyihir atau apa, Kataia?"
"Bukan hal spesial, hanya bahan kimia sederhana." Kataia mengedipkan senang sebelah matanya sambil tersenyum bangga.
"Aku menyesal bolos pelajaran kimia dulu."
Selagi Hikazu mengagumi alat kecil nya, Kataia melepas tusuk silver yang mengekang cepolan setengah rambutnya, membuat rambut bergelombang Ash brown itu tergerai indah di belakang punggung. Dia juga melepas sepatunya, berdiri tanpa alas kaki pada lantai dingin dan menyibakkan semua bagian rambut panjangnya ke depan tanpa menyisakan sedikitpun celah di wajah.
"Ini tema nya apa? Cosplay setan?" Hikazu menatap apa yang Kataia lakukan dengan bingung.
"Iya, pakai coat mu, Hikazu. Lalu pakai sepatu ku itu di kepala mu."
"Begini?" Tanya Hikazu memasang cepat coat hitamnya kembali dan meletakkan kedua sepatu heels boot Kataia seperti sebuah tanduk di atas kepala.
"Sip! Sangat cocok untuk mu, hantu Shoehead! Nanti aku request kamu jadi bintang utama pesta Halloween Vilang lain kali." Ucap Kataia mengacungkan jempolnya ke Hikazu, memandang Hikazu dari celah rambutnya yang tergerai semua menutupi wajah.
Walaupun tertutup oleh rambut lebatnya, Hikazu sudah bisa membayangkan senyum lebar Kataia yang geli dan ceria dari balik sana saking seringnya dia melihat itu. Hikazu pun tersenyum lembut, membalas Kataia dengan tepukan lembut pada pucuk kepala nya.
"Baiklah, sekarang apa?"
"Aku mau menghancurkan kamera keamanannya dulu, jadi kamu mengikuti di belakang ku saja, ya? Setelah kamera keamanannya rusak kita juga hanya punya sekitar 10 menit sebelum security datang kemari, jadi kita pergunakan waktu itu sebaik mungkin untuk mencari chip nya."
"Oke, aku mengerti."
"Baik, aku mulai kalau begitu."
Langkah Kataia tidak berjalan seperti biasanya, dia berjalan dengan menggesek kakinya di lantai selayaknya hantu dengan rambut panjang yang masuk perlahan di ikuti Hikazu di belakang. Setelah memastikan sudah cukup masuk Kataia memandang kaku dan cepat ke arah kamera, menatap kamera pengintai yang sedang diawasi oleh petugas keamanan yang langsung terpekik ketakutan di belakang monitor.
"Woah!!! Setan!"
Petugas itu kagetnya bukan main, dia terkejut dan ketakutan setengah mati hingga terjatuh ke lantai. Apalagi hanya ada dia seorang yang berada di sana untuk mengawasi beberapa kamera pengintai. Sepertinya ini adalah hari kesialan bagi petugas itu karena harus menjaga kamera pengintai yang akan menjadi korban kejahilan Kataia. Namun karena itu masih menjadi tugas dan tanggung jawabnya, petugas tersebut memperhatikan kembali sosok wanita dengan rambut tergerai ke depan itu, masih menatap kamera dari balik rambutnya. Susah payah dia menahan takutnya yang sudah berkeringat dingin hingga ke ubun-ubun.
Tapi hal lain terjadi, setelah mata tajam di balik rambut itu menatap kamera pengintai selama beberapa saat, sebuah pisau kecil melesat cepat ke kamera. Terlihat nyata, lesatan pisau itu seakan menusuk langsung mata petugas. Dia terpekik, terlonjak dari tempatnya sambil berteriak histeris mencari tombol merah yang nyatanya ada di depan mata.
"TOLONG! SETAN! SETAN! ADA SETAN MALING!" Teriaknya histeris di tengah-tengah gemerlap lampu merah emergency dan sirine yang menggelegar di setiap ruangan kecil tempatnya.
Petugas itu nampak panik, histeris dan frustasi di dalam ruangan itu. Melihat betapa mengerikannya kamera pengintaian itu bahkan masih menyala dan merekam bagaimana pisau kecil itu tertancap di sana. Kamera nya perlahan rusak, berbunyi tak jelas memekik telinga dengan garis-garis yang perlahan muncul di layar monitor.
Sementara itu Kataia dan Hikazu bergegas berlari kesana kemari di gelapnya ruangan itu setelah memastikan semuanya aman. Hanya bermodalkan cahaya redup dari luar pintu mereka mencari cepat sesuatu yang menjadi alasan mereka melakukan ini semua.
"Hikazu! Lukisan wanita dengan anjing!" Seru Kataia tidak terlalu nyaring dengan kakinya yang terus berjalan cepat kesana kemari.
"Bukan! Mereka sudah memindahkannya. Aku dengar mereka memindahkannya ke lukisan yang lebih murah, Kataia." Begitupun Hikazu, dia juga sibuk meraba-raba berbagai barang disudut ruangan dalam cahaya yang redup diantara mereka.
"Sial!"
Kaki Kataia langsung melesat cepat ke sudut ruangan menyusul Hikazu, meraba pinggiran frame lukisan-lukisan lain yang ada di sana. Setelah beberapa saat belum mereka temukan juga lukisan yang mereka cari itu. Dari ujung ke ujung, tetap tidak ada.
Ternyata tanpa mereka sadari degupan kaki yang ramai sudah berlari cepat ke arah ruangan itu di luar ruangan. Sekarang sudah terlambat bagi mereka untuk keluar ataupun menyelamatkan diri, orang-orang bertubuh kekar itu telah berdiri tegap di ambang pintu, menatap sekeliling ruangan yang gelap sebelum masuk ke dalam.
Manik Kataia sekilas mengkilap merah di gelapnya ruangan itu, menatap sayu Hikazu yang berada tidak jauh darinya.
"Hikazu..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments