Episode 16

Terbaring lemas Kataia di atas kasur dengan mata terpejam dan keringat dingin yang mengucur di keningnya. Dia sendirian di sana, sepi dan sunyi tanpa seorangpun. Hingga pintu kabin terbuka, Hikazu masuk dengan nampan berisi mangkuk makanan. Mengetahui kedatangan Hikazu, Kataia dengan cepat membuka matanya yang lemas.

"Chipnya sudah kamu antar ke Ayaka, kan?" Tanya Kataia tiba-tiba dengan senyum yang tegang.

Mendengar pertanyaan itu Hikazu menjadi bingung, karena dia keluar dari kabin bukan kerena berpikiran untuk menyerahkan chip tadi ke Ayaka, tapi dia keluar hanya mengambilkan makanan untuk Kataia yang sedang sakit. Namun anehnya, kenapa Kataia bertanya tiba-tiba seperti itu? Bukannya dia sudah tau jawabannya?

"Ha? Chip nya?" Gumam Hikazu bingung sambil meletakkan nampan berisi bubur di tangannya ke atas meja disamping pintu.

Masih tersenyum tegang Kataia menatap Hikazu, menunggu jawabannya yang terlihat bingung dan linglung sekali sambil mendekati tepi kasur.

"Kan chipnya—

"Jawab dulu Hikazu, ini penting! Aku juga harus tau dimana kalian membawa chip itu. Kita kan satu tim?!"

Suara Kataia meninggi seperti memberi peringatan ketika Hikazu hendak berjalan mendekatinya, dia terduduk dan meletakkan telunjuknya di depan bibir sesaat. Tingkah itu membuat Hikazu bingung sekaligus ikut menjadi tegang. Karena dia tau, kalau ada sesuatu yang berbahaya disekitar mereka sekarang, terlihat jelas di ekspresi Kataia yang biasanya santai menjadi sangat tegang. Langkah Hikazu langsung terhenti tidak jauh dari kasur, diam di sana dengan lagak yang biasa-biasa saja namun waspada.

"Ya, aku baru saja mengantarkannya pada Ayaka. Memangnya kenapa?" Ekspresi Hikazu datar ketika melihat Kataia perlahan bergerak ke tepi kasur.

"Benarkah? Baguslah kalau begitu."

"Eum. Besok chipnya baru akan pindah tangan ke Azari dan Goro. Untuk mengantisipasi keamanan, chipnya akan dikirim lagi ke 'tuan' secara langsung." Tambah Hikazu dengan kedua alis terangkat mengisyaratkan, mempertanyakan apa yang terjadi.

"Yasudahlah, padahal aku tadi mau mengecek isinya dulu sebelum diberikan kepada 'tuan'. Tapi kalau memang sudah terlanjur juga tidak apa-apa." Kataia memberikan isyarat juga berupa telunjuk yang diletakkan ke depan bibirnya lagi untuk menjawab pertanyaan Hikazu.

Tanpa mereka sadari, sesuatu yang dingin dan kejam berada di dalam kegelapan yang lembab. Sesuatu itu menunggu dengan sabar di balik kegelapan dengan pistol dingin yang berada di tangannya, menunggu momen yang tepat untuk menggunakan apa yang telah ada padanya.

"Kamu semakin pucat, Kataia. Bagaimana kalau kita fasilitas medis saja dulu? Aku jadi khawatir melihat kondisi mu yang semakin parah ini."

Kaki Hikazu kembali mendekat perlahan dan hati-hati ke tepi kasur dekat kaki Kataia sambil diam-diam menyiapkan pistol di balik kantong coat nya. Sementara Kataia sendiri juga bersiaga di tepi kasur dengan pistol yang dia keluarkan langsung dari bawah bantal.

"Anggota Deeper Stuck agen rahasia pemerintah. Nakamura Hikazu, Kataia Otako.."

Sepertinya Hikazu juga mulai sadar ketika dia mendekat ke tepi ranjang. Sesuatu yang dingin sedang menunggu mereka di bawah kasur. Dengan senyum tegang yang lebar Kataia menggeser lagi sedikit tubuhnya perlahan, menggapai paling pinggir tepi ranjang.

"Ya.. Baiklah. Ayo!"

...BRAK...

...DOR DOR DOR...

...DOR DOR DOR...

Dalam sepertinya detik Kataia menggulingkan dan menjatuhkan tubuh nya cepat ke lantai tanpa ragu dan mempedulikan dirinya sendiri. Dia menembak tanpa jeda ke arah kolong bawah kasur bersamaan dengan Hikazu yang juga menembak dari arah lain secara bertubi-tubi tanpa ampun. Belum sempat sedikitpun orang yang ada di bawah kasur itu bergerak, Kataia dan Hikazu sudah lebih dulu bertindak menembaknya tanpa ampun.

Seisi kabin dipenuhi oleh suara dentuman pistol yang nyaring dan bertubi-tubi mengenai orang yang ada di bawah, menggelegar di setiap sisinya. Ekspresi Kataia dan Hikazu nampak datar dan serius, tidak berhenti sedikitpun bahkan hingga darah menggenang keluar dari bawah kolong kasur yang gelap sekalipun. Saat isi pistol keduanya habis baru lah mereka berhenti. Ekspresi keduanya datar tanpa rasa bersalah maupun takut.

"NGGGG!!!"

Selesai baku hantam peluru berhenti, Kataia tiba-tiba saja mengerang di lantai, meringkuk sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan saat darah dari bawah tempat tidur mengalir sedikit mengenai rambutnya. Khawatir dengan keadaan Kataia, Hikazu bergegas berlutut dan menghampiri Kataia yang dia pikir ketakutan itu, lalu membekapnya.

"Kamu tidak apa-apa, Kataia? Tidak perlu takut, dia sudah mati." Ucap Hikazu membekap Kataia sambil mengelus-elus kepala nya dengan lembut.

"Apanya?! Siapa yang takut?! Kepala ku kepentok meja, bodoh!" Decak Kataia sebal, masih meringis kesakitan dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

"Oh."

Mana mungkin orang seperti Kataia yang sering membunuh itu takut dengan hal kecil barusan. Bahkan kepuasan di dadanya menggelitik saat merasakan sensasi bagaimana dia membunuh orang yang ada di dalam kolong kasur itu tadi. Aslinya Kataia hanya kesakitan sekarang akibat terbenturnya kepala ke tepi meja nakas yang ada di dekatnya.

Merasa malu dengan apa yang dia lakukan salah tangkap, Hikazu melepas cepat Kataia dari bekapannya. Telinga Hikazu memerah saat dia menggaruk canggung kepala nya yang tidak gatal. Dia hanya memperhatikan Kataia yang berusaha menyeimbangkan kepala nya itu.

Ketimbang memikirkan orang yang sudah mati di bawah kasur karena mereka, Kataia lebih memikirkan kepalanya terbentur meja tadi, dia menggosoknya kasar sampai rasa sakitnya reda.

"Kamu benar-benar tidak apa-apa?" Hikazu menatap khawatir Kataia sekali lagi untuk memastikan.

"Palingan geger otak, kalau tidak amnesia, atau pendarahan otak mungkin." Ucap Kataia dengan suara lemah manja yang masih kesakitan dan berdiri dari duduknya.

Dari itu saja Hikazu tau dan bisa menilai bahwa Kataia benar-benar baik-baik saja. Mungkin dia saja yang berlebihan khawatir pada seorang Kataia si strong wo(man). Setelah memastikan semuanya tidak apa-apa, Kataia dan Hikazu mulai menggeser queenbed mereka hingga sosok yang sudah mati ditembak mereka tadi terlihat agar bisa dibereskan, susah payah mereka menggesernya berdua.

Wajah dan tubuh orang itu hancur di hantam banyaknya tekanan peluru yang mereka tembakan. Tidak ada ciri-ciri wajah yang keduanya bisa temukan dari hancurnya komponen daging dan kulit itu. Hanya ada satu hal yang bisa mereka berdua pastikan dari tubuh hancur itu, bahwa orang di balik topeng kain hitam itu adalah seorang pria bersenjata lengkap yang tadinya hendak menyerang mereka.

"Wah. Aku jadi tidak selera untuk tidur gara-gara melihat kekacauan ini. Rasanya tidak tenang tidur dengannya di sini. Parah.." Gumam Kataia berkacak pinggang memperhatikan kaus kaki putihnya yang menyerap darah yang menggenang di bawah.

"Tidak, kamu harus istirahat. Ingat untuk jaga kesehatan mu, kita tidak sedang bermain, Kataia. Kesehatan fisik kita sangat berpengaruh sekarang."

"Ya, ya, ya. Aku tau."

Dengan lembut Hikazu mendorong pelan Kataia hingga terduduk di tepi kasur yang sebelumnya telah mereka rapatkan ke sisi dinding kabin. Tak berdaya Kataia pun pasrah dan mengiyakan perintah Hikazu walaupun mulutnya tetap membantah. Bukannya pasrah dalam artian rela, tapi karena Kataia yang memang masih sedikit lemah.

"Ish! Aku bukan anak kecil! Kamu tidak perlu mengatur-atur ku begini."

"Stt!" Desis Hikazu masih sangat sabar dengan kelakuan Kataia.

Tanpa terduga tangan kekar Hikazu yang besar meraih kaos kaki Kataia yang kotor berlumuran darah itu dan melepaskannya, lalu membersihkan helaian rambut Kataia yang terkena darah dengan sedikit air pada mangkuk yang dia ambil cepat dari kamar mandi. Perlakukan Hikazu yang perhatian itu membuat Kataia terdiam dalam hening, terkesan sekaligus tertegun dengannya.

Canggung sekali Kataia hendak menghentikan Hikazu, wajah mereka terlalu dekat, sangat dekat sampai-sampai Kataia bisa melihat pori-pori halus dari wajah Hikazu yang mulus. Dalam kedekatan itu Kataia juga bisa mencium harumnya pewangi pakaian beraroma lembut milik Hikazu yang belum pudar setelah seharian beraktivitas.

Rasanya aneh saja diperlakukan spesial oleh Hikazu yang biasanya menjengkelkan, Kataia tentunya merasa tidak enak walaupun rasanya enak mendapatkan princess treatment gratis. Dari dekat Kataia sedikit terpaku pada Hikazu, menatap leher jenjang nya yang rupawan, sepadan paras tampan wajahnya yang Kataia sangkal.

"Berhenti Hikazu, aku jadi tidak enak merepotkan mu begini. Sini. Aku bersihkan sendiri."

"Tidak usah. Aku sudah selesai."

Saat tangan Kataia hendak meraih mangkuk berisi darah yang hampir kering dari rambutnya itu, Hikazu lebih dulu menjauh sebelum Kataia meraihnya. Senyum lembut yang meyakinkan itu sekali lagi membuat Kataia terpaku tak berdaya.

"Makanannya jadi dingin. Kamu dulu sebentar di sini sementara aku ambilkan yang baru." Ucap Hikazu bangkit dari tepi kasur.

"Woi! Tunggu! Jangan! Aku tidak makan!" Seru Kataia cepat saat Hikazu baru beberapa langkah menjauh.

Mendengar seruan itu membuat Hikazu kesal dan naik pitam, inisiatif dan usahanya yang berniatan memanjakan Kataia terdengar menjadi sia-sia. Sebisa mungkin Hikazu tahan amarahnya, dia menoleh dengan tatapan sinis datar dan dingin menusuk langsung Kataia hingga ciut, membuatnya tidak berani berkutik bagaikan kucing terlantar.

"Diam saja kamu di sana. Tugas mu diam, duduk manis dan tidur saja di kasur. Biar aku yang bereskan. Nanti aku ambilkan makanannya setelah selesai beres-beres. Tidak ada penolakan!"

Nada datar omelan itu terdengar seram, pada akhirnya Kataia hanya bisa tetap diam menurut berbaring di sana sambil memejamkan matanya sementara Hikazu membereskan semuanya dengan cepat dan cekatan. Sungguh telaten dan terlatih tangan Hikazu membersihkan mayat tadi, tidak sampai 1 jam semuanya telah beres dan bersih, hanya ada kantong plastik hitam yang tersisa dari 'rahasia'.

Beberapa saat telah berlalu setelah Hikazu keluar dari kabin dia kembali dengan nampan berisi makanan hangat pada mangkuk di tangannya. Perlahan dia meletakkan itu di atas kasur dan mengetuk bahu Kataia yang berbaring miring memunggunginya.

"Kataia."

"Hm?"

Seperti tanpa adanya beban dan rasa sakit, Kataia membuka cepat matanya yang terlihat jernih dan sehat. Dia terduduk menatap Hikazu yang datar itu dengan mata yang berbinar. Harapnya karena sudah terlihat sehat Kataia tidak perlu menuruti Hikazu lagi untuk makan.

"Kamu sudah baikan sepertinya."

Senyum lembut mengembang ketika Hikazu menyerahkan nampan berisi makanan di atas kasur tadi kepangkuan Kataia. Namun ketika makanan itu berada dalam pandangannya, Kataia menghela nafas kasar dengan lirikan sinis yang enggan, sesaat menjadi frustasi.

"Harus sekali ya dimakan?"

"Tentu saja. Aku membawanya kesini untuk dimakan, bukan untuk dilihat dan menjadi pajangan." Jawab Hikazu tanpa goyah memperhatikan reaksi Kataia.

"Aku tidak lapar, sumpah! Kamu lihat, kan? Aku sudah lebih baik. Jadi aku tidak perlu memakan ini. Percayalah! Aku akan lebih sehat lagi nanti kalau meminum wine ku. Boleh, ya?" Rengek Kataia membujuk denga mata yang melebar.

"Tidak."

Jawaban tegas itu membuat Kataia bungkam, tapi tidak menyerah, hanya membuatnya bungkam sesaat saja. Kesal karena permintaannya ditolak, Kataia meletakkan kasar nampan berisi makanan itu ke pangkuan Hikazu kembali dengan dagu yang mengkerut cemberut.

"Kalau kamu tidak memakannya, aku buang semua wine mu di koper itu ke laut." Ancam Hikazu tersenyum jahat, melirik tajam Kataia.

"Cih!"

Itu sangat mengerikan, membuat Kataia ciut lagi dan terpaksa mengambil kembali nampan dari pangkuan Hikazu itu walaupun dengan dagu yang masih mengkerut cemberut. Ternyata sifat Hikazu yang tegas dan tajam itu efektif membuat Kataia tunduk, bahkan lebih efektif dari cara Zean yang biasanya menyeret paksa Kataia.

"Enak, kan?" Hikazu tersenyum lembut sambil menghela nafas lega memperhatikan Kataia mengunyah beberapa suap bubur dengan lahap.

"Tidak!" Balas Kataia ketus karena kesal, tapi pada akhirnya tetap dimakan juga makanan itu.

"Cih, katanya tidak enak. Tapi kok hampir habis?"

"Lapar!"

"Yasudah." Hikazu tersenyum geli lagi, menahan tawa melihat sikap Kataia yang munafik pada dirinya sendiri.

Tak berselang lama setelah itu, pintu kabin mereka terbuka. Sosok Azari, Nichioro, Ayaka dan Goro langsung masuk bergantian ke dalam tanpa mengetuk. Hikazu langsung terlonjak dari tepi kasur, menyambut mereka dengan senyum ramah seperti biasanya. Matanya bercahaya mengharapkan kabar baik dari rekan-rekannya yang baru datang itu.

"Sudah semua?" Mata Hikazu sedikit berbinar dengan senyum tipis menghampiri.

"Sudah." Jawab Azari datar dengan nada lesu. "Tapi ini belum berakhir."

"Aku tau."

Manik Azari langsung melesat menatap ekspresi Hikazu yang seketika tanpa senyum dan serius itu. Dia membawa mereka duduk di lantai dan meraih koper hitam besar yang ada beberapa senjata, bom dan laptop di sana. Tangan Hikazu mengambil laptop di dalam koper itu dan meletakkan nya di tengah-tengah mereka.

"Situasi kita tidak sebaik yang aku pikirkan awalnya. Justru musuh kali ini berbahaya. Yaa... Coba bayangkan saja, orang mana yang ingin musuhnya melewatinya dengan mudah?" Azari bergeser ke samping Hikazu yang mengutak-atik serius laptop di depannya.

"Kamu juga sadar, ya? Aku dan Kataia tadi hampir saja diserang oleh musuh yang bersembunyi di bawah kasur barusan, untung saja Kataia sadar lebih dulu tadi. Kalau tidak, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa." Tambah Hikazu yang masih serius menatap laptop, sementara anggota lain menoleh penasaran dengan ceritanya. "Jadi untuk berjaga-jaga saja kita buat beberapa duplikat chip dan masing-masing kita akan memegangnya."

"Eumm... Baiklah. Tapi untuk apa?" Pertanyaan Azari tidak digubris oleh Hikazu yang masih sibuk menatap layar laptopnya.

Sambil memperhatikan apa yang Hikazu lakukan saat itu, Azari berjalan ke belakang punggungnya dengan cepat, meraih sebotol wine dari tangan Kataia yang ternyata sedari tadi diam-diam beraksi mengambil wine dari dalam koper di samping kasur. Koper itu tidak lain dan tidak bukan adalah milik Kataia sendiri, koper hitam yang mengembang melebihi kapasitas karena banyaknya isi di dalam.

Sangat terkejut Kataia dengan refleks Azari yang bisa dengan cepat menyadari tindakannya. Kataia pun hanya bisa mendengus kesal, aksinya gagal untuk meminum bekal wine nya yang telah di siapkan Zean secara khusus tadi pagi sebelum keberangkatan mereka.

"Syalan.." Gumam Kataia sangat pelan, hampir tidak terdengar.

Tangan mungil Azari membuka segel tutup sebotol wine Kataia itu tanpa ada rasa berdosa dan meminum beberapa teguk langsung dari botolnya. Betapa dinginnya punggung Azari merasakan lirikan tajam dan sinis Kataia yang kesal setengah mati saat wine nya di rebut. Tentunya Azari juga tidak peduli dan acuh saja terhadap Kataia yang ada di belakang punggungnya. Justru dengan sengaja dia mendesah nikmat merasakan sensasi panas wine itu di tenggorokannya untuk memanasi Kataia.

"Eumnn... Segar sekali wine nya."

Seringai main-main itu masih lekat saat kakinya melangkah, duduk kembali di sisi Hikazu dan memperhatikannya yang mengambil sebuah kotak hitam kecil berisi beberapa chip dalam koper. Dalam kedekatan itu Azari bisa merasakan betapa tegang dan seriusnya manik pria di sebelah nya itu menatap layar laptop yang dipenuhi oleh angka dan huruf acak. Sangat sulit dimengerti apa yang tertulis di sana.

Satu per satu chip kosong Hikazu masukkan ke dalam laptop modifikasi mereka, mengisi data demi data ke dalam masing-masing chip dengan cepat dan telaten. Selesai semua chip terisi oleh data-data, Hikazu mengacak semua chip itu di tangannya, lalu membagikan keenam chip kepada masing-masing. Mereka terdiam sebentar kebingungan sambil menatap satu sama lain bergantian, tidak mengerti dengan maksud Hikazu membagikan chip itu.

"Jadi siapa yang pegang chip yang asli?"

Dengan ekspresi bingung Ayaka memperhatikan chip nya, mencondongkan badannya sedikit melirik chip setiap rekan, memperhatikan dengan seksama perbedaan chip yang ada pada masing-masing mereka. Namun tidak ada sedikitpun perbedaan pada masing-masing chip, tetap sama dengan wujud warna hitam dan kecil. Pupil Ayaka menatap Hikazu menuntut penjelasan lebih.

"Nah, itu juga aku tidak tau. Kita adu keberuntungan saja." Tersungging tinggi kedua sudut bibir Hikazu tersenyum main-main.

Untuk kali ini senyuman itu tidak lagi terlihat menenangkan, justru menjadi menjengkelkan. Bagaimana tidak menjengkelkan, memangnya siapa yang tidak akan marah jika diajak bercanda pada situasi genting seperti mereka itu? Musuh sedang mengintai tapi Hikazu dengan entengnya mengajak mereka bermain adu keberuntungan.

"Aku benci kamu, Hikazu. Ini bukan waktunya untuk main-main." Decak Ayaka tidak menyembunyikan sedikitpun rasa jengkel nya yang bengis.

"Jangan marah dulu. Aku hanya ingin menguji keberuntungan antara kita dan musuh. Kalau mereka beruntung, ya dapat chip yang isinya data penuh. Dapat chip duplikat juga tidak rugi, ada sedikit data acak di sana." Tukas Hikazu cepat menjelaskan lebih jelas.

Masing-masing anggota di depannya masih terlihat ragu sambil memperhatikan chipnya, sesekali melirik Hikazu dengan masih tidak yakin. Karena tidak puas dengan respon keempat rekannya, Hikazu berbalik, mendapatkan Kataia yang masih frustasi sambil bersandar di samping ranjang sebab tidak mendapatkan asupan wine.

"Bagaimana dengan pendapat mu, Kataia?" Senyum Hikazu berbinar penuh harap.

"Ha? Ya, terserah kamu saja. Apa-apa terserah kamu saja." Suara Kataia lemas dan lesu.

Seperti respon yang Hikazu harapkan dari Kataia. Memang tidak banyak, tapi setidaknya dia puas kalau Kataia setuju. Walaupun jawaban itu karena Kataia dalam keadaaan frustasi dan acuh tak acuh, tapi tidak ada keraguan dari jawabannya. Tentu sana itu membuat Hikazu puas dan semangatnya meningkat lebih tinggi lagi.

"Oke."

Sungguh bercahaya dalam binar mata Hikazu mendengarnya. Setidaknya meski hanya Kataia seorang yang setuju tidak ada keraguan padanya. Karena Hikazu tau, dibalik sorot mata acuh tak acuh Kataia itu terdapat telinga yang mendengarkan dengan baik disekitarnya. Dengan begitu ucapan Kataia tidak semata-mata keluar sembarangan, tetapi telah dipikirkannya sungguh-sungguh dalam diam.

"Tapi, Hikazu. Ini bukan masalah beruntung atau tidaknya. Kita sekarang tidak sedang bermain-main. Nyawa yang jadi taruhannya, Hikazu." Goro tiba-tiba angkat bicara dengan nada tegas yang ditekankan, menembus suara lembut yang biasanya terdengar.

"Jadi kamu meragukan ku?" Senyum Hikazu langsung pudar, mulai serius dan tajam setelah sesaat terdiam karena tertegun.

"Sudahlah kalau tidak mau dengar. Aku muak!"

"Goro. Memangnya kamu punya usulan rencana lain?"

Terdiam Goro mendengar batunya nada Hikazu. Kesal dengan sifat Hikazu yang keras kepala, Goro hanya bisa memutar bola matanya malas dengan kesal. Apalagi Goro sendiri tidak tau rencana apa yang lebih baik dari rencana Hikazu saat ini dan pada akhirnya keputusan akhir tetap berada di tangan Hikazu yang sebagai ketua.

Namun melihat keraguan yang tidak sedikitpun hilang dari wajah rekan-rekannya membuat Hikazu menjadi lebih tidak yakin pada dirinya sendiri. Kalau begitu mau sebagus apapun rencana tidak akan ada gunanya. Karena kunci keberhasilan adalah 'yakin' kalau mereka bisa melakukannya bersama.

Hati Hikazu langsung di terpa oleh angin rasa pesimis. Giginya terkatup gemetar karena geram. Tidak ada lagi senyuman pada bibir Hikazu, ekspresi nya tegang dan dingin, tajam menusuk mata rekan-rekannya yang ada di depan.

"Kalau kalian memang ragu dengan ku, letakkan saja kembali chipnya kemari. Seperti biasa aku akan memberikan kalian kesempatan untuk memilih. Katakan juga kalau kalian punya ide lain. "

Ekspresi Hikazu benar-benar serius ketika meletakkan sebuah kotak kecil berwarna hitam ke depan mereka tanpa goyah dan ragu. Nampak mendesak dalam diam, batu sekali kepala pria itu. Bahkan Kataia yang sedari tadi hanya menguping dari balik punggung Hikazu pun tertegun, baru sekali ini dia melihat Hikazu begitu dingin dan tegas pada mereka.

"Kita sudah bertahun-tahun bersama menjalankan misi, tapi kalian tidak mempercayaiku? Aku sungguh kecewa..." Hikazu mengigit sedikit tepi bibir bawahnya dan bergumam sangat pelan. "Sepertinya aku sudah tidak pantas lagi di sini."

Sejenak hening diantara mereka, untuk yang kesekian kalinya juga rekan-rekan Hikazu memperhatikan kembali chip dalam genggaman mereka dengan seksama. Diam bukannya ragu, tapi khawatir yang mereka rasakan. Dibalik kerasnya keputusan dan batu nya kepala Hikazu, ada perjuangan yang mati-matian Hikazu lakukan di belakang mereka, semuanya tau itu.

Di saat anggota lain mengerjakan misi dengan mempertaruhkan nyawa, ada Hikazu yang diam-diam mengorbankan jiwa dan raganya untuk menopang semuanya. Apapun resiko dari misi Hikazu topang agar tidak ada kegagal. Bahkan selama ini sangat minim bahaya yang mereka hadapi, itu karena Hikazu yang dengan keras memutar otak dan tenaganya.

Mungkin jika otak Hikazu dibuka akan terlihat sosok lainnya, sosok yang gila. Salah satu saksi paling lama yaitu adalah Azari. Sudah cukup lama dia melihat sosok gila Hikazu dibalik ketegaran senyumnya. Pundaknya yang tegang dan berotot itu memikul besar tanggung jawab dan beban besar setiap misi.

"Itu artinya kita hanya perlu bertahan hidup sambil menjaga chip kita masing-masing, kan?" Azari bangkit dari duduknya, melangkah dan terhenti di depan pintu keluar tanpa menoleh kebelakang. "Kedengarannya berbahaya. Tapi tidak ada salahnya juga untukku sekali-kali adu keberuntungan dengan musuh seperti biasa."

Pada akhirnya Azari menjadi orang pertama yang menyerah menerima keputusan Hikazu yang mendesak itu. Sampai detik Azari keluar dan menghilang dari balik pintu Hikazu masih diam di tempat, menatap dingin dan kokoh rekan di depannya yang tersisa. Tentunya Hikazu akan menang lagi, karena mereka tidak punya pilihan lain selain setuju.

"Maaf untuk yang barusan, Hikazu."

Kepala Goro tertunduk untuk beberapa saat, dia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum menggenggam erat chip kecil itu dan bangkit pergi dengan helaan nafas berat. Kemenangan lagi bagi ego Hikazu. Begitupun dengan Ayaka dan Nichioro yang tersisa sebagai orang yang masih ragu di sana, mereka sekali lagi juga kalah dengan desakkan ego Hikazu seperti biasa.

"Hikazu.. Apa kamu tau kalau kata-kata itu menyakiti kami? Kamu akan menjadi satu-satunya ketua kami.." Lirih Ayaka hampir berbisik. "Asalkan kamu tau saja, kami bukannya ragu pada mu. Tapi kami hanya khawatir dengan mu yang terlalu memaksakan diri."

Kaki Ayaka berdiri dari duduknya, termenung menatap lantai dengan sayu sesaat. Memang sudah entah berapa kali kejadian serupa seperti ini terjadi pada 7 tahun terakhir, kejadian dimana rekan-rekan Hikazu mengiyakan paksa desakkan nya. Tapi baru kali ini Hikazu mendengar itu dari salah satu rekannya, apa yang dia maksud?

"Ayaka..."

Manik Hikazu melembut memperhatikan betapa sayu nya Ayaka yang diam-diam berkaca-kaca. Dia tertegun, hati nya mulai luluh melihat kerentanan Ayaka yang biasanya berisik dan tidak terkendali menjadi sedih, berbanding terbalik dari dirinya. Otot wajah Hikazu mulai melonggar, alisnya menjadi lebih santai saat mulai termenung.

Dengan ekspresi yang kecewa Ayaka keluar dari kabin di ikuti oleh Nichioro yang tanpa ekspresi di belakang. Begitu sedih dan kecewa wanita itu dengan kepala yang tertunduk di sepanjang langkahnya. Ketika Nichioro yang berada di belakang Ayaka sudah berada di depan pintu dan memegang gagang, dia melirik kebelakang.

"Hikazu... Hanya kamu satu-satunya yang pantas jadi ketua kami. Kita ini tim, jangan sembunyikan kerja keras mu di belakang kami. Semuanya tau, Hikazu..."

Sunyi kembali kabin itu saat hanya tertinggal Hikazu dan Kataia di sana. Keduanya terdiam. Hikazu dengan perasaan campur aduk nya dan Kataia dengan rasa bingungnya. Cukup lama hening diantara mereka sebelum Hikazu beranjak dari tempatnya dalam diam, keluar dari kabin yang lalu di ikuti cepat oleh Kataia.

Bulan naik tinggi di atas langit malam, berada di tengah-tengah kepala dengan angin dingin yang berhembus cukup kencang menusuk kulit. Hikazu berdiri di belakang pagar pembatas sambil helaan nafas berat, menatap frustasi langit yang indah di hiasi bintang pada malam itu.

Rasanya jadi berat sekali malam itu, perasaan campur aduk, lelah, bingung, dan frustasi bersatu menjadi kesatuan prima. Bahkan Kataia menjadi kacang disamping Hikazu selama beberapa saat, hingga angin yang semakin dingin membuat Hikazu tertegun.

"Masuk ke dalam, Kataia." Ucap Hikazu tanpa menoleh.

"Tidak mau, nanti aku bosan sendirian di dalam. Begini kan enak santai di luar."

"Anginnya dingin, nanti kamu bisa sakit kalau lama-lama diluar. Juga pakaian mu itu terlalu pendek. Tidak kedinginan apa?"

Dengan alis yang sedikit mengkerut Hikazu menyandarkan salah satu lengannya pada pagar pembatas, menatap lekat Kataia yang ada sebelahnya itu. Seakan tidak peduli Kataia tidak menggubris Hikazu dan tetap diam sambil melihat indahnya laut malam.

"Dengar tidak?" Suara Hikazu sedikit memberat dalam ketegasan.

"Aku tidak mau masuk kalau kamu juga tidak masuk. Sudah tau dingin kenapa tidak masuk juga?"

Yang tadinya hanya diam sekarang berubah menjadi lebih liar. Kataia menatap berani Hikazu dengan kedua tangan yang berkacak pinggang, ekspresinya menantang tanpa rasa takut. Mau tak mau Hikazu merasa kembali frustasi, menghela nafas berat sambil menggaruk keningnya yang tidak gatal dengan senyum paksa.

"Baiklah, baiklah, ayo masuk. Ini aku juga masuk ke dalam."

Dengan pasrah Hikazu masuk ke dalam kabin di ikuti Kataia, berjalan ke kasur sambil sedikit merapikan seprai dan bantal yang berantakan. Setelah selesai kasur itu di bereskan Hikazu berbaring di tengah-tengah kasur dan memejamkan matanya sejenak sebelum menatap Kataia yang masih berdiri di tengah ruangan.

"Tunggu apa lagi? Ini sudah malam, Kataia. Kamu harus istirahat."

"Aku tahu! Makanya geser sana, jangan seenaknya menguasai kasur."

Sambil berdecak kesal Kataia naik ke atas kasur, melempar kasar wajah Hikazu dengan bantal hingga pria itu tersisih ke bagian sisi lain kasur yang berada di tembok. Sangat rapat jarak Hikazu dengan tembok karena geseran Kataia. Dia pun tidak protes dan diam menerimanya.

"Aku kira kamu ingin tidur sambil aku peluk." Goda Hikazu dengan senyum tipis yang sayu di bibirnya.

"Mimpi saja!"

Kerena membuat Kataia semakin kesal, Hikazu berhasil mendapatkan reward berupa tendangan istimewa yang langsung membuatnya mencium tembok. Bukannya marah atas perlakukan Kataia, Hikazu hanya terkekeh pelan merasakan akibat kejahilan nya sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!