Tangan kekar dengan hoddie yang disisihkan setengah lengan meraih pinggiran plastik sampah. Meletakkannya di atas meja bersih dengan tumpukan berkas tebal yang sepertinya penting.
"Goro, kamu mau buang sampah? Aku titip ya."
Kaleng soda di lempar tepat ke dalam plastik sampah yang masih terbuka dari kejauhan. Hampir saja bagian tajam kaleng mengenai tangan Goro yang masih memegang sisi plastik. Goro menggeram kesal.
"Lakukan sekali lagi, aku masukkan kepala mu ke dalam sini!" Ucap Goro menggeram ke arah sang pelaku yang hendak melempar kaleng soda lainnya ke dalam plastik dari kejauhan lagi.
"Berhenti Nichioro!" Bentak Goro kesal.
Nichioro terkekeh canggung, dia berjalan ke depan Goro sambil membawa kaleng soda nya dengan cara normal. Memasukkan kaleng soda nya ragu-ragu saat Goro masih menatap tajam ke matanya.
"Maaf, maaf.." Nichioro cenggesan.
Goro membuang muka dengan ketus. Dia menggoncangkan sedikit plastik sampah yang dia pegang di atas meja. Saat hendak menutup plastik sampah itu, sebuah benda kecil berwarna silver yang mengkilat dengan lampu merah dari dalam plastik menarik perhatiannya.Goro meraih benda itu dan mengangkatnya.
"Nichioro..." Lirih Goro pelan saat memperhatikan lampu merah di benda kecil yang dia temukan.
"Kenapa?"
Nichioro yang sudah hendak membuka pintu keluar membalikkan badannya, menatap Goro yang menyeringai sambil mengacungkan alat kecil yang dia temukan ke arah Nichioro dari kejauhan. Nichioro pun berjalan mendekat, terlihat penasaran dengan apa yang Goro temukan.
"Nampaknya kita punya anggota baru yang licik."
Lampu merah perekam suara yang berkedip-kedip, menunjukkan angka 00.00.05 di alat kecil itu. Nichioro ikut menyeringai, menyandarkan punggungnya di sisi meja di dekat Goro sambil berdehem.
"Azari mungkin sudah tau sejak awal. Nampaknya itu adalah alasan kenapa dia langsung menyerah dan mengaku pada Kataia."
Nichioro dan Goro saling tatap. Antara menyeringai senang, puas, kelicikan, dan kejahatan. Nichioro mengambil alat perekam itu, sesaat bercermin di silaunya warna silver alat perekam. Dengan tangan kekar yang di tutupi oleh kemeja hitam ketat, Nichioro mematahkan alat perekam itu sampai terbelah dua dengan mudahnya.
"Benar juga. Memangnya apa yang alat ini rekam dari pembicaraan yang hanya berdurasi 5 detik?" Balas Goro melirik tajam serpihan alat perekam yang berhamburan di lantai.
Sesaat suasan menjadi sepi, hanya terdengar suara detik jam dinding yang terdengar saat kedua pria itu terdiam dan termenung. Keheningan itu baru pecah saat suara Goro yang membereskan serpihan alat perekam di lantai mengganggu lamunan Nichioro.
"Ck, berisik sekali." Decak Nichioro.
"Lebay, hanya suara kecil saja kamu terganggu?!" Protes Goro kembali.
Akhirnya Nichioro hanya terdiam, memandang tajam Goro yang masih membuat bising dengan suara serok dan sapu yang membersihkan beberapa debu di lantai.
"Kemana Azari tadi?" Ucap Goro yang masih fokus pada kedua alat pembersih nya.
"Azari? Tadi dia bilang hanya ingin pergi, tapi tidak tau kemana." Nichioro mengangkat sedikit bahunya, melangkah ke pintu keluar ruangan sebelum pergi entah kemana meninggalkan Goro sendirian seperti biasanya.
"Aku pergi dulu."
...****************...
Di sebuah dataran terpencil di negara Jepang, ada bangunan rumah megah bernuansa eropa modern berdiri kokoh di atas tanahnya. Seorang wanita dengan baju setelan jas non-feminim duduk di belakang meja kantor yang terletak di salah satu ruangan di rumah megah itu.
"Duduklah.." Ucapnya datar pada Hikazu yang baru saja terlihat dari balik pintu besar ruangan.
Hikazu pun duduk didepan meja wanita itu. Matanya terus menjelajahi setiap sudut ruangan dengan desain interior eropa modern yang sangat menarik perhatian siapapun. Sungguh ruangan yang besar dan tinggi dengan kemegahannya.
"Wah.. Ini ruangan apa? Megah sekali..." Hikazu kagum, matanya terus berkeliling memperhatikan sekitar dengan mata yang berbinar.
"Ini adalah ruang kerja saya dan rekan saya. Tapi ini bukan apa-apa dibandingkan ruangan lainnya."
Hikazu tersentak, tidak percaya bahwa ada ruangan lain yang lebih megah dari 'kemegahan' yang dia lihat sekarang. Rumah megah yang tersembunyi dan terletak sangat jauh dari pemukiman. Jarang terlihat dan diketahui, tapi memang ada.
"Kamu tidak bercanda kan? Ada ruangan yang lebih megah dari ini lagi??! Wahhh!! Keren! Aku baru tau ada rumah yang seperti ini di sekitar sini."
Kekaguman yang berlebihan itu membuat Mira merasa gelisah. Tatapannya tetap datar, seakan mengintimidasi namun tetap tenang menghadapi Hikazu.
Sementara Hikazu masih mengagumi sekitar, Mira membuka laci mejanya. Mengambil secarik kertas dan pulpen dengan ukiran bahasa asing berlapis emas yang mengkilat.
Kilatan emas dari pulpen itu membuat perhatian Hikazu tertarik untuk mengetahui apa yang akan Mira lakukan dengan kedua benda itu. Mata mereka bertemu, tatapan tegas dari Mira menembus langsung ke mata Hikazu yang sulit di baca.
"Tentu saja kalian tidak tau–
Mira tiba-tiba menghentikan kalimatnya, terdiam saat menatap jam dinding yang ada di seberang berdetak tak karuan seakan membuat suatu melodi musik. Mulutnya seketika bungkam sebelum kembali menatap Hikazu dengan tenang.
"Mari bahas yang lain. Sebenarnya siapa anda, tuan?"
"Aku? Aku Nakamura Hikazu. Anggota departement accounting di Trisde entertainment." Sambil tersenyum ramah Hikazu mengulurkan tangannya yang lalu di sambut dengan enggan oleh Mira.
"Senang bertemu dengan anda." Suara Mira tetap datar.
"Ah, tidak perlu sungkan. Kamu bisa berbicara dengan bahasa non-formal dengan ku."
Tidak ada yang dapat menyembunyikan keramahan Hikazu diantara obrolan mereka, walaupun Mira merespon hanya dengan nada yang datar. Suara tawa ramahnya menggema di ruangan, membuat suasana sekitar sedikit mencair.
"Sebenarnya bukan nama anda yang ingin saya tau. Maksud dari pertanyaan saya, siapa sebenarnya anda? Anda terlihat seperti sangat mengerti dan terbiasa dengan situasi aneh tadi." Tatapan Mira kembali menajam, hampir menembus jiwa Hikazu dengan intimidasi yang tertanam pada pupilnya.
Hikazu terdiam, berusaha menemukan kata-kata yang tepat saat mata Mira yang galak menjadi terasa seperti beribu-ribu pupil yang berusaha merobek jiwa nya. Kegelisahan pun meliputi Hikazu.
"Aku... Hmmm... Rasanya seperti terbiasa saja. Aku tidak tau dari mana perasaan itu, tapi rasanya memang seperti pernah aku alami..."
Kepalanya sedikit tertunduk, termenung sebentar mengingat sesuatu yang hampir tak terbaca dari raut nya. Tapi tiba-tiba saja Hikazu merasakan rasa kuatir yang seakan menampar perhatiannya, dia mengangkat kepalanya.
"Oh iya, bagaimana keadaan Nona Devang? Dia baik-baik saja kan?"
"Ya, nona baik-baik saja. Anda tidak perlu khawatir."
"Syukurlah..." Hikazu menghela nafas lega.
Mira pun mengangguk-angguk pelan. Dia menulis sesuatu pada kertas yang sebelumnya telah terletak di atas meja sambil menghela nafas kasar.
"Yah... Aku tidak bisa berbuat banyak karena tidak bisa membaca niat jahat di dalam pikiran mu. Tapi.."
Mira menyodorkan secarik kertas persegi panjang dengan namanya yang tertulis disana, Mira Amayara. Sebuah kertas cek bank internasional.
"Apa maksudnya ini..?" Tatapan Hikazu tiba-tiba menajam. Dia mulai merasa tidak nyaman pada sikap Mira yang seperti ini.
"Tulis nominal uang yang akan membuat mu bungkam tentang kejadian hari ini. Tentang bagaimana kekuatan nona kami."
Hikazu mendengus ketus, dia merasa terhina dengan penawaran Mira. Pria coat hitam itu mendorong pelan tangan Mira, keramahan yang terlukis di wajahnya seketika hilang dalam sekejap.
"Walaupun aku memang tidak sekaya 'nona' kalian itu, tapi aku tidak serendah ini untuk menerima uang kalian hanya untuk tutup mulut."
Bahkan untuk duduk lebih lama di kursi nyaman yang dia tempati sekarang pun membuatnya merasa terhina sekarang. Hikazu bangkit dari tempatnya, merapikan coat nya dengan raut wajah yang tidak senang.
"Aku tidak perlu uang kalian untuk tutup mulut." Dia berbalik, berjalan menuju pintu keluar dari ruang itu dengan ketus.
Mira termenung, nampaknya menyadari akan kesalahannya. Dia menghela nafas panjang, ego nya perlahan melembut saat melihat Hikazu yang benar-benar akan keluar dari pintu besar yang ada di sisi lain ruangan.
"Tuan Hikazu, tunggu. Saya minta maaf atas ketidaknyamanannya anda dengan sikap saya sebelumnya..." Mira berdiri dari seberang ruangan, sedikit menunduk sebagai permintaan maaf yang benar-benar tulus.
Saat mendengar suara Mira yang lantang menggema di ruang itu, Hikazu yang sebelumnya sudah meraih gagang pintu sontak berbalik dan memperhatikan Mira yang masih menunduk dari tempatnya. Emosi Hikazu seketika mereda, bahu kekar nya yang tegang dan waspada perlahan lebih rileks.
"Huft... Lupakan saja." Ucap Hikazu tersenyum ramah, membuang semua kekesalan sebelumnya bersama helaan nafas panjang.
Disaat Mira mengangkat kepalanya, hanya senyuman ramah Hikazu yang terlihat. Senyuman ramah yang terlihat tidak asing dan familiar. Mira termenung sebentar, dia mengintropeksi perbuatannya dalam hati.
"Tuan, saya benar-benar minta maaf. Sebagai permintaan maaf saya, anda bisa meminta bantuan apapun kelak. Kali ini... bukan untuk menjaga pandangan anda terhadap saya, tapi sebagai permintaan maaf." Ucap Mira tersenyum tipis.
Ada rasa ragu, tidak enak, dan penyesalan yang terlintas dalam hati Mira mengingat ekspresi Hikazu yang tidak senang tadi. Apalagi sekarang senyuman tulus Hikazu terbangun dari antara kesalahan pahaman mereka. Mira bisa membaca senyuman Hikazu yang terpaksa saat ini.
"Tidak perlu. Ini hanyalah kesalahpahaman kecil. Anggap saja aku tidak melihat apa-apa dan aku juga akan berpura-pura tidak tau apapun tentang kejadian hari ini. Sesuai yang nona Devang inginkan, benar?"
Senyuman Hikazu semakin melebar saat melirik ke arah jam dinding besar yang terpasang di seberang meja Mira, tepatnya di atas pintu besar yang ada di belakang Hikazu sekarang. Jam yang berdetak nyaring membentuk melodi. Sesuai dugaan Mira, kalau Hikazu tau lebih banyak dari yang mereka kira.
"Benar." Jawab Mira singkat sambil mengangguk pelan.
"Itu bukanlah senyuman tulus seperti yang terlihat.. Namun senyuman kegelapan seperti–
"Nama mu Mira, kan? Akan aku ingat. Tolong sampaikan salam ku pada Nona Devang ya..." Hikazu berbalik, menggenggam gagang pintu yang ada di depannya.
Melihat Hikazu hendak pergi, Mira dengan cepat berlari ke arahnya, menghampiri Hikazu yang berbalik kembali dan memperhatikan nya berlari.
"Tuan Hikazu! Tunggu, ini.. Walaupun anda menolak bantuan saya sekarang, tapi saya yakin pasti suatu saat saya bisa membantu anda. Terimalah."
Mira mengulurkan kedua tangannya sambil sedikit menunduk, memberikan sebuah kartu nama perusahaan nya. Hikazu mengambil kartu itu dari tangan Mira sambil tersenyum manis sepertinya biasanya.
"Terima kasih."
Pria berambut coklat itu menarik gagang pintu, membuat pintu besar nan berat itu berdecit sebelum akhirnya di tutup dengan suara yang menggema di dalam ruangan. Setelah Hikazu benar-benar pergi, Mira kembali ke meja kerjanya dan menyambungkan panggilan ke orang yang ada di seberang telpon.
"Halo? Nona.."
...----------------...
Beberapa hari telah berlalu, jalanan Tokyo terlihat ramai dengan para pejalan kaki yang berlalu-lalang di hari sibuk yang sejuk. Ada banyak pekerja kantor dan pelajar yang lewat disana, bahkan ada juga para pejalan kaki yang hanya sekedar keluar rumah untuk bersantai atau berbelanja di sekitar.
Cuaca hari ini benar-benar sejuk. Dingin tapi tidak juga terlalu dingin. Apalagi untuk para karyawan Trisde yang nampaknya sangat sibuk pada hari ini, terlihat lebih padat dari hari biasanya.
"Goro~ Azari mana? Aku bosan... Kalian berdua tidak seru." Keluh Kataia yang tengah melamun sambil menyanggah dagunya dengan tangan yang di atas meja.
Harinya sudah begitu dingin untuk menusuk langsung ke tulang bagi orang yang tidak menggunakan baju tebal. Namun anehnya manusia ini tetap saja menggunakan kipas angin yang akan menambah lebih banyak biaya listrik lagi. Apalagi dia menggunakan dress pendek yang cukup terbuka di hari dingin seperti ini.
Nichioro dan Goro terlihat sangat sibuk, sama seperti karyawan yang lainnya. Mereka berdua hanya melirik sebentar Kataia.
"Azari masih dalam masa pemulihan, Kataia. Mungkin dia akan kembali dalam beberapa hari lagi." Sahut Goro tak mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
"Aaa~" Rengek Kataia di depan kipas meja yang menyala dengan kecepatan penuh.
Anginnya berhebus dengan cepat mengibaskan rambut ash brown Kataia yang lebat. Tanpa ada rasa bersalah dia masih saja menikmati pemborosan listrik itu sambil menutup matanya. Tentunya Nichioro dan Goro pun terlihat acuh tak acuh dengan situasi sekitar karena sedang sibuk dengan perkerjaan masing-masing.
Tak lama, Kebisingan mulai terjadi saat kipas angin meja Kataia mati. Itu seakan menggangu ketenangannya, sekaligus menganggu ketenangan orang sekitar karena teriakannya.
"Sialan! Hei! Kenapa kipas ku mati?!"
Mata Kataia menyelidiki sekitar, dia mengamati apa penyebab kipas nya mati sementara komputer Nichioro dan Goro masih menyala. Terlihat di pojok ruangan, pria dengan coat hitam memegang colokan yang telah di cabut dengan ekspresi datar.
"Hei! Colokannya kenapa di cabut! Sialan!" Teriak Kataia emosi ingin melemparnya dengan sebuah buku tebal.
"Pemborosan listrik!" Balas pria coat hitam yang berteriak tidak kalah nyaring dari Kataia.
Keributan itu menarik perhatian Nichioro dan Goro yang ada di meja mereka masing-masing. Namun perhatian mereka lebih dominan tertarik pada Ayaka yang memegang 4 kantong plastik berwarna coklat dengan aroma sedap.
"Waahhhh!! Ayaka.. Apakah kamu cenayang? Dari mana kamu tau kami belum makan siang dan sedang kelaparan?"
Nichioro menghampiri Ayaka dengan sangat cepat, kakinya melayang tanpa menapak ketika melihat apa yang di bawa nya ke kantor mereka. Sementara Hikazu hanya datang membawa omelan nya saja.
"Kamu ini pemborosan listrik!" Seru Hikazu.
"Memangnya kenapa?!!!"
"Harinya dingin begini kamu masih menggunakan kipas? Apa tidak cukup AC nya?! 3 AC dan 1 kipas di cuaca dingin? Apa kamu gila? Kamu bukan manusia ya?!!"
"Ya, aku bukan manusia! Jadi biarkan aku memakai kipas nya!" Kataia berdebat hebat dengan Hikazu untuk berupaya merebut colokan kipas kembali.
"Kamu tau?!—
"Tidak!" Kataia menyela, dia sudah sangat merasa jengkel.
"Perusahaan akan rugi besar karena karyawan yang boros seperti kamu!" Seru Hikazu yang juga jengkel mempertahankan colokan yang dia pegang.
"Ahhhhhh!!" Rengek Kataia seperti anak TK yang tantrum saat merebut colokan itu dari Hikazu.
Sementara di pojokan Nichioro, Goro dan Ayaka hanya menonton pertunjukan gratis itu sambil memakan popcorn dan roti yang terletak berjejer di atas meja bersama makanan lainnya. Perkelahian Hikazu dan Kataia menjadi pertunjukan yang cukup menarik untuk di tonton saat cuacanya cukup dingin seperti ini.
"Ahhhh!! Berikan! Dasar orang aneh!" Kataia melompat-lompat dan berjinjit untuk berusaha mendapatkan colokan itu.
"Memangnya kamu siapa, si pemboros~?" Goda Hikazu dengan nada jahil saat melihat raut wajah Kataia yang jengkel dengannya.
Mata Ayaka tajam menatap Kataia yang sedang berkelahi dengan Hikazu, matanya terlihat menyipit memperhatikan Kataia sambil menahan sepotong roti di giginya. Ayaka menggeser kursinya dan bibirnya sangat dekat dengan telinga Goro.
"Siapa wanita itu? Aku tidak pernah melihatnya."
"Namanya Kataia, anggota tim baru kita sekaligus anggota baru tim penyelidikan kita." Jelas Goro yang masih sibuk menyantap keripik kentang di dalam plastik.
"Apa? Kamu yakin dia anggota baru tim penyelidikan kita? Apa Azari sudah mengkonfirmasi nya?" Ayaka menatap Goro tidak yakin, bibirnya manyun sangat dekat di wajah Goro. Goro pun hanya mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya.
Tiba-tiba saja Kataia datang menghampiri Goro dengan dagu yang berkerut. Kakinya melangkah dengan keras bagaikan raksasa yang marah. Tangan Kataia yang di tutupi sarung tangan hitam menggoyang-goyangkan keras lengan Goro.
"Goro... Liat orang gila itu. Dia melarang ku menggunakan kipas." Ucap Kataia mengadu, dia melirik tajam Hikazu yang masih mengejeknya.
"Tenanglah Kataia, dia hanya bercanda dan akan memberikan kipas mu kembali."
Goro menoleh lembut ke arah Hikazu, menatap pria tinggi dengan coat hitam itu mengulurkan lidahnya mengolok-olok Kataia sambil memutar-mutar colokan yang dia dapatkan.
"Hei, hei.. Biarkan dia mendapatkannya, wanita itu donatur sekaligus investor perusahaan kita. Bisa dikatakan dia membiayai sebagian upah dan fasilitas perusahaan. Kamu bisa sedikit bersikap ramah tidak?" Bisik Nichioro yang tiba-tiba datang dan berbisik di telinga Hikazu.
Lengannya bersandar di bahu Hikazu, bibir Nichioro sangat dekat di telinganya. Saat mendengar yang Nichioro katakan Hikazu terlihat kurang yakin. Dia menoleh meminta penjelasan lebih lanjut.
"Apa?" Bisik Hikazu mengerutkan kening.
Lengan Nichioro yang awalnya berasa di bahu Hikazu berpindah tempat merangkul lehernya, dia tersenyum lebar ke Kataia sebelum menarik tengkuk Hikazu untuk berbalik ke pojokan ruangan. Diskusi kecil yang rahasia.
"Apa maksud mu donatur dan investor?" Hikazu terlihat ragu, itu tergambar jelas di keningnya yang mengerut. Dia berbisik pelan.
"Donatur,investor.Ya, itu. Kamu tidak tau? Hal seperti itu saja kamu masih bertanya?"
Nichioro mengangkat sedikit bahu kekarnya, masih merangkul tengkuk Hikazu yang lebih tinggi darinya. Kening Hikazu kembali mengerut.
"Tidak, maksudku. Kalau begitu kenapa dia ada di sini bersama kita yang hanya karyawan kecil? Kalian pasti bercanda." Suara Hikazu hampir tenggelam dalam bisikan percakapan mereka.
Keduanya hampir bersamaan melirik Kataia yang di belakang. Wanita itu terlihat cemberut duduk di sebelah Goro dan Ayaka seperti anak kecil. Lalu Hikazu dan Nichioro kembali bertatapan.
"Investor? Donatur? Hm? Wanita cengeng itu? Direktur kita tidak sedang diguna-guna, kan?" Hikazu mengangkat kedua alis nya, menatap Nichioro dengan serius.
Kepala Hikazu semakin tertarik ke dalam rangkulan Nichioro, tenggelam dalam ketiaknya. Nichioro berbisik semakin pelan disetiap kata yang dia katakan.
"Walaupun begitu dia memang seorang yang penting di sini sekarang. Kamu tau? Kataia itu presiden perusahaan Gorne."
Mata Hikazu terbelalak, dia menutup mulutnya yang menganga tidak percaya. Sekali lagi Hikazu menoleh sekilas kebelakang untuk memastikan bahwa wanita cengeng itu benar seorang presiden suatu perusahaan besar atau tidak.
"Tidak mungkin.."
Dengan pelan Nichioro menepuk pundak Hikazu sebelum pergi duduk bersama Kataia dan yang lainnya. Hikazu pun seakan tertegun, dia mencolok kembali colokan itu ke sumber listrik. Angin dari kipas meja kembali berhembus, membuat wanita cengeng itu kembali bersemangat duduk di kursi kerjanya.
"Yeyyyyy!!!" Serunya.
Dengan canggung Hikazu ikut bergabung bersama mereka dengan tenang. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, begitupun rekan yang lain.
"Kataia Otako."
Dari balik hembusan angin kipas, Kataia tersenyum lembut mengulurkan tangannya pada Hikazu. Semuanya tertegun, mereka menatap Hikazu yang kebingungan dengan perkenalan tiba-tiba itu. Sesaat Hikazu terlihat ragu dengan tangan Kataia yang berbalut sarung tangan hitam. Tapi pada akhirnya tidak ada alasan untuk menghentikan itu.
"Nakamura Hikazu."
Hikazu membalas kembali jabatan Kataia sambil tersenyum tipis. Pupil mata mereka tenggelam beberapa saat. Terasa menghangatkan satu sama lain sebelum keduanya tersadar bahwa tangan mereka telah cukup lama berjabatan.
"Ah.. Maaf." Mereka menarik kembali tangan satu sama lain secara bersamaan. Terjadi suasana canggung diantara Hikazu dan Kataia.
"Ayo, ayo. Ayaka punya banyak makanan untuk kita." Goro menggeser kursi kerja Hikazu yang beroda ke dekatnya. Lalu merangkul pundak pria coat hitaam itu.
"Benar, kita tidak akan bisa mencapai hasil pekerjaan yang maximal jika perut kosong. Ayo makan..."
Semuanya berlalu dengan lancar sejauh ini. Mereka bercanda gurau bersama, menikmati makanan yang telah dibeli Hikazu dan Ayaka sebelum mereka kembali ke kantor dari perjalanan mereka mengerjakan 'pekerjaan lain'.
Setelah beberapa lama tak terasa makanan yang terletak di dekat mereka hampir habis, bahkan habis. Perut karet Nichioro yang masih kelaparan memicu indra ke-enam nya yang berfungsi untuk mendeteksi makanan menjadi bekerja. Dia pun berhasil menemukan satu plastik makanan yang terletak di atas meja kerja Ayaka.
"WOAAHH!! Mochi! Takoyaki! Kue tart!" Seru Nichioro yang menggeledah satu persatu kotak di dalam plastik.
"Nichioro! Kembalikan itu ketempat nya, Itu untuk Azari!" Celetuk Ayaka kesal sambil melempar sepatunya ke Nichioro. Untungnya Nichioro berhasil mengelak.
"Tidak mau! Kamu memberikannya pada Azari tapi tidak pada kami. Ini kue tart dan takoyaki kesukaan ku."
Terjadilah kejar-kejaran diantara mereka berdua di dalam ruangan. Nichioro membawa lari sejumlah kotak makanan itu sambil tersenyum puas memakannya. Azari pun mengejar Nichioro, berusaha mengambil kembali makanan yang di bawa kabur oleh Nichioro.
"Nichioro!!!! Kembalikan!" Teriak Ayaka mengejar Nichioro dengan sejumlah keterampilannya yang lincah melompat diruang terbatas itu.
Sementara kejadian itu terjadi salah satu AC tiba-tiba mati. Itu membuat suhu ruangan yang tadinya sangat dingin menjadi turun, hanya turun sangat sedikit. Tapi Kataia sangat cepat menyadarinya, dia tau kalau Hikazu lah dalang dari matinya AC itu.
"Goro... Lihatlah Hikazu, dia mematikan AC nya kali ini.." Rengek Kataia yang tantrum seperti sebelumnya.
Hikazu terdiam menatap sikap Kataia, sangat bingung dan linglung. Kebingungan dengan Kataia sangat peka dengan suhu yang bahkan turun sangat sedikit.
"Aaa..." Gumam Hikazu datar.
"Sepertinya aku tidak bisa hidup dengan makhluk pemboros ini."
Keributan dari dua sisi terjadi, Nichioro dan Ayakaa; lalu kemudian diantara Kataia dan Hikazu terjadi secara bersamaan. Padahal jumlah mereka tidaklah terlalu banyak, tapi kericuhan ini sangatlah berlebihan dari jumlah mereka.
Goro~ "Sepertinya hanya aku yang waras di sini." Goro menyeruput kopi panasnya sambil duduk tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments