Kaki jenjang yang mulus dan putih bagaikan kertas keluar dari pintu mobil mewah dengan tergesa-gesa. Wanita itu dengan cepat berlari ke dalam lobi hotel dengan berlinang air mata. Dia menghampiri seorang resepsionis wanita yang sedang terlihat sibuk berbicara dengan orang yang ada di seberang panggilannya.
"Permisi.. Permisi." Lirih wanita itu masih berlinang air mata mencari perhatian sang resepsionis.
Tapi resepsionis wanita itu mengacuhkannya, digantikan oleh seorang resepsionis pria yang terlihat ramah menyambutnya di meja resepsionis. Resepsionis pria itu menjadi khawatir saat melihat air matanya yang terus berlinang deras.
"Selamat datang nona, apa ada yang bisa kami bantu?"
"Saya Kataia otako. Kamar atas nama Halbert Izanagi dimana?" Wanita itu menyeka sedikit air mata yang menetes di bawah dagunya.
"Apa anda datang sebagai pengunjung nona Otako?"
"Ya."
Resepsionis pria itu mengutak-atik komputer nya sambil sesekali melirik Kataia yang terlihat gelisah. Tangannya dengan lincah menggeser dan menekan kontrol yang ada di keyboard komputer, sebelum pada akhirnya menemukan nama yang sebelumnya Kataia ajukan.
"Tuan Halbert Izanagi ada di kamar nomor 281 di lantai 8, nona. Apa perlu saya antarkan?"
"Tidak perlu."
Dengan kecepatan penuh Kataia pergi ke lift yang ada sisi ruangan, di susul oleh Zean yang tergesa-gesa juga mengikutinya pada lift berikutnya. Beberapa orang terlihat memperhatikan Kataia dan Zean yang berlari di lobi. Mereka juga meninggalkan kebingungan pada resepsionis pria yang melayani Kataia tadi.
Setelah beberapa lama menaiki lift selanjutnya dan sedikit berlari, Zean berhasil menyusul Kataia yang sekarang berdiri di depan sebuah pintu kamar hotel. Mata Kataia memerah dengan air mata yang terus berlinang, tangannya mengepal kuat dengan kebencian teredam di dalamnya.
"Nona.." Zean menyentuh pundak Kataia yang terasa tegang.
"Dobrak."
Perintah singkat itu langsung di laksanakan, tidak ada istilah ragu dalam hidup Zean saat Kataia memberi perintah. Tanpa banyak bicara dan berpikir Zean mendobrak pintu kamar hotel itu dengan kuat hingga hancur dan terbuka lebar.
Kataia pun segera masuk ke dalam kamar hotel itu. Saat melihat ke dalam, tubuh Kataia menjadi lemas di depan Zean. Betapa hancurnya hati Kataia melihat sosok pria dan wanita yang tanpa busana tertidur nyenyak bersama di bawah selimut.
"Halbert..." Lirih Kataia dengan tatapan kosong yang berlinang air mata.
Merasakan kehadiran Kataia, pria dan wanita itu sangat terkejut. Mereka terduduk di atas kasur sambil menutupi lebih erat tubuhnya dengan selimut. Kaki Kataia melangkah mundur dengan tertatih-tatih melewati Zean yang ada di belakang. Tatapannya kosong, kecewa dengan apa yang dia lihat, wajahnya memerah karena kebencian.
"Kataia! Tunggu! Astaga!"
Sosok pria yang ada di bawah selimut meraih handuk yang tergeletak di samping kasur dan mengenakannya dari bawah selimut. Dia terlihat gelisah saat melihat tatapan kosong dari Kataia dan Zean yang lekat menatap mereka.
"Kataia! Maaf, bisa aku jelaskan! Sayang.. Dengarkan aku!"
Kataia telah sampai di depan pintu, tangannya meraih gelas bekas wine yang terletak pada lemari di dekat pintu.
"Apa yang bisa kamu jelaskan?" Tatapan dan nada bicara Kataia yang kosong dan datar.
Gelas yang ada ditangan Kataia di pukul cukup keras ke tembok hingga permukaannya pecah dengan ujung yang lancip. Halbert ketakutan, dia menghampiri Kataia dengan panik dan tergesa-gesa.
"Sayang.. Ini bukan seperti yang kamu kira. Dengarkan aku dulu."
Halbert ragu untuk maju menghadapi Kataia yang sudah siap dengan senjata barunya. Sebuah gelas wine yang siap menusuk dengan puncaknya yang lancip karena kebencian. Dengan langkah yang lancar, Kataia melewati Halbert dan Zean yang ada di depannya.
"Kataia, berhenti!" Teriak Halbert saat dia berbalik ke belakang dimana langkahnya berhenti.
Betapa terkejutnya Halbert saat melihat Kataia sudah menjambak rambut 'pelacurnya' itu.
"Orang gila! Halbert tolong aku!"
"Kamu yang gila.."
"KATAIA!" Bentak Halbert panik mendekat ke arahnya.
"Pelacur.. Apakah kemaluan mu sangat gatal sehingga bersetubuh dengan pacar orang lain? Hm? Bagaimana jika kepala mu ini menjadi hadiah penebusan dari Halbert untuk ku atas perselingkuhannya?"
Seringai lega yang sungguh tidak bisa diartikan. Matanya memancarkan kepuasan yang hakiki ketika ujung dari gelas wine itu berada di leher sang 'pelacur'. Kesedihan yang lalu seakan tidak ada lagi, hanya ada kepuasan atas penyiksaan saat gelas wine mulai menggores langsung kulit lembut orang itu.
"'Maaf, maaf, tolong lepaskan aku... Aku minta maaf... Lepaskan aku... Halbert yang salah... Dia yang mengajak ku untuk selingkuh... Nona... maafkan aku..."
Tangis wanita yang ada di bawah selimut itu pecah saat tangannya yang satu berusaha mempertahankan leher yang siap di gorok oleh Kataia. Halbert memberanikan diri untuk maju, tangannya menangkap erat lengan Kataia yang memegang gelas wine.
"Jangan bersikap gila Kataia!" Celetuk Halbert dengan wajah merah yang membara karena keterkejutan, dia menjauhkan tangan Kataia yang menggenggam gelas wine itu dari leher 'pelacurnya'.
"Salah sendiri mencari pacar gila seperti ku..." Seringai puas berpindah menatap Halbert.
Halbert sangat ketakutan melihat perubahan emosi Kataia yang tiba-tiba. Walaupun matanya melancarkan amarah, tapi kenyataannya Halbert sangat ketakutan di dalam hati. Tubuh Halbert merinding hingga menusuk tulang rusuknya saat tangannya mulai gemetar menahan tangan Kataia.
"Kataia.. Sayang.. Dengarkan aku dulu, aku bisa jelaskan. Ini hanyalah kesalahan pahaman." Nada bicara Halbert melembut, dia perlahan membuka jari-jari tangan Kataia dari gelas wine yang dipegang.
"Aku mendengarkan. Jadi omong kosong apa yang ingin kamu jelaskan padaku?"
Halbert terdiam, dia menunduk kebawah. Katanya tersendat, tidak ada kata yang keluar setelah beberapa saat. Tatapannya teralihkan pada Zean yang tidak lagi mengawasi mereka, dia berada di luar untuk menghadang para tamu hotel yang heboh karena keributan yang dibuat oleh mereka.
"Aku.. minta maaf... aku memang bajingan! Bisa-bisanya aku tergoda dengan pelacur itu. Maafkan aku sayang... Aku telah mengecewakan mu lagi..." Ucap Halbert kembali menunduk dengan sedih.
Air mata Kataia seketika runtuh dalam tatapan datarnya di mata Halbert. Melihat kerapuhan Kataia, Halbert memeluknya di dada. Tangan lebar Halbert mengelus-elus pelan punggung Kataia.
"Apa kamu bilang? Aku pelacur?!!" Protes sang wanita masih dalam genggaman tangan Kataia.
"Diam!" Bentak Halbert.
Tangan Halbert seketika menjadi ringan, dia menampar pipi wanita selingkuhannya dengan keras sampai memerah. Kataia dan wanita tadi berlinang. Air mata dua
orang wanita menetes ke atas kasur karena ulah seorang pria brengsek
yang nampaknya tidak ada rasa sesal setelah menampar seorang wanita.
“Halbert kamu bajingan!” Bentak wanita tadi dengan lantang.
“Diam kamu Ona! Dasar penggoda! Kamu yang membuatku seperti ini!” Balas Halbert tidak kalah nyaring hingga
menarik perhatian lebih banyak tamu hotel didepan kamar.
Ditengah air matanya yang berlinang, Kataia tersenyum miris. Gelas wine sebelumnya terlempar ke lantai hingga pecah berkeping-keping saat dia menepis tangan Halbert. Suasana menjadi semakin kacau,
Halbert menarik paksa Ona yang tanpa busana dari balik selimut. Ona sesenggukan
dan memberontak dari Halbert, tapi sayang tenaganya tidak sebanding dengan Halbert.
“Kamu mau pergi sendiri sekarang atau aku yang harus menyeret dan mempermalukan mu di depan orang-orang di luar sana?!” Amarah terpancar jelas dari wajah Halbert yang memerah saat mencengkram kasar tangan Ona.
“Kamu benar-benar bajingan sebajingan nya. Lebih bejat seperti anjing daripada seekor anjing!” Ona mengerahkan semua tenaga nya menepis cengkraman Halbert.
Tangisnya pecah saat mengambil dan mengenalkan sebuah baju terusan abu-abu yang dilipat rapi di atas nakas. Ona berlari keluar, meninggalkan Halbert dan Kataia yang berlinang tanpa suara di atas kasur. Amarah Halbert seketika hilang saat berbalik dan menghampiri Kataia. Suaranya menjadi lembut penuh kasih sayang.
“Kataia.. Sayang… Kamu marah padaku?” Halbert perlahan mendekat, suaranya sangat halus seperti kapas, tapi tidak ada jawaban dari Kataia.
Halbert menghela nafas berat saat tidak ada respon dari Kataia. Dia menarik punggung Kataia, memeluknya dengan lembut di dada. Seketika itu juga tangis Kataia pecah, menangis sesenggukan dalam pelukan Halbert.
"Kamu bajingan Halbert! Kamu mengecewakan ku." Bentak Kataia yang menangis sesenggukan di dalam pelukan Halbert.
"Ya, sayang.Ya, aku bajingan. Aku adalah orang yang paling jahat, bejat! Pria yang hina. Maafkan aku, aku khilaf digoda pelacur itu. Maaf.. Maafkan aku sayang... Aku berjanji tidak akan mengulanginya."
Pelukan Halbert terasa hangat, telapak tangannya yang kekar dan hangat mengelus-elus lembut punggung Kataia. Dia membekap Kataia di dada, mengecup lembut pucuk kepala wanita yang terisak itu hingga sedikit tenang.
Zean yang berada di luar kamar mendengarkan percakapan sedari tadi. Ketika mendengar suara Kataia terisak, Zean melirik penasaran ke dalam kamar dari ambang pintu. Matanya berkedip cepat beberapa kali, ekspresi nya kebingungan. Tidak ada apapun yang dapat Zean lakukan sekarang.
"Aku janji. Sungguh, aku minta maaf... Apa kamu mau memaafkan ku?" Halbert masih menempelkan bibirnya di pucuk kepala Kataia dengan lembut.
Masih terisak Kataia mengangguk pelan. Tangan dengan sarung tangan hitam kain menyeka sedikit air mata yang tersisa di pipi. Kataia mengacungkan jari kelingking nya, menuntut pemateraian sederhana dari janji Halbert.
"Janji?" Mata coklatnya menatap lembut Halbert.
"Iya sayang, aku janji." Halbert menautkan jari kelingking di jari Kataia.
Setelah kejadian 'kecil' itu berlalu, Kataia dan Zean kembali ke dalam mobil mereka yang terparkir di halaman hotel. Kataia duduk di kursi penumpang di belakang sambil mengusap-usap matanya dengan tisu.
"Zean, cairan apa yang kamu berikan tadi? Mata ku sangat pedih dan tidak bisa berhenti berair." Kataia masih mengusap-usap matanya yang sekarang sangat merah.
Sebelum menjawab Zean cengengesan melirik Kataia dari kaca di tengah dasboard. Tangannya mulai menyalakan mobil dan mengemudi keluar dari hotel menuju ke jalanan ramai kota Tokyo. Hati Zean gugup hendak menjawab Kataia.
"Hehe... Ehm.. Itu.. sepertinya cairan antiseptik, nona." Ucap Zean di sela-sela berdehem.
"Aduh bagus sekali, kamu sangat pintar Zean, mata ku sangat pedih sampai ingin menangis lagi. Bagaimana kalau aku nanti buta? Apa kamu juga mau buta bersama ku? Menjadi teman sehati dan sejiwa dan buta bersama?" Nada bicara Kataia datar penuh sarkasme menyahut Zean.
"Tidak nona. Saya jamin anda tidak akan. Buktinya anda baik-baik saja hingga sekarang."
Seringai lebar dan tawa Zean lepas di mobil sambil memutar-mutar kemudi mobil di tengah padatnya jalanan. Suasana menjadi hening sebentar saat kedua orang itu sibuk dengan kegiatannya. Kataia masih berusaha membasuh matanya dengan air dan tisu sementara Zean mengemudikan mobil ke suatu tempat.
"Nona. Apa tadi anda benar-benar menangis? Itu membuat saya terkejut."
"Dasar bodoh. Air mata ku mengalir deras karena mata ku pedih. Itu semua berkat ide mu yang sangat pintar dan cemerlang itu." Celetuk Kataia.
"Baiklah nona, siap salah. Tapi itu tadi sangat hebat. Saya sampai terkecoh tadi." Ada kekaguman di mata Zean. Sesekali dia melirik pada Kataia yang tidak menyahut dari kaca spion di tengah sambil tersenyum tipis.
Saat mereka melewati persimpangan, Zean mengambil sebuah amplop hitam dengan stamp merah dari penyimpanan dashboard mobil. Dia menyelipkan surat itu diantara jari telunjuk dan tengahnya, mengopernya pada Kataia yang sibuk di belakang.
"Ada surat baru, nona. Apa anda akan mengerjakannya sekarang atau besok? Tenggat waktunya lusa."
Kataia mengambil suratnya, merobek stamp lilin berwarna merah yang ada pada amplop hitam itu. Di dalam hanya ada selembar surat yang cukup singkat namun berhasil membuat Kataia menyeringai puas.
"Nanti saja."
"Lalu bagaimana dengan tugas yang sebelumnya, nona? Tenggat waktunya sudah lewat beberapa bulan. Tidak, tepatnya hampir setengah tahun anda belum menuntaskan tugas itu."
"Apa kakek daster hitam yang menyuruhmu untuk bertanya?" Kataia menatap sinis pada kaca tengah mobil yang menjadi tempat Zean menatap Kataia.
Mata Zean melirik tatapan tajam Kataia yang terpantul pada kaca spion. Zean mengangguk sambil meneguk pelan liurnya. Tanpa terduga Kataia sudah memegang sebuah pistol yang mengkilat entah dari mana datangnya, tangannya telaten mengelap setiap noda-noda dengan sebuah kain kecil.
"Memangnya kenapa? Aku sedang menikmati pekerjaan ku dengan cara ku sendiri..." Balas Kataia dengan nada main-main sambil memperhatikan dengan teliti noda sidik jari pada pistolnya yang mengkilat itu.
"Baik, nona. Apapun yang anda mau. Tapi.."
Zean bergumam dengan ragu. Dia masih melirik gelisah ke arah Kataia yang di belakang melalui kaca spionnya. Tentu saja Kataia sangat menyadari tatapan Zean itu, dia mepelototi nya dengan tatapan tajam yang kesal.
"Kenapa?"
"Itu.. Itu microfiber kacamata saya." Zean mengigit bibir bawahnya dengan canggung.
"Oh, ya, maaf." Sontak Kataia tersentak dengan wajah datar dan mengembalikannya ke tempat semula.
Di suatu tempat yang ramai sosok Hikazu menjadi pusat perhatian di jalan saat dia sedang mengangkut barang di gudang sebuah restauran. Baju sederhana ternyata tidak mengurangi sedikitpun karisma nya yang kelewatan akal. Rambut coklat yang sedikit panjang terjepit diantara kepala dan topi nya.
"Wahh.. Liat staf itu, tampan sekali. Aku mau berfoto dan meminta nomornya." Ucap salah seorang pelajar yang lewat pada temannya.
"Ayo, ayo. Aku juga mau."
Ketiga pelajar itu menghampiri Hikazu yang terlihat berkeringat setelah selesai mengangkat beberapa kotak barang dari gudang restoran. Mereka begitu terpesona dengan kharisma nya. Antusias yang sangat besar, membuat beberapa orang sekitar ikut memperhatikan.
"Kak, kak. Kakak tampan sekali.. Apa kami boleh mengambil foto bersama mu?" Semringah terlihat jelas di wajah ketiga pelajar itu.
"Hahaha.. boleh saja. Tapi hanya sebentar ya? Kakak masih punya beberapa pekerjaan lagi di dalam." Hikazu tersenyum ramah menyambut mereka yang langsung menyalakan kamera selfie nya.
Tanpa membuang banyak waktu beberapa gadis pelajar itu berswafoto bersama Hikazu dengan beberapa pose klasik pada umumnya. Betapa senang nya mereka setelah mendapatkan beberapa foto bersama Hikazu. Selfie itu langsung mereka post dengan caption 'Kakak tampan di restoran xx ingin menikahi ku'.
Tentu saja Hikazu sempat melihat layar handphone salah satu gadis pelajar itu. Dia hampir tertawa melihatnya, tapi tetap tenang menjaga untuk kharisma.
"Kak, apa boleh minta nomor mu? Kita bisa saling chatingan nanti." Ucap salah seorang pelajar tanpa banyak basa-basi menyerahkan ponsel nya.
"Tentu saja. Kenapa tidak?"
Dia akan menjadi sasaran empuk
Senyuman lebar terpancar jelas di wajah Hikazu sementara tangannya menekan angka-angka yang ada di layar ponsel gadis pelajar itu. Tapi ketika seorang pria berjas keluar dari sebuah mobil, mata Hikazu sempat mengikuti pergerakan nya sebentar.
"Ah, ini. Jangan lupa hubungi aku nanti ya.." Ucap Hikazu dengan nada yang genit.
"Baik, terima kasih.."
"Kak, menikahlah dengan ku! Ayahku seorang pemilik perusahaan, aku bisa membiayai kamu supaya tidak berkerja seperti ini lagi." Seru pelajar lain yang blak-blakan tanpa ada rasa malu.
Mendengar itu Hikazu merasa terhina, dalam hati dia merasa jengkel dengan kata-kata itu. Namun lagi-lagi demi menjaga 'kharisma' nya, Hikazu hanya tersenyum canggung sebagai respon. Setelah itu Hikazu berbalik dan ingin melanjutkan pekerjaannya.
"Kak! Ayolah, menikahlah dengan ku!" Ucapnya kembali.
Tanpa terduga dia sangat bersikukuh sampai meraih tangan Hikazu, teman-teman nya pun tercengang dan mencoba untuk menarik kembali teman mereka yang ngebet nikah itu. Hikazu tersenyum lembut menatap nya dengan sabar.
"Gadis kecil.. Kamu masih duduk di bangku sekolah, kan? Lebih baik kamu belajar dengan sungguh-sungguh dulu baru memikirkan pernikahan. Jangan mengharapkan kakak.. Kakak sudah memiliki istri di rumah." Tangan besar Hikazu yang lembut menyentuh pucuk kepalanya.
Pernyataan Hikazu itu membuat ketiga pelajar seakan disambar gledek di siang bolong yang cerah. Mereka langsung murung dan hilang harapan, hatinya pecak berkeping-keping. Sungguh tidak menyangka akan hal itu.
"Kak! Kakak benar-benar sudah menikah? Dengan usia yang semuda ini?!" Pelajar yang lain menyelidiki dengan hati yang sudah pecah harapan.
Hikazu mengangguk sambil tersenyum lembut. "Lebih tepatnya perjodohan, kami sudah diatur untuk menikah dan itu tidak bisa dibatalkan."
"Kalau begitu aku bersedia menjadi selingkuhan mu kak!" Ucap gadis pelajar yang mengajak Hikazu menikah tadi dengan mata yang berkaca-kaca.
Hikazu terkekeh sambil menggelengkan kepalanya dengan pelan. Sangat terkejut dengan tekad gadis pelajar itu yang ingin menikah dengannya.
"Mungkin dia akan membunuh mu jika dia mendengar nya." Hikazu terkekeh.
Ketiga gadis pelajar itu seakan putus harapan. Akhirnya mereka memutuskan pergi dengan rasa patah hati yang mendalam dan kekecewaan yang menyambar. Hikazu terdiam sebentar mengamati punggung mereka yang perlahan menjauh.
Tak lama seorang pria berjas yang dia perhatikan tadi datang dan menepuk pundaknya dari belakang. Hikazu tersentak dan berbalik menatapnya sambil sedikit menunduk. Mata Hikazu menyipit melihat papan nama yang tertempel di jas nya.
"Ah, ada apa tuan Osaka? Ada yang perlu saya bantu? Atau mungkin ada barang yang bisa saya angkut lagi?"
"Hahaha.. tidak, tidak. Aku hanya memperhatikan kamu sangat populer diantara para gadis pelajar. Bagaimana jika kamu menjadi model restoran ku yang lain untuk menarik pelanggan? Sangat disayangkan jika ketampanan mu terbuang sia-sia di gudang berdebu ini."
Tuan Osaka tersenyum ramah merangkul tengkuk Hikazu. Dia terlihat kesusahan untuk merangkul Hikazu yang lebih tinggi darinya, hingga membuat Hikazu sedikit menunduk untuk menghargai keramahannya.
"Emg.. Terima kasih tuan. Tapi maaf, saya sudah punya perkerjaan utama lainnya dan ini hanya perkerjaan sampingan. Takutnya... saya akan kesulitan mengatur waktu kerja saya." Ucap Hikazu nada sopan yang terdengar canggung.
"Oh, benarkan? Wahh... Sayang sekali kalau begitu. Padahal restoran ku itu mencari model pria baru untuk menarik minat pelanggan dengan yang lainnya. Baiklah, baiklah, tidak apa-apa."
Belum selesai..
Tuan Osaka terlihat tersenyum kecewa dan tidak senang dengan penolakan Hikazu. Raut wajahnya seketika berubah, dia melepaskan rangkulan yang ada tengkuk Hikazu dan berjalan dengan tergesa-gesa.
"Lanjutkan saja pekerjaan mu."
Saat pria paruh baya belum terlalu jauh pergi, Hikazu mengejarnya dan berdiri tepat di depannya. Membuat langkah tuan Osaka terhenti dengan Hikazu di depan menghadang jalan.
"Ah, tuan. Saya punya surat dan hadiah dari manager utama untuk anda. Tapi saya lupa meletakkannya dimana, ada di dalam truk. Apa anda mau menemani saya mencarinya, tuan?"
"Manager utama?" Dia menatap wajah tulus dan polos Hikazu sekali lagi dengan teliti.
"Ya, dari tuan Khiosi. Ehmn... Saya akan mencarinya ke truk."
Hikazu berlari kecil menuju ke truk pengangkut yang terparkir di pinggir jalan. Langkahnya tertatih-tatih dengan tergesa-gesa. Truk nya sangat gelap, besar dan masih ada beberapa kotak barang yang tersisa di sana. Saat Hikazu masih mencari sesuatu di dalam truk, tuan Osaka mengikutinya sampai di ambang pintu kontainer truk.
"Ugghh.... Tuan, saya menemukannya. Ini sangat berat...!" Erang Hikazu yang terlihat kesulitan mengangkat sebuah kotak coklat yang sangat besar dari tubuhnya.
Kotak yang besar itu membuat mata tuan Osaka terbelalak. Matanya seketika berbinar melihat hadiah yang sangat besar disediakan oleh manager utama mereka untuk nya. Dengan tergesa-gesa dia menghampiri Hikazu sambil memegang sisi lain kotak itu.
"Ougghh... besar sekali. Manager utama sangat repot-repot membawakan ini untuk ku. Ayo anak muda, bawa. Ayo bawa." Tuan Osaka sangat senang dan bersemangat sekali menyentuh kotak besar itu.
Namun tiba-tiba pandangan tuan Osaka menggelap. Tubuhnya tumbang dan tergeletak tak berdaya di lantai kontainer. Terlihat dari kegelapan seorang wanita rambut panjang muncul bersama dengan balok kayu yang ada di belakang punggungnya. Dia menyeringai senang.
"Kamu tidak memukulnya dengan keras kan, Ayaka? Kita tidak ingin dia mati dan membuat tangan kita kotor." Tegas Hikazu yang langsung berdiri dan membuang topi kerjanya ke sembarang arah. Rautnya seketika menjadi datar.
"Tenang. Aku tau batasan ku. Sekarang kita sepertinya harus mengkhawatirkan wanita kaya di depan itu. Takutnya dia mabuk perjalanan." Ayaka terkekeh geli mendengar teriakan dari ruang kemudi yang ada di balik dinding kontainer.
"Itu resiko dia sendiri ingin mengikuti kita."
Teriakan kembali terdengar di ruang kemudi. Kataia histeris ketakutan melihat cara Nichioro yang mengemudikan truk kontainer itu di samping tebing dengan cara yang tidak masuk akal. Sementara Goro hanya tertawa melihat sikap Kataia sambil sesekali menggodanya.
"Gila! Gila! Nichioro! Pelan-pelan! Kamu tidak sayang nyawa?! Woy! pelan-pelan!" Seru Kataia berteriak histeris sambil mencengkram baju Goro di samping.
"Apanya? Lebay sekali. Ini hanyalah cara mengemudi yang aman untuk kabur dari pengejaran." Sahut Nichioro yang tidak mau kalah, dia tetap tenang mengemudikan truk kontainer itu dengan ugal-ugalan.
"Apa kamu mabuk perjalanan Kataia? Kita bisa berhenti sebentar jika kamu ingin muntah." Goro tersenyum tipis tanda mengejek, nada nya mengandung sarkasme.
"Bajingan kalian berdua! Bagaimana kalau kita jatuh dari tebing karena cara menyetir mu yang ugal-ugalan ini?!"
"Ya, mati." Ucap Nichioro dan Goro bersamaan dengan senyum tipis yang mengerikan.
Kataia semakin erat memegang baju keduanya. Dia tidak henti-hentinya berkeringat. Truk kontainer itu bergoyang ke kiri dan kekanan, Nichioro ugal-ugalan membawa truk itu melaju cepat.
"Pelan-pelan!" Teriak Kataia masih terlihat panik.
"Tenang saja, Kataia."
Goro memberikan sebotol air mineral padanya. Namun Kataia mengabaikannya, boro-boro lebih tenang, Kataia malah lebih dominan histeris melihat jalanan yang seakan terasa berputar-putar sekarang.
"Aku lebih baik naik mobil yang di kejar-kejar oleh peluru!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments