Episode 7

Di pagi buta yang sejuk menerpa kota. Rumah sakit terlihat sepi dari biasanya karena hampir seluruh pasien menghangatkan diri di dalam. Seorang pria tinggi membuka pelan ruangan pasien yang sepi, membuat wanita yang bersandar di bangsal itu melirik nya dengan cepat namun tenang.

"Apa yang kamu bawa kali ini untuk ku, Hikazu? Sebuah black card?" Matanya diam-diam berbinar dibalik lirikan kecil pada Hikazu yang seperti biasa mengenakan coat hitam hangatnya.

"Jangan mengada-ada. Urus saja kaki mu itu, belum sembuh masih saja memikirkan uang." Sambil berdecak kesal Hikazu meletakkan sekeranjang buah dan duduk di kursi samping dengan tenang.

"Karena uang bisa membeli segalanya, itulah mengapa aku suka uang. Kamu juga suka uang, kan?"

"Berhenti Azari, sebelum aku memukul kaki mu itu." Ucap Hikazu dengan tangan yang siap melayang ke kaki Azari yang dibalut gips di atas bangsal.

Azari tertawa lebar dengan bibir tipis yang pucat nya. Ada sedikit rasa jengkel dalam hati Hikazu saat Azari menggodanya seperti itu. Tapi jauh di hatinya yang paling dalam, Hikazu sangat menyayangi dan menghargai Azari sebagai rekan sekaligus keluarganya. Walaupun mereka pada awalnya juga adalah orang asing yang tidak mengenal satu sama lain.

Entah kerasukan apa, Hikazu yang tenggelam dalam lamunan nya mengupas sebuah apel tanpa sadar. Potongan demi potongan apel jatuh di atas piring kecil yang sudah berada di bawah tangannya, baru itulah Hikazu tersadar kalau dia telah cukup lama tenggelam dalam lamunan.

"Ah, ini. Untuk mu." Dengan canggung Hikazu membuat dirinya seperti seolah-olah sengaja mengupas apel itu untuk Azari.

Sambil memakan potongan apel, Azari masih melirik Hikazu, memberikan tatapan menyelidik namun tenang. Hanya ada keheningan sesaat diantara mereka hingga Azari pada akhirnya menyadari ada sebuah benda putih besar menempel pada wajah Hikazu.

"Pipi mu kenapa?"

"Kelalaian kecil, seperti biasa."

"Tidak ada kelalaian kecil di kamus mu. Pasti ada sesuatu." Tebak Azari dengan tatapan menyelidik. Dia mencondongkan sedikit badannya, memperhatikan sangat dekat plaster luka itu hingga membuat Hikazu kebingungan.

"Ada apa dengan mu? Aneh sekali, berhenti menatap ku seperti itu!" Hikazu berdecak kesal mendorong pelan dahi Azari.

"Ayolah, katakan padaku~" Senyum jahilnya mengembang sambil menyeruput sedikit demi sedikit air putihnya.

"Aku hanya sedikit bingung. Tidak, maksudku sangat bingung."

"Kataia lagi? Kamu selalu saja membawa topik itu saat kemari. Benar, kan?"

Bisa di bilang tebakan Azari itu benar, Hikazu mengangkat sedikit kepalanya menatap Azari yang sedang menyeruput santai air putih di dalam gelas. Sambil melamun Hikazu mengangguk pelan mengiyakan tebakan Azari yang tepat sasaran.

"Sudah aku duga."

"Awalnya aku kira Kataia itu hanya akan menjadi mainan mu di tim. Itu karena aku melihat dia yang terlalu cengeng saat kami pertama kali bertemu. Ternyata di luar ekspektasi, itu hanya gimik nya." Nafas berat Hikazu mengembun di udara yang dingin.

"Benar, kamu salah, salah besar, Hikazu. Seperti aku saat itu. Tapi setelah aku melihat langsung matanya, aku melihat sesuatu.."

Sesaat diantara mereka hening. Azari meletakkan gelas kosongnya di atas meja samping dan memperhatikan Hikazu sambil tersenyum tipis. Mata mereka bertemu, hangat dan lekat. Pupil mata Azari menatap dalam mata Hikazu.

"Sebuah kekejaman iblis yang tenang di dalam mata coklatnya. Aku pernah melihatnya sekali pada seseorang, tapi sepertinya aku sudah melupakan siapa orang itu. Mereka tenang di dalam sarang, tapi siap kapan saja untuk keluar. "

Hikazu hening mendengarkan perkataan Azari mencoba memproses setiap kata yang dikatakan nya. Entah perkataan Azari itu hanya perumpamaan atau memang kenyataan.

"Maksudnya?" Otak Hikazu berputar lima derajat memproses perkataan Azari yang membingungkan.

"Lihat saja sikap manusia itu. Aku bahkan 'wow' melihat temperamen emosinya yang sangat mudah berubah-ubah. Itu membuat ku terkejut. Bahkan dia lebih pandai melakukannya dari padamu." Celoteh Azari yang sepertinya berada diantara rasa bingung dan kesal.

Azari seakan mengomel, tapi tetap berada dalam batas bercandanya. Seperti biasa celotehan hangat Azari membuat Hikazu hampir tertawa mendengarnya. Tidak ada yang berbeda dari Azari.

"Yah.. Kamu benar." Sekuat tenaga Hikazu menahan tawa nya. Tapi sekeras apapun itu, Hikazu tidak akan dapat menahan senyum lebar mengembang di kedua sudut bibir merah mudanya.

"Tapi apa kamu tau? Dia melakukan ini pada sandera."

Entah sedari kapan Hikazu sudah beranjak dari tempatnya, memperagakan bagaimana cara Kataia mengancam sandera mereka waktu itu. Dia menjadikan kursi yang sebelumnya dia duduki sebagai sandera yang gemetar ketakutan. Azari pun memperhatikan setiap akting Hikazu yang sepertinya juga sangat cocok dengan peran Kataia.

"Nah, lihat, seperti ini. Jika aku tidak mendorongnya waktu itu, wah... mungkin sandera kami sudah mati di tangannya tanpa mendapatkan bukti apapun. Seharusnya kamu melihatnya waktu itu, dia terlihat tidak main-main dengan pisaunya."

"Kamu juga terlihat begitu." Sahut Azari. Jari mungil Azari mencubit dagunya sendiri sambil memperhatikan akting Hikazu dengan cermat.

"Tidak, tidak, aku berbeda. Jangan samakan aku dengan dia."

"Lalu bagaimana? Rencananya lancar?"

Pertanyaan itu membuat Hikazu langsung membeku dalam pose yang masih memerankan aksi Kataia. Dia terdiam, lalu tertunduk sedikit dan terduduk kembali di kursinya yang ada di samping bangsal.

"Bisa di bilang gagal, bisa juga di bilang berhasil."

"Ha?"

"Kami berhasil mendapatkan informasi di mana ketua komplotan nya sedang beroperasi.. Tapi..

"Itu bagus, lalu ada apa lagi dengan gagal nya?" Azari semakin menyelidiki gerak-gerik kecil Hikazu yang gelisah.

"Sandera melihat wajah Kataia, sebenarnya terdengar sepele..

Sebelum melanjutkan Hikazu menelan ludahnya, terlihat memelas dan menyedihkan merayu Azari. Sambil menyanggah pipinya di tangan pada bangsal Azari, Hikazu memajukan bibirnya, membuat ekspresi memelas seperti anak kecil.

...Tapi kalau sampai sandera menyelidiki lebih dalam informasi tentang Kataia, cepat atau lambat kami juga akan tertangkap."

"Lalu?" Azari merespon datar Hikazu dengan acuh tak acuh.

"Bagaimana?" Rayu Hikazu dengan wajah imutnya yang memelas.

Suara tawa Azari melengking di ruangan itu. Tangannya menepuk-nepuk pahanya sendiri, terlalu lucu baginya melihat kerapuhan Hikazu yang menyedihkan itu memelas. Masih tertawa, Azari menepuk-nepuk bahu Hikazu dengan nada yang mengejek.

"Pikirkan saja sendiri~"

.

.

.

"Mood Anda sangat mudah berubah-ubah ya nona. Tadi malam sangat ceria, sekarang anda malah terlihat kesal di pagi buta begini."

"Tenggorokan ku gatal, sepertinya ada yang membicarakan ku." Kataia sedikit berdehem.

Zean terkekeh di pantulan cermin yang mengarah pada Kataia yang berada di kursi belakang. Raut nya masam menatap atap mobil sambil berbaring santai di kursi belakang. Tidak ada jawaban dari Kataia selama beberapa saat, dia hanya diam dan terus tenggelam dalam lamunannya.

Langit masih gelap dan dingin. Sinar fajar pun baru mulai keluar dari cakrawala menyinari sedikit jembatan gantung yang besar dan panjang itu. Melihat begitu cemberutnya raut Kataia membuat Zean segan untuk mengajaknya bicara. Hanya ada keheningan saat mobil Kataia melintas di atas jembatan yang sepi.

"Kadang hidup bisa jadi membosankan ya, Zean."

Saat Kataia bersuara, Zean hanya melirik sebentar Kataia yang ada di belakang, tidak ada satupun jawaban darinya saat tangannya masih sibuk melajukan mobil di tengah keheningan. Begitulah Kataia, pikiran yang selalu sulit ditebak, membuat Zean selalu bungkam karena bingung harus menjawab apa dengan pertanyaannya.

"Rasanya aku ingin melompat saja dari jembatan besar ini. Kalau di pikir-pikir... Kalau aku jatuh dari atas jembatan ini, pemandangannya pasti bagus."

Punggung Zean langsung bergidik ngeri mendengar gumaman Kataia dan seringai tipis nya dari pantulan kaca spion. Tiba-tiba saja mobil yang mereka naiki perlahan melambat, Kataia yang merasakan itu langsung terduduk di tempat.

"Jangan bilang mobil kita habis bensin, Zean." Tatapan tajam sedikit menusuk Zean.

"T-tidak, nona. Bensin kita masih banyak." Jantung Zean mulai berpacu dengan tatapan tajam Kataia yang tiba-tiba.

"Lalu kenapa kamu melambat?"

"Siapa tau nona tiba-tiba terjun bebas ke bawah. Lebih baik menurunkan kecepatan nya untuk meminimalisir kecelakaan dan luka parah, kan? Jadi ketika Anda terjun bebas ke bawah, anda tidak akan mati. Ya, palingan di telan ikan besar." Celetuk Zean sambil cengengesan melirik Kataia dari kaca spion.

"Jadi kamu mendukung aku mati?!"

Dengan kesal Kataia menendang keras beberapa kali kursi kemudi Zean, membuatnya terpekik sambil tertawa jahil dengan respon Kataia. Akhirnya Zean melajukan kembali mobil seperti kecepatan sebelumnya, senyum jahil masih terlihat di sudut bibirnya saat melihat Kataia semakin cemberut.

"Saya hanya bercanda, nona. Jangan marah..."

"Ck! Kalau aku nekat lompat sekarang pun pasti kakek jubah itu nanti akan datang mengomeli ku habis-habisan."

Tawa jahil masih melekat pada Zean. Sesekali Kataia menendang lagi kursi kemudi Zean dengan kesal saat mendengarnya tertawa. Namun Zean menganggap sikap liar dan kasar Kataia itu sungguh lucu, walaupun terkadang Kataia juga bisa terlihat sangat mengerikan dan kejam. Tapi itulah kenyataannya, Zean bisa di bilang sudah terbiasa dengan sikapnya.

Langit semakin terang, matahari sudah mulai naik ketika mobil mereka hampir sampai di seberang jembatan dan memasuki sebuah kota. Tanpa sadar jembatan gantung yang sepi tadi juga sudah mulai ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang.

"Kita sampai Kobe, nona. Anda ingin saya pesankan makanan apa?"

"Belikan Akasi-yaki dan Taimeishi. Bungkus saja, Zean. Kita makan di jalan, aku masih punya banyak pekerjaan setelah dari sini."

Sudut bibir Zean sedikit turun mendengar ucapan Kataia. Sambil menyetir menuju ke tujuan Zean mengerutkan dagunya, terlihat sedikit kecewa. Kataia mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan dan melirik wajah Zean yang terlihat kecewa, dia pun bingung.

"Kenapa?"

"Kita jauh-jauh kemari hanya untuk mencari makanan itu saja? Tidak bisakah kita bersantai dan menikmati sesuatu di sini sebentar, nona?" Suara Zean terdengar memelas dan merengek.

"Tidak, bisa. Lain kali saja kita berlibur, aku terlalu kesal untuk menikmati sesuatu sekarang."

"Baiklah."

Nafas Zean mendengus kecewa, tapi itulah yang telah di putuskan Kataia. Mobil pun mengarah ke kedai makanan yang di inginkan Kataia, Zean turun dan membeli semuanya dengan cepat sementara Kataia diam menunggu di dalam mobil untuk beberapa waktu.

Saat ketenangan dan kesunyian menyelimuti kataia yang sendirian di dalam mobil, Zean membuka pintu kursi penumpang di tempat Kataia dengan panik. Dia tergesa-gesa sambil meraih tangan Kataia dengan cepat.

"Kenapa—!

"Nona! Tinggalkan mobil!" Kantung belanjaan yang di bawa Zean terjatuh dari tangannya.

...DORR...

...PRANG!...

Kaca mobil Kataia retak dan pecah saat suara tembakan dilepaskan. Suara keramaian orang terdengar riuh karena keributan itu. Peluru sebuah pistol menembus kaca mobil Kataia hingga ke dalam, tapi untungnya Zean tadi masih sempat menyelamatkan Kataia dan menariknya keluar dari mobil. Mereka berlindung di sisi lain mobil yang masih aman dari tembakan beruntun dari arah lain.

"Siapa itu, Zean?!" Suara Kataia tercekat dan memburu karena terkejut.

"Komplotan tuan Osaka ternyata lebih cepat dari perkiraan saya. Maafkan saya, nona, saya lalai dan menyepelekan pelacakan mereka."

Suara tembakan baku hantam peluru menembak brutal di balik badan mobil Kataia. Beberapa peluru berhasil menembus sisi lain mobil tempat Kataia dan Zean berlindung. Dengan cepat Kataia meraih dua buah pistol dari bawah kursi penumpang dan menyerahkan satunya pada Zean.

"Nanti saja minta maafnya. Sekarang kita coba saja dulu untuk pergi dari sini hidup-hidup."

"Kalau tidak bisa?"

"Ya mati! Kamu mau mati?! Aku tidak bisa menjangkau isi peluru di dalam mobil, jadi pergunakan saja dulu peluru nya dengan baik."

Dari balik mobil Kataia dan Zean membalas tembakan orang yang ada di balik mobil nya itu. Suara kepanikan warga menyelimuti sekitar dengan baku tembak yang tanpa ampun di luncurkan.

Saat puluhan peluru pistol meluncur di udara, tembakan lain datang dari arah lain membalas baku tembak lawan di seberang Kataia. Satu persatu orang yang menembak Kataia tumbang dan mati di tempat karena tembakan dari dua arah. Namun tembakan dari arah lain itu menarik perhatian Kataia.

"Siapa itu?" Mata Kataia menyipit ke sumber tembakan yang tertutupi oleh sebuah toko kecil yang berada tidak jauh dari tempatnya sekarang.

Kataia dan Zean terus menembak, menumbangkan satu-persatu musuh di seberang. Namun sayangnya musuh memanggil bala bantuan yang membuat Kataia kalah jumlah. Apalagi Zean sepertinya telah kehabisan peluru, dia mengguncang pistolnya frustasi karena itu sudah tidak berguna tanpa adanya peluru.

"Ck! Sial! Peluru saya habis, musuh sepertinya tidak memberikan ruang untuk kita bersiap."

Gigi Zean terkatup frustasi. Tidak ada yang bisa mereka lakukan sekarang selain bersembunyi selagi musuh menembaki pelindung mereka tanpa ampun. Mobil Kataia yang melindungi di balik punggung mereka hampir hancur, banyak lubang yang menembus di badan mobil.

"Biar saya ambil pelurunya." Ucap Zean yang tiba-tiba menerjang masuk ke dalam mobil hendak mengambil peluru.

"Zean!"

Saat Zean hampir masuk untuk mengambil peluru di dalam mobil yang terbuka, Kataia menarik bajunya dengan kuat ketika sebuah peluru meluncur menembus badan mobil dan hampir mengenai kepala Zean.

Sayangnya musuh benar-benar tidak berniat untuk berbelas kasihan dengan Kataia yang telah kalah jumlah walaupun telah terbantu oleh sesuatu dari arah lain, tembakan pistol terus di luncurkan pada Kataia dan Zean. Bala bantuan musuh pun nampaknya juga berdatangan menggantikan yang tumbang.

"Sudah aku bilang! Tidak usah ambil pelurunya, kondisinya masih berbahaya, tau?! Katakan saja kalau kamu mau cepat mati, biar aku menembak mu sendiri sekarang!" Kataia marah besar, geram dengan ketidakpatuhan Zean atas perintahnya, tapi walaupun begitu ekspresi Zean masih kokoh menatap Kataia.

"Tapi nona, lebih baik kita mati dengan usaha daripada mati tanpa usaha! Apalagi isi peluru nona juga hanya tinggal beberapa sementara musuh kita terus bertambah. Jika saya mendapatkan peluru itu, anda bisa mempergunakan nya dan lari."

Suara Zean meninggi dan terdesak dengan nafas yang memburu. Tatapan Zean terlihat berbeda dari biasanya, menunjukan pemberontakan dan pembangkangan. Sebentar Kataia tersentak dan melotot melihat Zean yang memperlihatkan pemberontakan nya.

"Kamu sepertinya sudah berani membantah ku, Zean. Seharusnya katakan saja dari awal kalau kamu ingin mati lebih cepat, jadi aku tidak perlu repot-repot melakukan banyak hal untuk mu." Nada bicara Kataia datar dan dingin.

Matanya tegang, kaki Kataia berdiri tegak sambil menodongkan pistol nya yang masih berisi beberapa peluru itu ke arah Zean. Kataia membuat domain nya, membuat sekitarnya seolah-olah berhenti sejenak saat pistol nya mengarah Zean, tentunya baku tembak masih meluncur saat mereka masih dalam domain Kataia.

"Nona.." Lirih suara Zean yang gemetar dengan mata yang redup.

"Bajingan!"

Belum sempat Kataia menarik pelatuk pistolnya, tangannya ditarik dan diputar ke belakang oleh seseorang hingga pistol itu terlempar entah kemana di tanah. Sosok Hikazu menarik pinggang Kataia dan menjepitnya diantara lengan yang berotot.

"Tampaknya kalian benar-benar perlu bantuan. Kendalikan sedikit emosi mu, Kataia." Ucap Hikazu tersenyum sambil mengurung Kataia dalam tangan berototnya yang di tertutup oleh lengan panjang coat.

"Orang gila! Lepaskan!"

Sementara tangan Hikazu yang satu masih menembak ke sisi seberang, Kataia memberontak kasar dari cengkraman lengan Hikazu yang lekat di pinggang. Zean masih terdiam di tanah, berlutut dengan wajah yang menunduk meratapi tanah sambil mendengarkan suara pemberontakan Kataia.

"Mungkin kamu akan lebih gila dari ku jika sampai lepas. Jadi tenanglah, biar aku yang menghabisi mereka."

"Hikazu! Lepaskan!"

Dengan sekuat tenaga Kataia memberontak, menampar-nampar perut Hikazu yang tidak berkutik dalam rasa sakit yang Kataia berikan. Rasa sakit itu tidak mempengaruhi Hikazu sedikitpun walaupun masih fokus menembak dengan satu tangan.

"Diam, Kataia." Suara Hikazu masih lembut dalam ketegasan.

"Lepaskan aku, Hikazu! Kita semua akan mati di sini bersama kalau begini!"

Kataia memberontak lebih kuat dengan teriakannya, tapi Hikazu semakin mengeratkan genggaman nya yang tidak sedikitpun melonggar. Suara menggelegar peluru yang meluncur di ruang terbuka masih terdengar bertubi-tubi saat peluru pada pistol Hikazu mulai menipis.

Zean dengan tangan yang gemetaran meraih tangan Kataia yang menampar-nampar Hikazu, mencengkram nya erat namun tetap lembut, seketika membuat Kataia terdiam. Mata Zean frustasi melihat situasi mereka yang semakin terdesak, Hikazu yang terus berusaha menembak dan mengisi peluru tetap menjaga erat Kataia di pinggangnya.

"Tuan, Hikazu.. Lepaskan nona, saya. Saya akan menjaganya..."

Situasi mereka masih berbahaya dengan musuh yang menembak tanpa ampun dari seberang. Sambil terus menembak dan menjaga Kataia di pinggang nya, Hikazu melirik sebentar pada Zean yang tersenyum frustasi. Tangan nya mengelus-elus lembut tangan dalam sarung tangan hitam yang di genggaman nya, Zean terlihat berbeda dari biasanya.

"Sebaiknya lakukan yang terbaik sekarang."

Mata Hikazu menatap tajam pada Zean sebelum melepaskan Kataia yang mulai tenang ketika melihat sikap Zean yang tidak biasa. Getaran tangan Zean mengirimkan pacuan melalui sarung tangan Kataia, membuatnya benar-benar membeku ditempat.

"Nona.. Maaf sebelumnya, saya akan patuh. Jadi anda patuh lah juga sekarang, agar kita selamat." Banyak rasa penyesalan pada suara Zean.

Setelah tersadar dari lamunan, wajah Kataia terlihat datar dan bengis, dia menepis kasar tangan Zean yang sebelumnya menggenggam dengan lembut. Zean semakin frustasi, namun melihat Kataia berhenti memberontak membuatnya sedikit lega.

"Anak kecil jangan menggangu, ya? Duduk manis saja di sana, biar aku yang jadi pahlawan." Senyum sombong Hikazu terpampang jelas diwajahnya, membuat Kataia geram dan ingin sekali mencubit ginjalnya. Kepala Kataia berapi-api termakan godaan Hikazu.

"Bagaimana kalau aku tidak mau hanya duduk manis?" Nada Kataia menantang.

"Apa gunanya? Aku akan mengakhiri ini."

Dengan tangan satu masih menembak, Hikazu mengambil sebuah granat dari dalam saku coat nya dan melemparkan granat yang sudah terbuka itu pada sekumpulan musuh di seberang.

"Menunduk!"

Hikazu dengan gesit menarik lengan Zean dan ujung dress Kataia hingga terjatuh ke tanah. Granat itu meledak dan menyebabkan banyaknya suara jeritan dan ledakan yang semakin menggelegar di balik mobil Kataia yang pada akhirnya ikut terpental melewati mereka dalam ledakan.

Ada begitu banyak nya bangunan dan korban yang terjebak dalam hutan api dari ledakan granat yang sebelumnya Hikazu lempar. Sekumpulan musuh telah terbaring tanpa nyawa di antara api dengan beberapa warga sipil yang tak bersalah ikut menjadi korban.

Situasinya benar-benar kacau saat mereka bangkit dan menatap ledakan yang Hikazu sebabkan. Zean gemetaran seperti biasa, satu lagi orang gila yang harus dia hadapi sama seperti Kataia. Seakan tanpa dosa Hikazu menatap Kataia dan Zean sambil mengacungkan jari jempolnya dan tersenyum lebar.

"Yosh! Semuanya beres sekarang!"

"Yah, kita berdua sama-sama gila, Hikazu." Suara Kataia datar dan perlahan menatap banyaknya korban jiwa di depan mereka.

"Kalian berdua memang gila, baru sadar sekarang?" Zean diam-diam membatin saat Kataia dan Hikazu menatap nya tajam.

"Baiklah, kamu benar kali ini. Aku gila." Senyum Hikazu masih melekat setelah membuat kekacauan itu.

Bunyi sirine mobil polisi dan ambulans mulai melaju dan mendekat selagi mereka memperhatikan sekitar yang kacau. Tidak ada kepanikan ataupun ketakutan diantara mereka, bahkan dengan santainya melangkah mengikuti Zean yang tidak bersuara sedikitpun menuntun jalan. Berjalan dengan baju kumal dan bau asap di sepanjang jalan hanya melihat jam tangan canggih yang ada padanya.

Setelah beberapa saat menuntun jalan dalam diam membawa Hikazu dan Kataia tanpa arah, Zean berhenti di depan sebuah mobil mewah berwarna putih di pinggir jalan sambil membukakan pintu penumpang dengan pegangan yang tegas pada gagang.

"Silahkan masuk, nona, tuan." Zean menunduk ketika Kataia yang pertama masuk.

"Sebenarnya bukan urusan ku untuk memberi mu tumpangan, tapi aku berhutang nyawa kali ini padamu, Hikazu." Nada Kataia datar dengan sedikit mengejek ketika bergeser sedikit memberikan tempat untuk Hikazu. Tapi Hikazu tidak dengan mudah terpancing olehnya kali ini, belum saatnya bermain kucing dan anjing.

"Baiklah, baiklah.. Apapun itu, terima kasih—

...DOR DOR...

Baru saja sebelah kaki Hikazu masuk ke dalam mobil, tembakan yang tidak tau dari mana asalnya mengenai punggung Hikazu beberapa kali hingga membuatnya goyah dan berlutut di tanah di samping mobil. Kataia membelalakkan mata nya dan bergegas mendekat ke tepi mobil untuk meraih lengan Hikazu.

"Hikazu!"

Dengan kuat Kataia berusaha keras menarik Hikazu masuk dan menutup pintu mobil dengan cepat. Semuanya terjadi hanya dalam waktu seper kian detik sebelum tembakan lain mengincar Zean yang juga segera mengitari mobil dan masuk.

Mobil putih mewah itu melaju dengan cepat sembari masih di kejar-kejar oleh tembakan dalam radius beberapa meter. Peluru-peluru itu saja menancap dalam pada body mobil, apalagi yang ada pada punggung Hikazu. Zean dan Amayara yang duduk di kursi kemudi juga merasakan ketegangan nya.

"Hikazu? Hikazu, kamu mendengar ku? Tetaplah sadar, kamu akan baik-baik saja."

Pandangan Hikazu buram dan hanya samar-samar mendengar suara Kataia yang khawatir berada di dekat nya. Dirinya tak berdaya dalam rasa sakit yang luar biasa hingga membuatnya bungkam menahannya.

Kataia yang ada di samping Hikazu panik, secara spontan membuka coat hitam dan kemeja yang menempel pada Hikazu. Menampakkan tubuh sexy nya— Maksudnya punggungnya yang berlumuran darah dengan peluru yang menancap di sana.

"Amayara! Lebih cepat lagi!" Ucap Kataia dengan nafas yang memburu.

Dengan tangan kosong yang hanya menggunakan sarung tangan hitam, Kataia nekat mencabut peluru itu dari punggung Hikazu tanpa apapun selain tangannya yang gemetar.

Bisa di bilang Hikazu cukup beruntung karena ketebalan dari coat nya yang menahan sedikit peluru diluar. Walaupun pada akhirnya hasil dari tembakan tetap saja sama-sama parah. Tubuh nya terkulai lemas di lengan kecil Kataia yang menahan di belakang.

"Amayara.. Cepat!" Kataia mendesak lagi saat keringat dingin mengucur dengan nafasnya yang masih memburu.

"Baik, nona. Kita akan segera sampai di rumah sakit terdekat."

"Bawa ke rumah, Amayara!" Suara nya meninggi hampir terdengar seperti bentakan dengan mata yang menajam.

Amayara meneguk liur nya menatap Zean yang berada di sebelah. Sangat tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke kota Tokyo dari Kobe dalam waktu singkat menggunakan mobil. Tapi Zean hanya mengangguk pelan saat melihat ketegangan di mata Amayara yang melajukan mobil.

"Aku akan meminta yang lain menyiapkan jet." Bisik Zean yang terdengar samar-samar.

Peluru demi peluru yang berlumuran darah Kataia cabut dan buang ke bawah kursi penumpang. Menyisakan pendarahan yang cukup parah di bawah sarung tangannya. Darah Hikazu terus mengalir walaupun Kataia sudah berusaha untuk memberhentikan pendarahannya.

"Nona, kita hampir sampai." Ucap Zean dengan nafas lega ketika sebuah pesawat jet yang menyala terparkir pada hamparan tanah datar di depan mereka.

Nafas Kataia tercekat dengan tangan yang gemetar, untuk beberapa kali dia menatap Hikazu yang memucat dan mulai kehilangan kesadaran. Hingga saat Hikazu menutup mata, harapan Kataia pupus sebelum mereka mencapai pesawat jet yang ada di depan.

"Sudahlah, lupakan saja." Ucap Kataia yang frustasi sebelum menghela nafas berat. Tangannya perlahan meninggalkan punggung berdarah Hikazu yang mulai dingin.

Punggungnya yang tegang bersandar pada kursi penumpang di samping Hikazu. Dia memejamkan matanya. Tangan satu menutup mata dengan sarung tangannya yang berlumuran darah.

"Aku lelah..."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!