Langit bergemuruh gelap dengan rintik hujan yang deras membasahi dunia. Membuat susunan payung berjejer warna-warni menyebrangi di jalan raya membentuk barisan. Gelap, sunyi dan dingin menyembunyikan rahasia mengerikan di tengah-tengah mereka dalam payung merah.
Sebuah payung tumbang dari barisan menyeberang. Orang-orang langsung berteriak histeris ketika payung itu jatuh ke aspal, memperlihatkan pengguna nya yang tewas dengan pisau dapur menancap pada perut nya. Darah segar mengalir bersama dengan air hujan yang mengguyur deras.
"TOLONGGG!!"
"Siapa saja! Tolong!"
"Ada pembunuhan! Lihat ini!"
"Apa itu seorang anak sekolahan? Malang sekali..."
"Siapa? Siapa pelakunya?! Semuanya berhati-hati! Lihat sekitar kalian!"
Dari balik payung lain sosok gelap terkikik senang. Melihat darah yang mengalir bersama air mata langit yang meratapi dunia. Belum saja kekacauan di depan mereka beres, satu payung lagi tumbang di tengah keramaian, meringkuk dengan tubuh kejang-kejang yang tertusuk pada bagian perut nya juga.
"Disini! Disini juga! Siapa pelakunya?! Siapa yang begitu kejam ini...?"
"Aku harap bukan giliran ku selanjutnya. Lindungi aku langit..."
"Semuanya hati-hati, pelaku berada di antara kita sekarang!"
"Di mana pelakunya..? Jangan membunuh ku."
Teriakan ketakutan, putus asa, dan gelisah bergemuruh di tengah jalan yang basah di guyur hujan deras. Sirine mobil polisi dan ambulan mendekat, turun dengan raut wajah frustasi sambil menjelajahi kerumunan payung yang redup di malam gelap, mencari siapa pelakunya. Tapi tidak di temukan seorang pun yang mencurigakan di antara payung-payung.
Ketika suasana tengah jalan semakin ricuh mencari pelaku itu, payung merah bergerak menjauh dengan tenang. Tertawa cekikikan puas dan senang melewati sela-sela mobil yang terjebak dalam kemacetan. Rambut coklat panjang tergerai bergerak mengikuti angin di bawah payung.
"Maafkan aku, tapi ini terlalu menyenangkan untuk berhenti lebih awal."
.
.
.
Senja hari datang setelah seharian berlalu. Semuanya terlihat membosankan hingga orang-orang mengemasi barangnya di kantor. Dengan menyanggah dagunya di meja, Kataia menatap cemberut lampu kerja nya yang mulai redup kehabisan baterai.
"Kataia, kamu tidak pulang? Kita tidak punya misi untuk hari ini." Nichioro berdiri tepat di depan meja Kataia.
"Belum, sebentar lagi. Sampai lampu ini mati."
"Baiklah. Tapi ngomong-ngomong apa kalian melihat Hikazu? Aku tidak melihatnya beberapa hari ini."
Mata Nichioro berkeliling mengitari sekitar yang sunyi sepi, hanya tersisa dia, Kataia, Goro dan Ayaka di dalam kantor. Ketiga orang itu hanya diam, sibuk dengan kesibukan masing-masing tanpa menjawab Nichioro.
"Entahlah, tidak tau." Sahut Kataia setelah sejenak terdiam, masih menatap lampu kerja nya yang redup dan hampir mati.
"Aku juga tidak tau. Sudah berapa ya, satu, dua, hmn... Entahlah. Terakhir aku melihat Hikazu saat kita menerima informasi pergerakan tuan Osaka waktu itu saja." Jawab Goro yang menyusul setelah Kataia.
Nampak tidak tertarik, Kataia bangkit dari tempatnya dengan raut wajah dingin mengemasi barang-barang di atas meja. Ayaka yang selesai berkemas menyusul di depan meja Kataia seperti yang lain, menatap sinis sambil menjinjing tas di pundaknya.
"Jangan pura-pura tidak tau, aku melacak ponsel Hikazu di rumah Devang. Kalian, kan?" Tatapan Ayaka sinis dan tajam saat Kataia masih mengemasi barangnya di atas meja.
"Apa hubungannya dengan ku? Aku memang tinggal bersama Devang, tapi bukan berarti itu ada hubungannya dengan ku. Kalau kamu cerdas pasti kamu bisa berpikir lebih logic."
Nada Kataia terdengar datar, masih mengemasi barangnya tanpa menatap ketiga orang yang berada di depannya. Tanpa disangka jawaban Kataia yang tidak memuaskan itu membuat Ayaka naik pitam. Dengan gigi geram yang terkantup, Ayaka mencengkram kuat kerah kemeja hitam Kataia, membuat Nichioro dan Goro tersentak menenangkannya.
"Ayaka.. Tenang, apa yang kamu lakukan?" Tangan kekar Nichioro menyentuh lembut pundak Ayaka.
"Heh! Aku tidak tau sebatas mana kebodohan ketua kami itu. Kenapa juga orang bodoh itu menjadi ketua kami?! Tapi yang jelas, kalau bukan karena mu dia tidak akan di sana. Kalau bukan karena peduli wajah mu itu di buru, Hikazu tidak akan kelayapan menyelesaikan semuanya."
Raut Ayaka benar-benar geram dalam nadanya yang di tekankan. Sungguh marah dan murka yang hampir tidak tertahankan lagi. Membuat kerah kemeja hitam Kataia kusut dalam ketegangan itu. Namun Kataia hanya diam sesaat sebelum pada akhirnya habis kesabaran dan menepis kuat cengkraman Ayaka.
"Sudah aku bilang aku tidak tau! Aku juga tidak menyuruhnya untuk peduli! Memangnya kenapa kalau dia bersama Devang?! Setakut apa kalian padanya?! Kenapa kalian takut padanya?!"
Amarah Kataia ikut meluap-luap dalam gertakan Ayaka. Tidak pernah mereka melihat amarah dan batas kesabaran Kataia yang sebenarnya, ini terlalu besar. Suara lantang yang dipenuhi segala amarah di matanya membuat Nichioro dan Goro tersentak bergidik ngeri. Bahkan Ayaka terdiam dalam amarahnya sebentar.
"Kamu tidak tau? Devang itu iblis kejam, sekali masuk tidak akan bisa keluar. Sama seperti mu, kejam, kalian berdua kejam."
"Ayaka, berhenti." Nichioro masih menenangkan Ayaka di pundaknya.
Masih tenggelam dalam amarah, Ayaka mundur beberapa langkah membanting keranjang pulpen Kataia dari atas meja sampai berhamburan ke segala arah. Senyum miris yang menyembunyikan amarah yang membara dalam dirinya.
Sambil sebentar memejamkan mata, Kataia menghembuskan nafas berat dari mulutnya. Jantungnya berpacu dengan cepat menyimpan amarah. Mengambil tasnya yang sudah beres dan mengelilingi meja menuju pintu keluar kantor.
"Kalau begitu biarkan saja Hikazu di cabik-cabik oleh Devang yang kejam itu. Aku tidak akan peduli. Karena aku orang yang kejam."
Hawa dingin Kataia melewati ketiga orang itu bagai angin lalu, membuat malam sunyi menjadi semakin dingin. Mereka berbalik dengan segala pikiran dalam hati, memperhatikan Kataia yang berhenti sejenak saat hendak membuka gagang pintu di bawah sarung tangan hitamnya.
"Oh iya. Terima kasih satu bulan nya, aku.. Keluar dari Deeper Stuck."
Suramnya malam semakin mencekam saat Kataia perlahan pergi dari balik pintu. Keheningan kembali mencekik udara dingin di dalam kantor yang redup. Goro dengan segala keheningan nya hanya bisa memunguti alat tulis yang berhamburan di lantai di susul oleh Nichioro. Terdiam dengan Ayaka yang masih menyimpan amarah dalam kepalan tangan dan air matanya yang sudah berada di ujung.
.
.
.
Langit malam begitu indah di hiasi oleh tebaran bintang dan bulan yang menyala. Sunyi senyap dan tenang dalam sebuah taman indah. Taman yang di kelilingi pepohonan dan deretan mawar merah dan putih, ditemani kolam kecil jernih di tengahnya sebagai tempat langit terpantul.
Bayangan sosok seorang pria bersandar di sebuah pohon di dekat kolam yang menyatu dengan tanah itu, memeluk buku merah tanpa judul dalam dekapannya sambil menatap bulan di langit.
"Di sini lagi. Dengan buku itu lagi. Kamu adalah satu-satunya orang aneh yang suka membaca buku itu." Celetuk Amayara yang tiba-tiba muncul dari balik pohon yang menjadi sandaran bayangan sang pria.
Masih senyap, tidak menggubris sedikitpun bahkan saat Amayara duduk di sampingnya sambil menyandarkan punggung pada pohon. Buku merah itu masih erat di tangannya.
"Yah.. Zean, kamu punya selera yang bagus untuk menjadikan taman nona sebagai tempat bersantai. Tenang sekali, aku tidak tau kenapa aku baru menyadarinya sekarang. Mungkin karena kita berbeda, sedangkan kamu sama dengan nona." Nafas berat keluar dari mulut Amayara dengan senyum tipisnya saat Zean masih diam selama beberapa waktu.
"Benar. Tapi aku di sini untuk mencari jawaban, bukan hanya sekedar buang-buang waktu. Lebih baik kamu membantu ku untuk mencari jawabannya. 'Kenapa bisa kegelapan tumbuh dalam ketenangan ini?'."
Sambil tersenyum tipis Zean mengangkat tinggi-tinggi buku merah yang sebelumnya dalam pelukannya, mensejajarkan buku itu dengan bulan yang ada di langit untuk menghalau cahaya terangnya menusuk mata.
Dengan ekspresi bingung Amayara menatap Zean yang terlihat seperti kerasukan setan bijak. Sungguh aneh melihat Zean tiba-tiba menjadi bijak dan lebih tenang saat mereka hanya berduaan. Membuat Amayara benar-benar tidak percaya akan hal itu.
"Zean! Jangan bilang di sini ada setan?! Jadi sekarang kamu kerasukan!" Amayara tersentak sambil mencengkram kedua pundak Zean yang juga ikut kaget.
"Lihat makhluk ini, bodohnya kumat lagi!"
Untungnya watak Zean yang tidak kalem kembali dengan cepat setelah Amayara tersentak. Tidak bisa di bayangkan nantinya jika Amayara benar-benar nekat membawa dukun untuk mengusir setan yang menjelma di tubuh Zean. Jadi mungkin seseorang harus bersyukur dan mengadakan syukuran atas tidak terjadinya hal itu. Itu terbukti pada Zean yang langsung tanpa basa-basi menggeplak kepala Amayara menggunakan buku merah yang ada di tangannya.
"Cih, hampir ku kira gila."
"Maaf membuat mu kecewa, tapi aku masih waras." Balas Zean tersenyum geram dengan tangan yang siap menggeplak kepala Amayara sekali lagi.
Amayara pun balas cengegesan. Kembali bungkam karena tidak siap di timpuk oleh buku merah setebal batu bata.
"Di mana nona? Aku tidak melihatnya seharian ini di rumah." Tanya Amayara sambil menoleh ke pintu di balik pohon yang menjadi sandaran mereka.
"Di kamar. Nampaknya mood nona sedang tidak baik beberapa hari ini, jadi aku tidak berani mendekat."
"Pantas saja anjing penjilat tidak bersama majikan." Tawa Amayara pecah menggema dalam taman, membuat burung-burung yang tertidur di pepohonan terbangun dan berterbangan pergi dari sumber kebisingan.
"Jujur, Amayara. Aku benar-benar ingin mencekik mu sekarang. Jadi pilih, ingin di pukul dengan ini atau di cekik?" Tangan Zean menegang karena menerima sinyal dari otak yang mengirimkan emosi geram.
Senyum iblis di wajah Zean membuat Amayara tersentak dan langsung hening tanpa suara. Raut wajahnya seketika menjadi tegang sambil meneguk berat liur nya melihat Zean mengangkat buku merah tebal itu sekali lagi. Sekarang hanya ada raut memelas seperti anak anjing yang terlantar.
"Maaf~"
"Sudahlah. Darimana saja kamu seharian ini? Kotak surat nona sampai menumpuk di sana. Sebaiknya cepat dibereskan saja sebelum nona semakin marah." Zean memutar bola matanya malas sambil melirik kotak penuh surat di seberang danau.
"Maaf ya, tapi aku tidak hanya bermalas-malasan seperti mu. Aku baru saja selesai mengasah pisau di gudang, jadi tidak ada alasan untuk nona memarahi ku saat melihat pisau-pisau nya mengkilap."
Antara balas dengan nada mengejek, memutar bola matanya malas seperti Zean dengan tatapan sinis. Saat keduanya saling tatap diantara sambaran petir persaingan, ponsel Zean bergetar di dalam saku celananya. Hanya ada satu panggilan yang akan menelpon di tengah malam begitu, bukan darurat, bukan juga iseng. Hanya bulan yang berada di tengah-tengah yang tau.
"Halo, nona. Apa anda butuh sesuatu?" Zean mengangkat panggilan itu dengan cepat, sementara Amayara memandang sinis dan jijik sikap Zean yang seperti penjilat.
"Siapkan mobil dan cari lokasi orang selanjutnya. Tiga orang, lima belas menit."
Hanya itu suara yang keluar dari ponsel sebelum panggilan berakhir dan dimatikan tanpa membiarkan Zean menyahut sedikitpun. Sambil menahan tawa, Amayara mendekat dengan wajah mengejek dan suara gemetarnya.
"Hahaha! Jangan patah semangat hanya karena diabaikan, Zean. Semangat ya kerja nya~" Tawa Amayara pecah menepuk-nepuk punggung Zean dengan keras.
"Berisik! Lebih baik kamu juga kerja sana. Jangan sampai membuat nona menunggu lama dengan baju-baju nya." Decak Zean kesal menepis tangan yang menepuk punggungnya itu dan menatap Amayara tajam.
"Baiklah, baiklah. Aku kerjakan sekarang."
Kedua orang itu berpisah mengerjakan bagiannya masing-masing. Amayara berbalik berjalan ke pintu besar yang ada di belakang pohon sandaran mereka tadi. Sementara Zean berjalan mengitari kolam menuju tumpukan amplop hitam yang berjatuhan dari kotak surat yang kepenuhan, mengambil beberapa amplop dengan stempel merah itu.
Setelah semuanya beres Kataia keluar dari kamarnya di susul oleh Amayara dari belakang, mereka berjalan menuju parkiran belasan mobil mewah. Siluet bayangan gaun hitam pendek Kataia mengikuti di setiap langkahnya pada cahaya redup garasi sampai pintu mobil yang telah dibukakan oleh Zean.
"Anda yakin, nona? Ini pukul dua malam, sudah sangat larut untuk keluar." Tapi Kataia sama sekali tidak menjawab Zean sampai dia masuk ke dalam.
Masih dalam keheningan, Zean masuk dan mengemudikan cepat mobil yang mereka naiki mengikuti mobil yang dikemudikan oleh Amayara sendiri di depan. Rumah megah itu sendirian, sunyi sepi dengan lampu-lampu terang yang menerangi.
Entah sudah berapa lama ketiga orang itu pergi meninggalkan rumah. Pada saat fajar perlahan hendak naik, mereka berjalan di Koridor lantai atas tempat kamar-kamar. Perabotan diam seakan ketakutan menjadi saksi bisu darah yang menetes seiring langkah mereka.
Sosok Kataia yang datar dan dingin dengan bermandikan darah di gaun hitam dan sekujur tubuhnya. Warna darah dan bau amis menyatu pada gaun hitam Kataia, meneteskan sisa-sisa darah basah di keramik putih di lantai. Dengan diam Zean dan Amayara hanya mengikuti di belakang tanpa suara sedikitpun.
Sepasang mata yang diam-diam mengintip dari celah pintu tercengang, pupil matanya melebar dari balik pintu kamar yang gelap gulita di dalam. Hanya bisa diam di dalam kegelapan itu sambil menatap Kataia dan kedua pengawalnya lewat dengan darah yang mengikuti.
"Benarkah itu kamu, Kataia?"
Taman Kataia yang sebelumnya sepi dan tenang diam-diam bernyanyi di belakang tuannya. Para burung hantu berkicau dari pohon, katak berbunyi memanggil hujan di sekitar kolam dan kunang-kunang berterbangan meninggalkan taman ketika fajar sudah siap untuk naik menggantikan sahabat malam.
Burung-burung yang bertengger di pohon besar tiba-tiba terkejut, berterbangan meninggalkan taman saat pintu di belakang pohon besar perlahan terbuka. Kaki besar tanpa alas melangkah di tanah dingin taman yang lembab. Dia kebingungan, nampak linglung menatap sekitar taman di dalam rumah mewah yang mulai disinari matahari dari arah timur langit.
"Tempat macam apa ini?" Langkahnya semakin jauh meninggalkan pintu besar di belakang.
Hikazu terus melangkah lebih jauh dengan dada telanjang yang dibalut oleh beberapa helai perban di sekeliling tubuhnya. Kakinya terus berjalan mengelilingi taman, memperhatikan bunga mawar putih yang berjejer rapi di sekeliling taman, kolam ikan koi di tengah-tengah taman dan seisi hewan-hewan di taman.
"Uh.. Ada katak. Ewww...Bintiknya." Wajah Hikazu yang sebelumnya kebingungan berubah drastis menjadi jijik menatap katak di atas kolam ikan.
Menyahut hinaan Hikazu terhadap kawan-kawannya, semua katak bersatu memprotes, bersuara nyaring dan beruntun tanpa berhenti dengan nada kesal yang menuntut. Telinga Hikazu berdengung dengan suara-suara itu, para katak hampir melawan melawan penghinaannya.
"Wehhhhhh! Berisik kodok! Diam atau aku goreng!" Hikazu menutup telinga dengan kedua tangannya saat sekumpulan kodok semakin brutal memamerkan suara.
Tapi ketika mendengar bahwa Hikazu akan memasak mereka dengan berbahan minyak, katak-katak itu terdiam, seketika ciut dengan beberapa suara yang tersisa. Hikazu berlagak angkuh membanggakan diri dalam hati karena bisa berkomunikasi katak-katak yang mau mendengar gertakannya itu.
"Humptt.."
Sambil melepaskan kedua tangannya dari telinga, Hikazu ternyata tanpa sadar termundur kebelakang sedari menghindari suara-suara katak tadi. Kulit punggungnya terasa dingin dan menusuk menyentuh batang kelopak bunga mawar putih yang berjejer di belakang.
Namun ada beberapa hal yang menarik perhatian Hikazu. Bau amis dari beberapa mawar merah yang berada diantara banyaknya mawar putih, diperhatikannya itu lebih dekat lagi. Hidungnya mendekat, memastikan bahwa itu benar-benar bau darah segar yang masih basah pada kelopak bunganya. Hikazu kembali tercengang.
"Ini.. Darah. Sepertinya baru saja."
Dengan modal nekat Hikazu meraih kelopak bunga itu, mematahkan tangkai rapuh di bawah bunga yang langsung patah dari sumbernya. Taman itu seketika senyap, tidak ada suara apapun. Bahkan burung-burung dan katak tidak lagi berbunyi, benar-benar senyap sampai membuat punggung Hikazu bergidik ngeri.
Tidak lama setelah itu, gemuruh burung-burung yang ketakutan datang dari belakang punggungnya. Hikazu berbalik merasakan sesuatu yang marah menggeram dari seberang kolam di dalam kumpulan semak mawar putih lainnya yang di kuasai oleh gelapnya bayangan pohon besar.
"Apa itu? Yang benar saja!"
Sesuatu yang ada di seberang kolam semakin dekat, matanya merah menyala dengan taring tajam di rahang kokohnya. Seekor serigala ganas keluar dari sana dengan marah menatap Hikazu. Larinya sangat cepat menerjang Hikazu hingga terjatuh ke semak-semak mawar, ketakutan setengah mati saat serigala besar itu sudah di atas dadanya.
"OOOUUUUU...." Sang serigala memamerkan taring dan kehebatan suara lolongannya yang menggema di seluruh sudut dan sisi taman. Hewan-hewan kecil lainnya tersentak dan segera berlari menjauh untuk bersembunyi darinya.
"Anak baik, anjing baik, m-maaf, aku tidak bermaksud untuk masuk kemari." Suara Hikazu tersentak sedikit gemetar.
Serigala menoleh sebentar menatap bunga mawar yang Hikazu petik tadi, telah tergeletak sembarang setelah dia menerjang Hikazu barusan. Bunga merah dengan bau amis itu perlahan menghitam dan berubah menjadi abu yang langsung lenyap tanpa sisa.
"T-tidak... Habislah."
Kepala Hikazu sudah siap serta pasrah diremukkan dengan rahang kuat serigala yang besar. Namun dalam waktu seperkian detik sebelum kepala Hikazu benar-benar tenggelam dalam mulutnya, serigala segera berhenti. Hidung serigala kembang kempis mengendus dada telanjang Hikazu yang berbalut beberapa perban dengan penasaran.
Yang anehnya serigala langsung ciut, dia turun dari atas Hikazu, terlihat tenang sambil menjilati wajah Hikazu dengan manja. Benar-benar langsung berubah hingga seratus delapan puluh derajat menjadi penjilatnya. Hikazu pun tercengang canggung sambil mengelus-elus lembut bulu serigala yang lebat, terlihat jinak seperti seekor anjing penurut.
Degupan beberapa kaki terdengar tergesa-gesa dari luar pintu taman. Pintu di terobos paksa, sesosok wanita dengan mini dress hitam berdiri di ambang pintu sambil tersengkal-sengkal, berkeringat dingin melihat Hikazu yang begitu akur duduk depan semak sambil mengelus bulu serigala.
"Hikazu!" Itu suara Kataia. Suaranya berat dan marah, terengah-engah sambil menghampiri Hikazu dengan langkah cepat.
...Plakk...
Tamparan kuat dari sarung tangan kulit Kataia melempar arah wajah Hikazu dengan pipi yang perlahan memerah pada bekasnya. Suara itu menggema di sepinya taman, membuat Zean dan Amayara yang menyusul tercengang di belakang. Betapa terkejut Hikazu saat perlahan mengembalikan pandangannya pada Kataia sambil memegangi pipi dengan panas tamparan itu. Tidak pernah dia lihat Kataia semarah sekarang sampai-sampai mengatupkan giginya rapat-rapat.
"Kamu kenapa, Kataia? Aku baik-baik saja. Tidak perlu begitu mengkhawatirkan ku, serigala peliharaan Devang ini jinak." Ekspresi Hikazu masih bingung melihat mata Kataia.
"Tidak! Biar aku yang tanya kamu. Bagaimana bisa kamu masih hidup di depan serigala ini?! Kenapa kamu tidak saja mati dimakannya!!!?!" Suara teriakan Kataia yang marah dan frustasi melengking di taman.
"Ugh.. ukk.. K-Kataia." Tangan Hikazu berusaha memberontak.
Leher Hikazu di raih, diremas hingga membuatnya hampir tidak bernafas dalam cengkraman tangan Kataia. Tatapan Hikazu masih berfokus pada manik coklat kemerahan yang sempat menyala sesaat itu. Namun setelah nyala manik itu pudar Kataia seakan tersadar dari sesuatu, dia menepis ketus leher Hikazu yang sebelumnya di cekik sambil linglung. Menatap lekat tangan dalam sarung tangan kulit itu, meratapi kesalahannya yang hampir membuat seseorang mati.
"Tuan Hikazu, anda tidak apa-apa?" Zean bergegas mendekat ke sisi nya.
Dengan hati-hati langkah Kataia mundur beberapa kebelakang. Menatap serigala yang masih berbaring tenang di samping Hikazu, matanya tertutup menikmati apa yang barusan di dengar dari manusia-manusia disekitarnya itu.
"Lupakan. Maaf soal itu."
Kaki angkuhnya berbalik dan berjalan menjauh dengan boots heels hitam. Langkahnya linglung, bahkan satu tujuan pintu keluar taman membuatnya bimbang. Langkahnya terhenti, tanpa menoleh sambil meneguk liurnya dalam-dalam.
"Oh iya. Syukurlah kalau kamu sudah sadar. Maaf, salahku atas ketidaksopanan ku tadi. Aku ingin kamu menemui ku di ruang kerja bersama Amayara setelah ini. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.."
Setelah mengatakan itu, Kataia menghilang menuju balik pintu taman. Keadaannya canggung dengan suasana yang Kataia buat. Hikazu hanya terdiam duduk tanah memproses yang barusan terjadi. Dia melihat sosok Kataia yang belum pernah dilihatnya selama hampir sebulan ini. Sedangkan kedua orang didepannya nampak biasa-biasa saja menyaksikan semuanya itu.
"Maafkan nona kami, tuan. Dia memang begitu labil. Apalagi kami lihat beberapa hari ini mood nona sedang tidak baik. Jadi.. Yah, begitulah." Sambil menghela nafas berat Zean mengulurkan tangannya membantu Hikazu berdiri. Dia tersenyum tipis menatap tanah di dekat kaki Hikazu dengan frustasi.
"Sepertinya kalian sangat mengenal Kataia dan nona Devang kalian. Memangnya sudah berapa lama kalian bersama mereka?"
Hikazu bangkit sambil mengibaskan debu tanah di celana nya, mengikuti Zean yang menuju sebuah pelataran pondok kecil di sisi lain taman di susul oleh Amayara. Mereka duduk di sana, merasakan cahaya matahari yang perlahan menjadi hangat di atas kulit.
"Entahlah... Mungkin sepuluh atau dua belas tahun. Tapi percayalah tuan, nona adalah orang baik." Zean tersenyum, menatap cahaya matahari di langit biru yang cerah.
"Sepertinya hanya kamu saja yang gila menganggap nona itu orang baik bahkan jika tadi nona benar-benar membunuh tuan Hikazu. " Sahut Amayara yang berbaring di sisi lain Hikazu pada pelataran kayu pondok.
"Benarkah, Zean?"
Hikazu seakan mengabaikan sahutan Amayara, dia tetap mendengarkan perkataan ketimbang Amayara yang terkesan diam-diam membenci sosok yang mereka sebut 'nona' itu. Menjawab pertanyaan Hikazu rasanya terasa berat, Zean mendengus kasar sambil menutup sebelah matanya yang menatap langit di atas.
"Entahlah, tuan. Saya juga tidak tau yang mana benarnya. Orang-orang normal pasti akan mempunyai pandangan yang sama seperti Amayara, mengganggap nona kami sebagai orang jahat. Tapi tidak tau dengan saya. Dimata saya nona adalah orang baik, selalu baik. Sepertinya saya sudah di butakan, atau mungkin saya yang gila?"
Masih menutup sebelah matanya Zean menghela nafas kasar frustasi. Hatinya bergejolak dengan pacuan yang tidak karuan. Entah darimana datangnya itu, tapi berhasil membuat suara Zean bergetar tanpa terkendali seperti biasanya. Keadaan menjadi canggung saat Hikazu tidak memberikan respon apapun terhadap ucapan Zean.
Amayara mengangkat beban berat punggungnya untuk naik, menatap serigala yang sedang berbaring dengan tenang di tanah seberang di susul oleh mata Zean yang mengikuti. Serigala sangat lucu saat tertidur pulas dengan bulu-bulu lebatnya. Tapi di waktu yang sama mereka bisa melihat kengerian dibalik taring makhluk lucu itu.
"Rei sangat tenang hari ini." Gumam Zean yang kembali tersenyum tipis.
"Kamu spesial karena bisa melihat sisi lain dari sesuatu yang jahat." Gumam Hikazu tidak tau arah pembicaraannya.
"Maksudnya, tuan?"
"Eh, maksudnya... Mata mu kurasa lebih jeli."
Senyuman lebar dan manis itu menular ke wajah Zean, bahkan hampir membuatnya tertawa. Entah kenapa suasana menjadi lebih cair, walaupun pada kenyataannya tidak berdampak apa-apa bagi Amayara yang masih menatap datar serigala yang berada sejajar di depannya. Sejenak Hikazu terpaku melirik Amayara yang terlihat memendam sesuatu di suaranya.
"Jujur saya, tuan Hikazu. Anda sepertinya orang yang paling beruntung hari ini." Amayara bersuara lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments