Pada ruangan putih minimalis dan sederhana yang sunyi pria berjas rapi terlihat mondar-mandir gelisah sambil membaca selembar kertas di tangannya dengan serius. Pupil manik merahnya tegang, lekat menelusuri setiap huruf pada kertas itu dengan raut datar yang tidak menyembunyikan kegelisahannya sedikit pun.
Hanya ada pria itu seorang di sana, ditemani oleh bunyi langkah sepatu kerasnya dan jarum jam yang bergerak di setiap detik. Telah beberapa saat berlalu pria itu masih mondar-mandir dan pada akhirnya berhenti, matanya menjadi tajam ketika tiba-tiba mendengar grasak grusuk berisik dari dalam plafon.
Kakinya mendekat ke asal suara, melangkah hati-hati ke bawah plafon yang memiliki pola berbeda dari plafon lain yang berpola teratur. Seorang pria gagah berotot kekar dengan pakaian serba hitam melompat turun ke lantai dari plafon berpola berbeda tadi. Bukannya terkejut, pria dengan manik merah tadi tetap tenang dan datar menjaga ekspresi ketika pria berotot mendekat.
"Tuan Equa, Maaf.. Kami gagal merebut kembali chip Otoko dari anggota Deeper Stuck yang mencurinya." Ucap pria berotot itu dengan sorot mata yang sedikit turun ke lantai.
Mendengar itu Equa langsung mendengus ketus, membuang muka dan berbalik, mulai mondar-mandir gelisah seperti sebelumnya sambil mengigit sedikit ujung kuku. Terus begitu dia selama beberapa saat. Pupil Equa dan sorot matanya tegas menyusuri lantai yang langkahnya lewati.
Pria berotot terkejut melihat Equa yang nampak gelisah, tapi kenapa? Apa yang Equa takutkan dari organisasi kecil seperti Deeper Stuck?
"Maaf, tuan.. Kami janji akan berusaha merebutnya lagi." Pria berotot masih menunduk merenungi kegagalannya.
Tiba-tiba saja Equa mendekat padanya, tangannya mencengkram kedua bahu pria berotot dengan erat, manik merah darahnya menyala tegas menatap pria berotot yang sebelumnya tertunduk. Mata mereka bertemu, betapa takut dan gugupnya pria berotot berhadapan mata langsung dengan Equa yang nampak seram seperti setan.
"Tapi setidaknya kalian bisa melukai salah satu dari mereka, kan Rein?" Nada Equa menjadi berat dan tegas.
"T-tidak tuan. Sebelumnya intel terbaik kita berhasil menyusup dan masuk. Tapi gagal, mereka lebih cepat menyadarinya dari dugaan saya."
Sungguh gugup Rein hingga keringat dinginnya tidak tertahankan lagi. Liurnya tercekat di tenggorokan, terasa kelu karena takut. Begitu mendengar jawaban Rein, Equa justru semakin gelisah dan frustasi, dia melepas kasar tangannya dari bahu Rein dan berbalik menuju satu-satunya meja kerja di sana.
"Intel kita itu.. mati ditembak mereka, tuan." Sambung Rein hati-hati, namun semakin memperburuk keadaan.
"Bagaimana bisa? Intel terbaik dan cekatan yang biasanya membunuh sepuluh orang sekaligus seperti dia saja terbunuh. Yang benar saja Deeper Stuck sialan itu!"
Rencana sebelumnya telah tersusun rapi oleh Equa, tapi hanya karena beberapa orang semuanya jadi berantakan. Tidak ada yang dapat diperbaiki dalam rencananya, hancur lebur. Equa berdiri di belakang meja dan menyandarkan tangannya di sana. Tatapannya terlihat kosong ke depan sambil termeenung, alisnya mengkerut dan dia menghela nafas kasar yang marah beberapa kali.
"Apapun yang terjadi kalian harus merebut chip nya dan membunuh mereka semua besok malam saat acara pelelangan."
Suara Equa menjadi tegas dan dingin menyusuri tajam pada Rein yang mengangguk pelan tanpa imbuhan sebelum pergi. Ruangan semakin terasa dingin dengan kepergian Rein dari sana, raut marah Equa tidak berubah memandang foto-foto dan biodata anggota Deeper Stuck yang ada di atas meja.
"Dasar iblis!"
Gigi Equa terkatup rapat saat tangannya dengan emosi meninju sekumpulan kertas biodata itu sampai terhambur kemana-mana dari meja. Kepalannya kuat dan erat menimpa beberapa kertas biodata yang berhasil tertahan diatas meja karena getaran tinju yang mengguncang barang-barang di atas meja.
"Sialan kalian!"
Malam itu begitu dingin di balik bayangan yang menyembunyikan pengintip diantara kegelapan. Gelap nan hampa malam dihiasi oleh gemerlap titik-titik biru kunang-kunang laut yang mengejar laju pelan buritan kapal di air. Sementara bulan terus berjalan, turun ke langit malam barat digantikan oleh fajar yang membawa cahaya matahari naik bersamanya dari timur.
Mentari begitu bersemangat untuk menampakan diri pada retina dengan angin sejuk yang ikut datang bersama, berhembus menerpa helaian kain dan kulit halus orang-orang yang sedang menikmati indahnya bentangan laut dari dek kapal.
Tidak ada hari dan sudut yang sepi di dek kapal, selalu di penuhi oleh rasa penasaran dan kepuasan orang-orang yang menikmati birunya laut dan langit. Degupan tapak kaki di lantai dek terdengar ramai dengan berbagai tempo langkah. Ada yang pelan, ada yang terburu-buru dan ada juga yang berlari, membuat irama acak di sekitaran.
"Kataia." Panggil Hikazu yang berdiri kokoh di tengah-tengah dek kapal sambil menghela nafas frustasi.
"Ck! Sudah bilang aku tidak mau!"
Hanya ada satu orang yang bisa membuat Hikazu nampak frustasi bahkan di tengah-tengah keramaian orang, yaitu Kataia. Baru kali ini dia melihat orang yang sulit untuk dikendalikan, biasanya siapapun itu akan mudah dia taklukan, tapi tidak berlaku untuk Kataia.
Kataia berlari cepat membawa segelas minuman berwarna merah muda di tangannya dengan tangan lain menutup permukaan gelas, menjauhi Hikazu yang berjalan cepat mengejar di belakang. Sebenarnya bisa saja Hikazu berlari dan menyusul Kataia, tapi mereka sedang berada di tengah-tengah keramaian yang sedang memperhatikan, tentunya Hikazu harus jaga muka di depan orang-orang itu. Jadi dia hanya bisa berjalan cepat dan meringis frustasi dengan kelakuan wanita itu.
"Serahkan gelas itu kemari." Ucap Hikazu dengan suara yang mengeras sambil mengulurkan tangannya.
"Tidak mau! Kenapa?!"
"Itu wine, kan?"
"Bukan! Ini itu susu rasa anggur!" Decak Kataia panik karena Hikazu yang hampir menyaingi langkahnya.
"Kalau begitu kenapa kamu kabur? Huh? Kemari, kemari!"
Sekeras apapun Kataia berlari, Hikazu akan bisa menyusul dengan langkah cepat kakinya yang panjang. Nasib bagi Kataia yang pendek dan untung bagi Hikazu yang menjulang tinggi ke atas bagai Titan yang hendak menelan Kataia.
"Hei! Hei! Dengar tidak?" Langkah Hikazu semakin cepat seiring sepinya dek yang mereka lewati, dia berhasil menyusul Kataia dan menarik segera kain bajunya.
"Ck! Ini susu rasa anggur!" Sungut Kataia yang sudah tidak berdaya di tangan Hikazu sambil sedikit berpaling.
"Masa? Mana bukti nya? Sudah aku bilang tidak boleh, tetap saja kamu sulit untuk dilarang."
"Ini susu rasa anggur! Ishhh!!"
Kesal dengan ketidakpercayaan Hikazu, Kataia menyodorkan paksa pinggir gelasnya ke bibir pria itu, kasar, sampai terantuk ke gigi. Untungnya Hikazu tidak sesensitif itu, dia hanya diam dan menyesap pinggir gelas di bibirnya. Gelas itu turun, Kataia menunggu reaksi Hikazu yang sedang mengecap rasanya hingga ke langit-langit mulut.
"Hmm... Ini wine, Kataia. Sok pintar sekali kamu menipu ku." Alis nya mengerut, terlihat kesal.
"Wine kan anggur, tidak salah kan ucapan ku?" Tidak salah, tapi tidak benar juga.
"Tetap tidak boleh."
Tanpa Hikazu sadar sendiri, tangannya mengendurkan cengkraman pada pakaian Kataia sedari tadi, membuat Kataia memiliki kesempatan untuk kabur. Dalam waktu seperkian detik saja, Kataia berhasil lepas dari Hikazu, kembali berlari lebih kencang lagi untuk meloloskan diri.
"Dadah! Aku pergi dulu." Seru Kataia kegirangan lepas dari Hikazu, dia tersenyum nakal sangat lebar saat berlari sambil melirik ke belakang.
"Astaga! Kataia!!!" Lagi, Hikazu menghela nafas kasar dengan kelakuan Kataia sambil memegangi jidatnya frustasi.
Saat lagi frustasinya, entah dari mana Azari tiba-tiba saja datang dari belakang menepuk pundak Hikazu. Dia terkekeh geli sambil menutup mulutnya melihat Hikazu yang lemas karena frustasi.
"Tidak usah mengejek, aku tau maksud mu." Ucap Hikazu datar.
"Syukurlah kalau kamu paham."
Masih dengan senyum mengejek Azari melewati Hikazu yang pada akhirnya ikut menyusul berjalan bersama nya di belakang. Langkah mereka kokoh dan elegan, berwibawa dan berkharisma melewati banyaknya orang yang bersantai di dek yang dilewati. Orang-orang terpana melihat kecantikan dan ketampanan mereka, definisi nyata dari istilah pasangan serasi. Namun bukan itu kenyataannya.
"Risih juga di lihat terus seperti itu." Gumam Azari menghela nafas ringan.
"Mereka bilang kita terlihat seperti pasangan serasi. Bagaimana menurutmu?"
Sambil tersenyum jahil Hikazu menyusul langkah Azari di depan dan merangkul bahunya. Namun tidak seindah realita, kebaikan itu tidak sambut ramah oleh Azari yang langsung menatap tajam Hikazu dan mendorongnya dengan kasar.
"Dasar buaya darat! Berhenti menggoda wanita seperti itu, atau aku akan memotong 'itu' mu." Ancam Azari yang hanya di sahut dengan cekikikan Hikazu.
"Uu~ Takut."
Setelah puas menggoda Azari, Hikazu menjadi hening, fokus berjalan mengikuti langkahnya dengan kedua tangan di dalam saku celana. Hal kecil seperti itu saja dapat membuat wibawa nya bertambah, apalagi di tambah dengan rambut lebatnya yang di terpa angin dan senyum tipisnya yang manis. Tapi sayangnya.. ada orang yang tidak bisa dia taklukan, contohnya orang modelan seperti Kataia.
Langkah mereka yang awalnya lurus berbelok saat sudah tiba di tengah-tengah dek kapal menuju ke sebuah pintu, ke sebuah kamar yang tersusun rapi dan bersih di dalam. Kamar itu kosong, namun nampak pernah di huni. Ya, itu adalah kamar Azari dan Goro yang sepertinya sangat akur, terlihat jelas dari perabotan yang tidak banyak bergeser dari tempat asalnya.
"Umh.. Enak sekali.."
Selagi Azari nampak mengobrak-abrik sebuah laci meja, Hikazu berjalan ke kasur, berbaring sambil merentangkan kedua tangan dan kakinya untuk menikmati kasur mereka dari segala arah dan sisi. Benar sungguh nyaman jika dia bisa tidur disana, mengingat dia kurang bisa tidur karena dihimpit habis-habisan oleh Kataia ke tembok tadi malam.
"Ini, aku sudah membagi nama-nama anggota Otoko. Sekarang kita hanya perlu pergi untuk membereskan mereka sebelum perjalanan ini berakhir."
Selesai menemukan apa yang dicari di dalam laci Azari menghampiri Hikazu dengan secarik kertas kecil di tangannya. Dengan segera Hikazu pun bangkit dan mengambil kertas itu, lalu membaca sekilas tulisan-tulisan kecil yang tertera di sana sebelum memasukkannya ke dalam saku.
"Yah.. Kalau bisa sebelum pelelangan nanti malam. Tapi sepertinya tidak mungkin."
"Mudahan saja bisa. Ya, kalau tidak bisa, kita masih ada hari besoknya lagi." Balas Hikazu mendekati Azari hanya untuk menepuk lembut bahu nya.
Bibir tipisnya seperti biasa terangkat, menampilkan senyum manis yang bisa membuat siapa saja diabetes dan tidak ada obatnya. Untungnya Azari sudah kebal dengan jurus dan modus Hikazu, jadi yang dia rasakan saat ini hanya terasa seperti sebuah support sistem dari seorang teman. Mungkin jika orang lain akan meleleh dengan sikap Hikazu yang seperti itu.
"Hati-hati." Dengan gemas Hikazu meletakkan tangannya di puncak kepala Azari dan mengacak-acak asal rambut yang sudah tertata-tata sangat rapi itu sebelum langkahnya berjalan menuju pintu.
"Syalan kamu." Decak Azari sedikit kesal.
Azari menoleh, menatap pada punggung Hikazu yang perlahan menjauh menuju pintu dengan senyum tipis. Punggung lebar dan keras, kuat dengan segala beban yang di pikul nya di sana. Sosok yang selalu bersamanya beberapa tahun ini, orang yang paling baik yang pernah dia temui.
"Kataia bagaimana?" Teriak Azari sebelum Hikazu benar-benar keluar dari kamar.
"Aku akan mengurus orang itu juga. Tenang saja." Suara nya tenggelam seraya dirinya menghilang dari balik pintu.
.
.
.
"Nona muda tidak sedang bersama saya, nyonya." Ucap suara berat seorang pria berbicara pada benda pipih bercahaya yang ada di tangannya.
Asal suara itu datang dari sosok Zean yang berdiri tegak di sebuah lorong kabin, dia sendiri di sana, berbicara dengan gestur sopan pada orang yang berada di seberang telepon. Lorong itu begitu sunyi dan senyap ketika dia membuat suara yang memecah keheningan di tempat itu.
"Baik, akan saya sampaikan jika bertemu dengan nona." Begitulah panggilan telepon itu mengakhiri pembicaraan diantara mereka.
Setelah panggilan itu berakhir Zean memasukkan ponsel ke dalam saku nya dan berjalan menyusuri lorong itu dengan langkah kaki nya yang tenang mengarungi setiap ubin lantai itu. Namun pada belokan lorong
keheningan nya pecah oleh langkah kaki yang menderap di depannya. Tidak Zean duga tentang kejadian yang akan terjadi selanjutnya saat seorang pria dengan tubuh tinggi dan berotot tiba-tiba menabrak bahu nya dari titip buta padangan.
...DRAPP...
Zean dan pria itu hampir kehilangan keseimbangannya ketika bertabrakan. Untung saja keduanya mampu menopang tubuh masing-masing sehingga tidak terjatuh dan masih sempat-sempatnya menatap satu sama lain untuk mengenali.
"Ah maaf, saya— Pria itu terdiam menatap Zean dengan heran dan alis yang mengkerut. "Lah! Zean?! Kamu di sini? Naik apa kamu kemari?!"
"Tuan Nichioro?" Latah Zean yang sontak mengenali paras pria itu ketika pandangan matanya kembali.
Seketika itu juga keduanya hening mencoba memahami apa yang terjadi. Zean merasa tegang dan Nichioro merasa keheranan dengan apa yang dia lihat. Hingga itu berakhir ketika beberapa tapak kaki menderap tergesa-gesa didepan mereka bersamaan dengan teriakan berat dari sejumlah orang, tepatnya di sisi lain belokan pada lorong.
"Hei dia ke sini tadi!"
"Disini! Disini!"
Alisnya kembali mengkerut, dia nampak sangat kesal dengan kedatangan suara teriakan yang memacu cepat respon dari telinga Nichioro untuk mengirim sinyal ke otak agar segera bertindak.
"Ck! Sialan!" Tanpa menoleh kembali ataupun berpamitan, dia segera memasang kuda-kuda kaki, menghilang dalam sekejap dari pandangan Zean dengan larinya.
Benar saja, hanya dalam beberapa detik berlalu setelah menghilang nya Nichioro, sekumpulan orang itu langsung menghampiri Zean yang menjadi satu-satunya orang di lorong itu ketika mereka tiba. Tatapan mengintimidasi mereka menatap tajam pada Zean. Dada kekar mereka berkedut di balik baju kaos yang sedikit basah karena keringat dan nafas yang memburu.
"Apa kamu liat seorang pria tinggi dengan gantungan kunci boneka badut di pinggang nya?" Tanya salah seorang dari mereka dengan suara rendah yang keras.
"Aku disini dari tadi, tapi tidak melihat seorang pun yang lewat selain kalian."
"Kamu yakin?"
"Tentu saja. Lagipula orang gila mana yang akan memperhatikan gantungan kunci boneka badut di pinggangnya?" Celetuk Zean membenarkan dasi nya sambil menatap berani mata pria di depannya.
"Kalau begitu orang itu adalah aku." Alisnya mengkerut tanda tidak senang.
Siapa sangka akan ada orang yang sangat teliti mengingat buruannya. Mungkin jika buruannya itu Zean, mereka bahkan akan mengingat tonjolan peniti pada baju di bagian belakang punggung Zean. Namun walaupun tampang mereka begitu sangar dan spek antagonis, orang-orang itu ingat tempat mereka berada.
Jikalau mereka membuat keributan di kapal, bisa saja petugas keamanan Vilang melempar mereka ke air untuk makanan ikan. Tidak ingin membuat keributan orang yang berbicara sedari tadi, yang sepertinya adalah pemimpin dari sekumpulan itu memilih untuk melewati Zean dengan sedikit senggolan kasar pada bahunya. Langkahnya dibayangi beberapa orang-orang di belakang yang juga menyenggol dengan sengaja bahu Zean hingga dirinya tergeser.
Seakan tidak terjadi apa-apa Zean hanya diam sambil membenarkan dasinya, melanjutkan jalannya tanpa mempedulikan orang-orang yang telah lewat di belakang punggungnya itu.
Sementara di tempat lain derapan lari Nichioro masih menggema di ubin lorong. Dia nampak panik dan tergesa-gesa, menarik gagang pintu demi pintu kamar yang tertutup di lorong, sayangnya tidak ada satupun kamar yang dapat dia buka. Sedangkan suara orang-orang tadi kembali terdengar dari kejauhan.
"Sialan! Sialan!"
Disaat Nichioro sudah sangat genting, keajaiban berpihak padanya pada detik-detik terakhir. Dari sekian banyak nya pintu yang sudah Nichioro coba untuk buka, ada satu pintu yang tidak terkunci. Dia segera masuk ke dalam kamar itu tanpa pikir panjang dan peduli dengan apa yang akan menunggu dia di dalam. Punggungnya bersandar pasrah pada permukaan pintu.
Sesaat Nichioro terdiam memandangkan kamar itu, redup dan lembab. Lalu tatapannya menelusuri sudut lain yang lebih gelap dan dingin dengan sesosok wanita berambut panjang dan berkemeja feminim berdiri kokoh pada di sisi lain ruangan. Wanita itu menggenggam sepasang sarung tangan hitam berdarah-darah di tangan, menatap dingin seorang wanita yang terkapar tak bernyawa depannya.
"Kataia?" Lirih Nichioro dengan wajah yang perlahan menjadi pucat pasi.
Dalam sekejap darah Nichioro terasa menjauh dari kepalanya, terasa dingin dan hampir kehilangan akal karena kaget. Begitupun Kataia yang awalnya hanya datar menjadi sangat kaget atas kehadiran Nichioro.
"Kamu?! H-Hei!! Aku, aku— kamu kenapa bisa di sini?!"
"Ah, k-kebetulan sepertinya." Balas Nichioro sedikit tergagap.
Bukan hal yang tidak biasa bagi mereka melihat hal yang berdarah-darah seperti itu. Tapi ini pertama kalinya Nichioro melihat wanita seimut dan semanja Kataia menjadi kejam di depan mangsa. Untuk Kataia sendiri dia hanya takut akan Nichioro yang telah melihat hal yang tidak ingin dia tunjukan.
...DRAK DRANKK DRAKK DRAKK...
"HEI! BUKA!"
"KAMI TAU KAMU DI DALAM! BUKA!"
"DASAR BAJINGAN! BUKA!"
Entah bagaimana caranya orang-orang tadi menyusul dan mengetahui keberadaan Nichioro dengan cepat. Yang pasti orang-orang itu telah berada di balik pintu di belakang punggung Nichioro sekarang. Pintunya bergetar, hanya tertahan oleh engsel pintu dan punggung Nichioro yang menahan nya sedikit.
Walaupun kejadian itu sedikit membingungkan, tapi Kataia bisa memahami bahwa keadaan Nichioro sedang dalam bahaya, bukan hanya Nichioro tapi dirinya juga. Dengan sigap Kataia menggeser mayat wanita yang ada di depannya tadi ke kolong kasur dan dia melompat melangkahi kasur itu, lalu menarik cepat kerah depan kemeja Nichioro menuju ke kasur.
"Hei! Kenapa?!" Pekik Nichioro berbisik dengan nada yang panik dan kaget.
"Diam saja kalau masih ingin hidup."
Sampai di tepi kasur Kataia menjatuhkan dirinya bersama Nichioro yang juga kehilangan keseimbangan dirinya dan jatuh dengan hanya bermodalkan topangan lengan di sisi kepala Kataia. Dalam sekejap wajah Nichioro memerah bagaikan tomat, wajah mereka sangat dekat di sana sampai-sampai Kataia bisa mendengarkan jelas suara detak jantungnya.
"Ada apa dengan mu?" Kataia terkekeh melihat reaksi Nichioro yang semakin parah, bahkan kali ini telinga pria itu yang memerah.
"Maksudnya apa menempatkan diri kita seperti ini?"
"Kamu akan tau." Seringai Kataia penuh arti.
Ide Kataia memang kadang sulit untuk prediksi. Bahkan tanpa Nichioro duga, Kataia dengan berani meraih dan membuka satu persatu kancing kemejanya, membuka setiap kancing tanpa ada rasa malu di wajahnya. Lagi, semakin parah lagi merah pada wajah Nichioro. Dia menatap lekat mata kosong Kataia, lalu berpindah pada tangan Kataia yang tanpa dia sadari berpenampilan berbeda seperti biasanya.
Kulit tangan putih pucat yang mulus dan lembut membuka tanpa ragu kemeja nya sampai bawah, membut kain putih kemeja itu menjuntai di lengannya. Otot dada keras dan kekar itu berkedut dengan nafas tersengkal. Tapi untuk penampilan sispek otot pria yang telah Kataia lihat selama ini, itu hanya bentuk biasa yang berada di atas rata-rata. Yang perlu diperhatikan adalah keringat Nichioro yang perlahan keluar dari pori-pori ototnya.
"Kataia." Panggil Nichioro susah payah meneguk liur nya yang tercekat di tenggorokan.
"Hm?"
Belum cukup dengan tindakannya sekarang yang di luar nalar, Kataia kembali berulah berlebihan lagi. Dia melonggarkan dasinya dan membuka beberapa kancing atas kemeja.
"BUKA!"
"BERANI NYA KAMU MENGUSIK BOS KAMI!"
Pintu terus bergetar diketuk dengan keras, bahkan lebih kuat lagi sampai pintu itu sendiri retak dan hampir pecah. Teriakan orang di luar terdengar jelas, terasa mencekam dengan nuansa dingin yang berubah menjadi panas. Terus menerus pintu itu dihantam oleh otot-otot titan di luar.
...BRAKKKK...
"KAMU!"
Hingga pada akhirnya benteng pertahanan komponen pintu kayu kokoh itu hancur berkeping-keping, tidak sanggup untuk menahan hantaman yang bertubi-tubi dari luar. Engsel pintu hancur, rusak dan sedikit terbuka disusul oleh bayangan tubuh kekar besar orang-orang yang membayangi cahaya dari lorong masuk ke dalam ruangan redup.
"Euh.."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments