Soka mengantarkanku hanya sampai lobby, aku merasakan kejanggalan karena dirinya tergesa-gesa meninggalkanku.
Aneh! Padahal tadi matanya tak lepas dariku, siapa yang ingin ditemuinya?.
"Nyonya, masuklah dahulu, ada urusan yang harus saya selesaikan," ucapnya begitu menerima sebuah pesan ketika dalam perjalanan.
Tak kuhiraukan dirinya karena aku merasa bebas untuk sesaat, tak ada mata yang mengawasi gerak-gerikku lagi. Kakiku melangkah ringan menuju lift khusus.
"Nyonya Zephyr," panggil resepsionist menghentikan langkahku. "Ada kiriman buket bunga serta seorang tamu menunggu di sana." wanita muda itu menunjuk ke arah ruang duduk dimana tamu biasa menunggu.
Ku ucapkan terimakasih saat menerima seikat bunga berwarna-warni terselip undangan disana, bertuliskan untuk Nyonya Zephyr.
Nyonya Zephyr, aku tertawa kecil ketika mengulang kata itu dalam hati. Sambil menggenggam bunga, kuhampiri tamu yang duduk membelakangi arah datangku.
Tamu untukku? Siapakah dia?. Tanyaku dalam hati.
Semenjak tinggal di griya tawang, aku jarang mendapatkan tamu atau lebih tepatnya tidak pernah. Hatiku sedikit cemas dengan tamu tak di undang ini.
"Garreth," sapaku. Aku terkejut sekaligus girang mendapati dirinya di sini. Dia berdiri dan memelukku seperti yang biasa di lakukannya. "Bagaimana kabarmu?," tanyaku.
Dia melepaskan pelukannya dan memandangku sebelum menjawabnya, "Baik," balasnya. "Nona juga terlihat sehat," ucapnya.
Senyuman menghiasi wajahku, senang dengan kedatangannya. "Kau sengaja menengokku?."
"Begitulah," jawabnya.
Aku tak berani membawanya ke atas, akan bermasalah kalau Topaz mengetahuinya. "kita ngobrol di sini yah," ajakku.
Dia menganggguk menyepakati ucapanku, "tak masalah."
Aku kembali melanjutkan pertanyaanku, "lalu pekerjaanmu?."
"Sudah resign." Aku kaget mendengar jawabannya, yang hanya di balas dengan senyum tipis. "Sekarang aku membantu di perkebunan."
Ekspresi heran tak bisa kututupi mendengar info darinya. "Wah! kau serius dengan ucapanmu?," tak mempercayai perkataannya.
Dia mengangguk, "uhm, hanya belum ada waktu mengatakannya pada nona."
"Oh. Kenapa?," tanyaku, "kau sudah mendapatkan pekerjaan bagus dan bisa meraih mimpimu."
"Aku hanya ingin membantumu, nona. Lagi pula ayahku sudah tua, sudah waktunya pensiun. Hanya itu," jelasnya malu.
"Aku kagum dengan pemikiranmu," ucapku bangga, "hal apa yang membawamu menemuiku?," rasa ingin tahuku tak bisa ku sembunyikan.
Garreth menyerahkan surat padaku, "aku di suruh ayah menyerahkan ini."
Kuterima surat itu dan kubaca. surat tersebut dari pengacara mendiang ayahku, yang mengharuskanku hadir untuk pembacaan wasiat pada beberapa hari yang lalu.
"Aku tak menerima surat ini," ucapku polos.
"Mungkin seseorang membuangnya," sindirnya.
Aku melirik ke arahnya merasakan ketidaksukaannya, "Maksdunya?."
Garreth segera merubah sikapnya, "Tak usah di pikirkan aku hanya bicara omong kosong," jelasnya, "Nona, bisa datang ke Rosewood senin nanti."
"Aku harus meminta ijin suamiku," jawabku ragu. Garreth menangkap kecemasan dari jawabanku.
"Dia melarangmu?," tanyanya sedikit kasar. Kutatap matanya yang kini serius menuntut jawaban dariku.
"Bukan, hanya aku.. "
Garreth menyela ucapanku, mimik wajahnya memancarkan aura marah sebagian khawatir. "Apa dia menyakitimu lagi?," tuduhnya.
"Bukan seperti itu," aku berusaha menenangkannya.
"Nona jawab jujur. Dia tidak memperlakukanmu dengan baik kan, kau menderita di sisinya? benar kan!," tebaknya. Suaranya tegas, matanya mengamati wajahku menunggu reaksiku
"Kau berlebihan Garth. Tidak seperti itu," jawabanku tak meyakinkannya. Aku kikuk di tatap olehnya. Tak pernah kulihat ekspresinya yang seperti ini sebelumnya. Maskulin, galak bercampur perhatian.
"Jadi," tuntutnya yang tak puas akan penjelasanku.
"Tak bisa kujelaskan persoalan rumah tanggaku." Sahutku mencoba angkuh untuk mengalahkan intimidasinya terhadapku.
Hela napas terdengar darinya. "Aku tahu nona. Tapi kalau dia menyakitimu, aku tak menerimanya," tegasnya.
Aku memberikannya pengertian sebisa mungkin agar tak terjadi salah paham. "Hubby tidak seperti itu. Sudah kubilang bukan.. "
Lagi-lagi Garreth memotong ucapanku. "Aku hanya khawatir."
"Aku mengerti perasaanmu sebagai kakak. Hubby memperlakukanku dengan baik, yang terjadi kemarin hanyalah salah paham saja. Dan sekarang komunikasi kami berjalan baik," terangku kepadanya.
"Bukan kakak," gumamnya. Perubahan ekspresinya menjadi sedih membingungkanku.
"Kau bicara apa Garth?," tanyaku.
"Bukan apa-apa." senyuman kembali di wajahnya yang sesaat tadi murung.
Kualihkan pembicaraannya, "akan kuusahakan datang senin nanti," kataku.
"Uhm oke," balasnya, "akan ku sampaikan pada ayah agar menghubungi pengacara itu," jelasnya.
"Ada hal lainnya?." tanyaku yang menangkap ekspresi kegelisahan di wajahnya.
Dia menatapku, menimbang reaksiku sebelum mengatakannya. 2 menit waktu yang dibutuhkannya sebelum memulai kembali.
"Lalu yang kedua adalah masalah cek yang nona berikan."
"Oh ada apa dengan itu?," tanyaku panik. Senyum kembali mengembang di wajahnya.
"Tak ada yang terjadi dengan cek itu, masih aman," ucapnya dengan nada jahil.
"Maksudku," Ragu sejenak untuk melanjutkannya, dia menatapku sejenak lalu kembali menyambung ucapannya yang terputus. "Apakah nona tertarik untuk memproduksi sendiri anggur yang nona tanam, misalkan sebagai produk lain selain wine."
Aku menyimak mendengar idenya. Binar mataku tak dapat aku sembunyikan akan proyek yang di katakannya. Melihatku yang antusias, dia melanjutkan.
"Aku tahu keberhasilannya belum tentu 100% namun setidaknya kita bisa menghasilkan lebih dan aku pun akan mencari investor bila proyek berjalan sukses. Bagaimana pendapat nona?."
Aku masih mendengarkan idenya dan mulai membayangkannya. "Aku akan menggantinya bila proyek ini merugi," jaminnya.
"Kau tak perlu seperti itu, anggap aku insvestor saja dengan uang itu."
"Nona kau terlalu baik. Bisnis tak seperti itu."
"Aku tak mengerti akan hal itu Garth. Kapan aku pernah terjun ke dunia kerja ataupun mempunyai bisnis sendiri," ucapku menyesali tak belajar dari mendiang ayahku.
"Kau harus mempelajarinya, mulai dari membaca misalnya," usulnya.
"Membaca dan praktek berbeda Garth."
"Betul, tapi seenggaknya nona yang punya ide biar aku yang mempraktekkannya. Bagaimana?," tawarnya.
"Ide bagus," aku menyetujuinya.
"Pikirkanlah, sebelum uang nona hilang karena ku," candanya.
Aku tertawa lepas mendengarnya berbicara begitu. "Sudah lama tak melihatmu tertawa seperti ini, seringlah tertawa, nona terlihat cantik," pujinya.
Aku tersipu malu, "Garth gombal. Simpan pujianmu untuk wanitamu kelak." Garth hanya tersenyum sedih mendengar perkataanku.
"Bunga yang indah" tunjuknya.
"Entahlah aku belum membukanya."
Kubuka undangan bertinta emas itu.
...Teruntuk: Ny. Zephyr,...
...Datanglah ke pesta di club Peridot jam 11 malam ini, suamimu menunggu dengan sebuah kejutan....
...Ps. undangan ini sebagai kartu pass untukmu....
"Kenapa?, ada masalah?," tanyanya melihatku yang berpikir keras.
"Sebuah pesta," ucapku lesu. Dia mengambil kartu dan membacanya.
"Kau harus datang, biar aku yang mengantarmu," tawarnya.
"Entahlah, aku sudah mengacaukan 2 pesta penting. Sepertinya pesta bukan bagian dari diriku," ucapku sedih.
"Datanglah, disini tertulis suami nona akan memberikan kejutan. Akan ku temani," senyumannya memberikan semangat untukku. Aku mengangguk menyetujuinya.
"Istirahatlah, akan kujemput sekitar jam 10 an di sini," janjinya.
"Makasih Garth. Lantas di mana kau menunggu?," tanyaku yang merasa bersalah tak bisa membawanya ke tempatku.
"Nona tak usah khawatirkan aku. istirahatlah, kita ketemu jam 10 ya," pamitnya. Aku berpisah dengannya.
Pikiranku cemas, ini adalah klub milik Cetrine, bagaimana caraku menghadapinya nanti, terakhir bertemu aku mengacaukan pestanya dan kemarahan serta tuduhannya terhadapku menggoreskan luka di hatiku.
...****************...
Peridot Club telah ramai menyambut pesta mewah pemilik hotel bintang 5 di Aquamarine, salah satu teman Cetrine semasa kuliah. Kenalan Topaz juga.
Mulai jam 10 pesta telah di buka, berbagai makanan dan minuman sengaja di bagikan gratis bagi pengunjung di lantai bawah.
"Thank You Cet, kau penyelenggara pesta luar biasa," puji sang pemilik hotel.
"Tentu saja, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh Cetrine Peridote," ucapnya penuh kebanggaan.
"Kecuali satu yaitu mendapatkan Topaz Zephyr," sindir seorang tamu pesta yang segera di sikut oleh temannya.
Cetrine menanggapinya dengan santai, "kata siapa aku tak bisa mendapatkannya. Topaz memujaku, akan ku rebut apa yang menjadi milikku."
"Tentu, kau adalah ratunya," celetuk seseorang.
"Nikmatilah pestanya, ada hal yang harus ku lakukan," ucapnya.
Cetrine melangkah keluar clubnya untuk memberitahukan penjaga agar mengijinkan masuk atas nama Ruby Zephyr.
Cetrine terlihat cemas karena waktu sebentar lagi pukul 11, pria yang di tunggunya tak kunjung datang. Beberapa kali mencoba meneleponnya pun percuma.
Untunglah tubuh tinggi Topaz terlihat di kerumunan. Mata Cetrine mengikuti langkahnya yang kian mendekatinya.
"Lihatlah, siapa yang datang," ucap Cetrine memamerkan Topaz. Para tamu bersorak riuh melihat Topaz dan beberapa menyalaminya.
"Kau memang luar biasa, bisa mendatangkan pria beristeri," bisik sang pemilik pesta. Cetrine hanya bisa tersenyum menanggapi celetukannya.
Topaz mendekati Cetrine, "aku datang jangan lupa dengan janjimu," bisik Topaz.
"Tentu honey." Jawabnya berbisik di telinga Topaz. Badannya menekan tubuh Topaz, "asal kan kau menurutiku malam ini, gosip si mungil akan ku redam. Percayalah, aku tak ingkar janji," jelasnya dengan suara mendayu_dayu.
Topaz berusaha menghindar berdekatan dengannya namun hal itu sia-sia, "jangan menolakku," ancamnya.
Pesta semakin semarak ketika permainan konyol mulai di mainkan. Mereka yang berada di lantai atas sedang bermain The King.
Inti dari permainan ini adalah siapapun yang mendapatkan kartu King akan memerintah pemegang kartu lainnya sesuai keinginan King.
"Lihat akulah King," sahut Cetrine bangga. "Aku ingin seseorang menciumku," godanya manja.
"Tebak dulu kartunya," celetuk pria di samping Topaz.
"Akankah kau mencium sang pangeran," timpal pemilik pesta dengan kekehan.
Topaz hanya duduk tak menghiraukan ocehan temannya itu.
"Aku harus menebak dengan benar kalau begitu," ujar Cetrine, "tak bisakah aku mendapat petunjuk." Cetrine mengedipkan mata meminta pertolongan orang di samping Topaz.
"Hentikan berbuat curang," gerutu pemilik pesta.
"ssst.. Kau tak berhak bicara," hardik Cetrine.
Ponsel Topaz berdering, melihat nama penelepon mendadak Topaz tergesa keluar dari ruangan. Cetrine tidak senang karena sikap Topaz itu.
Seorang pegawai masuk, membisikan sesuatu pada Cetrine, yang diakhiri dengan senyuman menggembang di wajahnya.
"Kalian bermainlah tanpa kami," pamitnya meninggalkan ruangan, mencari sosok Topaz yang masih sibuk dengan ponselnya.
Sementara itu di luar club Peridot, aku ditemani Garreth di persilahkan untuk masuk. Pengawal itu menunjukkan jalan pada kami.
"Tunggulah disini," kata pengawal itu.
Ini pertama kali aku datang ke Club, tempat ini terlihat elegan, bergaya modern berkelas. Ku edarkan pandangan dan mengenali sosok Topaz di lantai atas.
"Hubby," teriakku kegirangan yang tak mungkin di dengar.
"Mana?." Aku menunjuk ke atas pada seorang pria yang sedang menelepon.
"Nona yakin." Aku mengangguk yakin.
Seorang wanita menghampirinya, memutar badan Topaz dan seketika menciumnya. Dengan sigap kedua tangan Garreth menutupi mataku, tapi aku sudah dapat membayangkan bagaimana kelanjutannya, walau aku tak menyaksikannya.
"Sebaiknya kita pulang, itu bukan suami nona. Percayalah." Tangannya masih menutupi mataku, Garreth menuntunku keluar klub.
Sesampainya di luar Garreth baru melepaskan tangannya dari mataku. "Nona, kita pulang. Aku akan mengantarmu."
"Apakah wanita itu menciumnya?," tanyaku.
"Tidak," sahutnya.
"Kau berbohong Garth," tuduhku.
Tak ada sanggahan, tak ada ucapan, Garreth hanya mengemudikan mobil sedannya menuju griya tawangku.
"Nona, besok aku akan menjemputmu. Aku baru dapat kabar dari ayah bahwa pengacara ingin menemui besok."
Aku hanya menganggukkan kepalaku.
Entah bagaimana aku bisa sampai di griya tawangku. Kakiku rasanya bagai tak menapak di lantai. Berulang kali kupikirkan pun aku yakin bahwa itu adalah Topaz, suamiku, myhubby.
Aku termenung di sofa, lampu sengaja tak ku nyalakan. Dalam gelap ku berusaha menjernihkan pikiranku. Sampai tak kusadari pintu terbuka.
"Ruby," panggilnya terkejut mendapatiku di tengah kegelapan. "kenapa tak menyalakan lampu?," tanyanya menghampiriku.
Dengan sikapnya yang seperti biasa, Topaz melayangkan kecupan di pipiku, ketika mendekat ke arah bibir aku menolehkan wajahku, air mata berjatuhan tak terkendali.
Topaz bingung melihatku menangis, "kenapa? Kau sakit?." Aku menggelengkan kepalaku, Topaz merangkulku dalam pelukannya. Aku balas mendekapnya erat tak ingin kehilangan dirinya.
Akibat kelelahan menangis, aku tertidur di pelukannya. Topaz membopongku ke kasur dan menyelimutiku. Di tutupnya pintu kamarku.
Topaz meraih teleponnya, hanya satu kalimat saja "Kutunggu jam 7" lalu di tutupnya kembali. Ketika kembali ke kamar, aku sudah bersandar di kasur.
"Hubby,"
"Uhm,"
"Ini." Aku memberikan surat dari pengacara. "Besok aku harus pulang ke Rosewood, Garth akan menjemputku," jelasku.
"Kita akan bicarakan besok." Topaz melemparkan suratnya tanpa membacanya.
"Hubby, aku.. "
"Aku tahu yang kau lakukan Ruby. Dan apa yang ingin kau bicarakan, hanya saja waktunya tidak sekarang. Istirahatlah, please."
"Kau tahu aku di club peridot."
"Ya." Aku menutup mulutku mendengar jawabannya.
Jadi ciuman itu adalah kejutan untukku, begitukah hubby.
Topaz menaiki kasur setelah berganti pakaian, aku masih terpaku mendengar jawabannya.
"Kemarilah," perintahnya. Tubuhku selalu menuruti kemauannya tanpa membantah. Aku menyerukan kepalaku di dadanya, bermanja dalam gelungan pelukannya.
"Tidurlah. Akan ku ceritakan semuanya esok," janjinya.
Hubby, jangan kecewakan aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments