Chap 13

Angin malam nan sejuk menerpa wajah Raya dengan lembut, helaian rambut yang tertutup hoodiepun ikut melambai keluar, ia menunduk dan berjalan tak tahu arah.

Yang hatinya pikirkan hanyalah ketenangan.

"Bantuin mamahnya kenapasih kak?"

"Tadi kakak ada tugas kerkom mah"

"Ah... kerkom mulu kamu mah, dapet rangking nggak"

Tawa dari sang mamah lepas.

"Tau ya, suruh siapa Raya di lahirin bodoh"

Raya tertawa lirih, cuaca yang semakin dingin, candaan itu membuatnya paham niat sang mamah hanyalah bercanda.

Semua canda tawa di ruang tamu beberapa waktu terngiang dalam fikirannya, banyak sindiran yang bertajuk candaan.

"Si kakak lagi mau masuk pagi, orang bangunnya siang mulu".

"Loh emang bisa kardus di jadiin lemari?, hahh... Nanti baru di masukin baju satu langsung reot".

"Emangnya kamu sanggup kak, nanti di tengah jalan lomba udah angkat tangan, hahh...".

Ia menggelengkan kepalanya, mencoba menangkis semua ucapan yang berputaran di pikirannya.

Bagaimanapun ia memiliki andil dalam masalah yang terjadi.

Tanpa sadar ia sudah berada di jembatan layang, ia menghadapkan diri ke pembatas jembatan.

Matanya menelusur kesetiap penjuru melihat kerlap kerlip cahaya di ujung pandang yang cukup cantik di matanya.

Seulas senyuman tercipta.

"Raya kangen Bunda"

Raya mulai memejamkan mata dan menghirup udara.

Kenangan masa lalu tergambar jelas.

Masih ada rasa bersalah dalam hati.

*

*

*

Jauh menelusur kemasa lalu...

Ketika Raya masih duduk di sekolah dasar, sekitar kelas empat semester dua...

*

*

*

Saat itu sosok Raya yang baru saja pulang bermain, sekitaran pukul lima sore, ia duduk disamping sang Bunda yang sedang sibuk berkutat dengan setrika.

"Kak, bunda sesek deh"

Ada rasa ingin perhatian, namun...

"Yaudah minum obat"

Kemudian sang bunda kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya.

*

*

*

Raya ingat betul saat hari esoknya...

Ketika ia baru saja terbangun di pagi hari...

"Yang sabar ya kak..."

"Bunda udah nggak ada"

Saat itu...

Raya cukup terpukul, namun...

Anak-anak tetaplah anak-anak yang belum tahu apapun tentang hal tersebut.

Tanpa Raya ketahui...

Masa dimana rasa sepi setiap saat akan datang mewarnai harinya.

Tak akan ada lagi yang menyambutnya setiap hari, tak akan ada lagi perhatian kecil yang bundanya beri.

Rumah akan terasa dingin dan sepi, sang ayah akan bekerja, sang adik yang masih dalam usia paud pergi bermain sepanjang hari.

Ia tak akan menyangka bahwa ia akan tumbuh menjadi anak yang terabaikan dalam jeda waktu yang cukup lama.

Bahkan...

Ia sekarangpun selalu haus akan kasih sayang, haus perhatian, bahkan ia terkadang berpikir...

Apa dirinya harus sakit dulu agar dapat perhatian lebih.

Walau hanya sedikit.

Walau hanya sedikitpun tak apa.

Raya menghela nafas panjang, tanpa sadar air mata mulai menetes, ia naik satu tingkat ke pagar, melebarkan tangan, menikmati angin yang sejuk menenangkan hati.

Andai saja hari itu ia memaksa Bundanya untuk berobat...

Mungkin akan beda cerita.

"Raya!!"

ㄱㄱㄱ

"Ayah"

Senyuman mulai tercipta di wajahnya.

Angkasa yang melihat ayahnya duduk di kursi meja makan dengan hidangan tersedia di atasnya merasa senang.

Sangat jarang sekali ada hidangan sebanyak itu di meja makan.

Ia berniat untuk menghampiri.

Namun...

"Enak nggak sayang?"

Deg!

Tak lama figure seorang wanita masuk dalam kamera matanya.

Ada emosi yang tak terdeteksi olehnya, ia merasa sedih dan juga kecewa, senang namun juga tak rela, jadi sebenarnya apa yang dirinya rasakan?.

Tak lama wanita itu melihat ke arahnya.

Ia membeku.

"Angkasa ya?!, sini sayang"

Sang ayah juga menoleh ke arahnya, dia tersenyum.

Sebenarnya apa yang terjadi?.

Ia kalut dalam pikirannya.

Perempuan itu mendekat ke arahnya.

"Eih... kok kamu malah bengong ayo_" ucapan wanita itu terhenti.

Angkasa menghindari tangan wanita itu yang ingin menyentuhnya.

"Angkasa?"

Panggil wanita itu membuyarkan lamunannya, ia menoleh ke arah ayahnya.

"Kenali Sa, itu tante Fara"

Ia melihat ke pemilik nama, dia tersenyum.

"Ayo sayang, kita makan bareng"

Angkasa kembali menghindar ketika wanita itu ingin memegang pundaknya, ia membungkuk, memberi salam hormat.

"Terima kasih untuk tawarannya tante, tapi maaf saya nggak laper"

"Loh, kok gitu?"

Angkasa hanya membungkuk lalu pergi dari sana, tak mempedulikan panggilan ayah maupun wanita dengan sebutan Fara itu.

Air mata yang sudah terbendung di pelupuk mulai tak terkontrol, ia mengambil kunci motornya dan mulai pergi dari rumah.

Tiiin-tiiiin!!!!

"Aaaaaaaa!!!!!"

Air mata mulai menetes satu persatu, mengalir dengan deras.

Itulah ayahnya, ia bahkan belum bisa mengerti dengan sikap ayahnya yang selalu cuek, tak pernah mempedulikan perasaannya sedikitpun.

Semua bayangan masa kecil yang kelam tergambar, mulai dari yang ia dimarahi karna mengganggu ayahnya bekerja...

Merengek karna ayahnya tak datang di hari ulang tahunnya...

Angkasa menghela nafas berat, tenggorokannya mulai tercekat, bahkan hanya sekedar mengambil rapot saja ayahnya tak bisa.

Lalu untuk apa dirinya dilahirkan jika hanya untuk diabaikan?.

Angkasa mulai menangis sesuka hatinya.

Berjalan tak tentu arah, menyalib tanpa berpikir panjang, yang ia tahu hanyalah ia ingin menangis sepuasnya.

Sampai setengah jam kemudian...

Angkasa mulai berjalan sesuai arah, dirinya sudah mulai tenang, berniat untuk pergi kerumah temannya, ia menemukan sesuatu yang gila.

"Raya?"

Dengan cepat iapun menuju sosok yang ia kenali, memarkirkan motornya dipinggir jalan, saking paniknya ia bahkan belum melepas helmnya.

"Raya!!"

Srek!

Angkasa menarik Raya agar turun.

Raya yang tak siapapun akhirnya jatuh karna kakinya terkilir.

Dengan perasaan kesal iapun beranjak.

"Lo gila ya_ ssh!"

Angkasa melepas helm full facenya.

"Lo gakpapa?"

Raya meringis ketika merasakan nyeri di pergelangan kakinya.

"Gakpapa-gakpapa"

Raya mengecek pergelangan kakinya, ia memejamkan mata lalu menghela nafas dalam.

"Lo sih kak..., aduh..."

Ia melirik ke belakang dan mengambil ancang-ancang untuk duduk.

"Lo mau ngapain?"

"Duduklah, sini duduk"

Raya menepuk tempat di sebelahnya setelah dirinya duduk dengan sempurna, ia meringkuk seperti bayi.

Angkasa tersenyum lalu duduk di samping Raya.

"Sorry ya"

"Nggakpapa, lagian cuma kekilir"

Angkasa melirik ke arah tangan Raya mengusap, ia yakin kalau itu terasa ngilu.

"Kalau sakit tuh lurusin" Sambil membantu Raya meluruskan kakinya.

"Tapi nanti ganggu orang jalan" cegah Raya.

"Sst!, nurut"

Raya sedikit meringis.

"Pelan-pelan"

Angkasa mmemperhatikan kaki Raya yang tadi terkilir, kemudian melihat ke arah Raya.

"Sakit banget ya"

Raya menoleh, menatap wajah Angkasa intens dengan alis yang bertaut, berdecak.

"Nggak kak!, batu ih dibilanginnya" kemudian menengadahkan wajah menatap langit.

Angkasa terkekeh, ia menatap wajah Raya yang terkena sinar lampu redup jalan, kepalanya bersandar, sekarang pupilnya terlihat berbinar.

"Malam ini kayaknya kita sama yah"

"Hah?"

Angkasa yang tak mengerti hanya bisa tertegun.

Raya melihat ke arah Angkasa dengan raut bingungnya, ia tersenyum manis, tertawa kecil.

"Maksud lo?"

Raya melihat ke arah jalanan lalu menundukkan pandangannya sesaat, memainkan kukunya sejenak.

"Di paksa dewasa itu sakit banget ya kak"

Raya terkekeh, ia mengembalikkan atensinya pada Angkasa.

"Yakan?"

Angkasa mengalihkan pandangan, tak tahu mengapa melihat netra Raya ia merasakan sesak di dadanya, ia menyandarkan kepalanya ke pagar, menarik nafas dalam.

Tiba-tiba...

Pluk!

Angkasa sedikit terkejut ketika Raya menyandarkan kepala ke bahunya.

Terdengar isakan dari Raya.

"Kak"

"Hm"

"Di paksa dewasa sebelum waktunya itu nggak enak banget ya"

"Hah?"

"Nggak enak... banget, sakit juga nggak ada yang tahu, harus ngertiin orang tua, harus serba bisa sendiri..., harus ini... harus itu..."

Angkasa merasakan tenggorokkannya tercekat.

Ia memejamkan matanya sejenak, ia ingat dulu ia pernah merengek karna sakit, tidak mau minum obat sebelum ayahnya datang.

Bahkan mau ia menangis darahpun sang ayah tak akan peduli.

Angkasa menghela nafas panjang.

Raya tertawa.

"Kak..."

"Hm"

"Semangat ya"

"Hah?"

Raya mengelap air matanya, ia mengangkat kepalanya dari bahu angkasa.

"Gue gak tau masalah apa yang lagi lo hadapin, tapi..."

Raya menggantung kalimatnya.

Angkasa menaruh atensinya pada Raya, Raya menatapnya namun tiba-tiba dia tersenyum bahkan tertawa kecil.

Melihat itu senyumannya mulai kembali perlahan.

"Apa?" Tanya Raya yang membuat Angkasa ingin tertawa.

"Apah?"

"Apa?"

Mereka tertawa.

Angkasa menoyor kepala Raya pelan.

"Gak jelas lo"

"Hahh.., kali ini serius"

Raya dan Angkasa saling menatap.

Raya tersenyum dengan deretan gigi atas yang terlihat.

"Semangat ya kak, lo hebat".

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!