Kring!
Suara lonceng sebuah Caffee terdengar hingga sampai pada pegawai.
"Aya?!"
Raya yang berhasil kabur dari sekolah berniat bersantai di dalam sebuah Caffee, ia melambai pada pegawai yang ia kenali.
"Hai kak" Dia berjalan ke arah pegawai itu.
"Kabur kan pasti!, Kakak kan udah bilang jangan kesini pas_" Ucapan si pegawai terhenti karna Raya membekap mulutnya.
"Sst!!, berisik banget si lo kak, cepet bikinin gue kopi americano"
Tanpa peduli ocehan dari pegawai tersebut Raya berjalan ke kursi yang berada tak jauh disana, di pojok dekat tembok, tempat yang menjadi Favoritnya ketika berada di caffee ini.
Pegawai tersebut bernama Yohan, dia mantan tetangga Raya yang ketika kecil sering bermain bersamanya.
Sebenarnya juga Raya tak menyangka ketika sekitar dua bulan yang lalu dia melihat Yohan berada di caffee favoritnya.
Semenjak hari itu dia jadi lebih sering mampir kemari, apalagi jika sedang bolos.
Dan yang lebih buatnya terkejut adalah faktanya Yohan merupakan anak dari pemilik Caffee tersebut.
"Nih". Yohan menyodorkan pesanan milik Raya.
"Wiih..., cepet banget, thanks ya"
Raya menyeruput minumannya sambil sibuk memainkan ponsel dengan earphone bluethooth yang terpasang di kedua telinganya.
Saking asyiknya sampai ia tak mempedulikan keberadaan Yohan yang masih berada di tempatnya.
Yohan menghela nafas, ia duduk di samping Raya, mengelus rambutnya lebut.
"Ish, jangan ganggu dong kak, nanti mati ini!"
Ucap Raya yang ternyata sedang bermain game, ia menghendar agar tangan Yohan tak menyentuh kepalanya.
"Eh tolong gue woy!!, cepet-cepet-cepet!!!!!, Ck!, anjir lah"
Tuk!
Dia menaruh ponselnya di atas meja asal, ia menyisir rambutnya kebelakang.
"Hah..., temen bangsat!" cercanya.
Dia menyeruput minumannya, mengaduknya secara memutar, ketika sadar Yohan sedang memperhatikannya, ia menoleh.
"Kenapa liatin gue?" Tanya Raya kemudian menyeruput minumannya.
Yohan menampilkan sabitnya pada Raya.
"Kalo ada masalah tuh selesain... jangan kabur"
Raya menyeruput kembali munumannya, kemudian menaruhnya di atasnya mejaa.
"Apasih...?!, Sotoy banget lo, gue gak bilang ada masalah juga, orang cuma gabut aja gue"
"Iyadeh terserah lo, kemarin kemana kok gaak mampir?" Tanya Yohan.
Raya mengerutkan keningnya, menatap yohan aneh, terkekeh kecil.
"Katanya jangan kabur..., gimanasih lo kak?!, aneh lo..., gue berniat baik loh gak kabur eh tapi gue ditanyain kenapa gak kesini"
"Ck!, gak kabur juga Ay..., kan masih bisa pas pulang sekolah"
Raya menganggukkan kepalanya, mengiyakan saja apa yang Yohan katakan, ia menyeruput kembali minumannya.
"Oh iya kak!, masa ya... ketos gue nyebelin banget, padahal selama gue sekolah disana!, lolos lolos ajatuh, mau gue ngapain kek tuh ketos sekolah kagak protes, kagak ada yang negur atau ngaduin ke BK ke guru segala macem, eh sekarang... gak ada angin gak ada hujan, tuh ketos malah berulah!"
Tutur Raya dengan perasaan yang berapi-api, ia kembali merasakan hal yang sudah terkubur dari beberapa jam yang lalu.
Yohan terkekeh, menurutnya disaat seperti ini Raya cukup menggemaskan.
"Emangnya dia ngapain?"
Brak!
Seketika seluruh atensi menuju ke arah mereka.
Raya terdiam, ia menyeringai, dirinya yang terbiasa menggebrak ketika kesal jika sedang terlalu bersemangat terkaddang sering kelepasan tanpa melihat sekittar.
"Maaf-maaf, gak sengaja" Sambil menunjukkan dua jarinya yang membentuk huruf 'V'.
Yohan menyeringai, menatap Raya sambil memperlihatkan sederetan giginya.
Raya melanjutkan bicaranya.
"Pokoknya aneh deh!, tadi aja gue_"
Suara deringan ponsel membuat ucapannya terhenti, nama dari kontak justru membuatnya tak selera kembali.
"Nanti lagi ya kak, oh iya ini makasih ya"
Raya menyerahkan beberapa lembar uang kertas sejumlah harga kopi americano tersebut.
Dia berjalan keluar Caffee kemudian mengangkat telpon tersebut.
"Halo..."
"Kamu bolos lagi ya!!, kemana kamu sekarang hah?!"
Raya memutar bola matanya malas, ocehan adalah makanannya sehari-hari, jadi ia sudah mulai terbiasa.
"Orang tadi jamkos jadi Raya keluar aja"
"Apa susahnya sih kak kalau misal jamkos gak usah keluar hah!!, cape mamah tuh jadi orang tua, susah banget di bilanginnya"
Raya memainkan kukunya, raut wajahnya sudah menunjukkan bahwa anak itu tak mendengarkan apa yang mamahnya katakan.
"Yaudah resign aja jadi orang tua"
"Kamu ya!!_, perasaan bang Ardhan gak gini-gini banget!!, kenapa kamu kayak gitu hah?!, liat tuh bang Ardhan, nilainya bagus gak pernah bolos sekolah, contoh tuh kakak kamu, jangan main sama Bulan terus, ini pasti gara-gara Bulan kan yang ngajak!!"
Raya sedikit terkejut karna nama Bulan di bawa-bawa oleh mamahnya, ia diam, rahangnya mengeras.
"Denger gak?!!, jangan diem aja kamu!!, mamah bayar sekolah mahal-mahal percuma kalau kamu kayak gini kak!, ngertiin dikit bisa gak?!!"
Raya meneguk salivanya dengan susah payah, tenggorokkannya mulai tercekat, ia menunduk sejanak, menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu mematikan telpon secara sepihak.
Raya mengelap air matanya yang menggenang lalu pergi dari tempat tersebut.
ㄱㄱㄱ
Raya berdiam di dalam kelas yang sudah mulai sepi, hari sudah mulai senja, namun ia tak sama sekali berniat untuk pulang.
"Apa gue emang gak pantes buat bahagia ya?" gumamnya.
Tanpa Raya sadari sosok seseorang sudah berdiri di belakangnya.
"Lo kok masih disini sih?"
Tanya seseorang yang membuat Raya terkejut.
"Kaget!, ih!"
Raya mengusap dadanya, ia terkejut dengan kehadiran seseorang, ia menoleh.
"Eh kak Asa, belum pulang lo kak?" Tanyanya kemudian kembali menatap keluar jendela.
"Belum"
Sreek!
Angkasa menarik bangku di sebelah Raya dan duduk setelahnya.
"Lo sendiri kenapa belum balik?"
Raya tersenyum, menunduk sejenak, kemudian terkekeh kecil tanpa alasan.
"Gak tau nih, lagi pengen aja"
Angkasa menaruh atensinya pada Raya, menatap wajah gadis itu dalam waktu yang lama.
Raya yang merasa hanya diam, malas menanggapi karna tak ingin lamunannya terganggu.
Suasana hening mulai menyeruak, sampai ketika Raya mulai buka suara.
"Kak"
"Hm"
Raya tersenyum paksa.
"Sebenarnya... bertahan hidup itu buat apasih?" Tanyanya tanpa menggeser pandangannya sama sekali dari langit.
Angkasa berpikir, memutar otak untuk mencari alasan.
"Eum... Buat gue..."
Angkasa menggantung kalimatnya beberapa saat.
"Bertahan hidup itu..., eum... Untuk mencapai sesuatu yang bahkan ingin kita dapatkan sebelum kita mati"
Jawaban dari Angkasa membuatnya menoleh.
"Kayak harapan gitu?"
"Hm, kurang lebih begitu, misalnya... Lo pengen jadi Profesor, lo habisin waktu lo buat ngejar hal itu, atau..., yang sederhananya kaya..."
Angkasa menunduk sejenak.
Raya menajamkan indranya, ia penasaran akan hal apa yang akan Angkasa ucapkan.
"kaya lo bertahan hidup untuk seseorang, jadi... Lo akan hidup sampai orang itu mati"
Raya mengernyitkan alisnya, ucapan Angkasa tak masuk dalam logikanya.
"Maksud lo, setelah orang itu gak ada berarti gue bakal mati?"
"Nggak gitu juga, sesuai pilihan lonya, karna saat orang itu gak ada... lo pasti akan kehilangan semangat untuk hidup, jadi itu semua tergantung lo, terserah lo, kalau lo mau lanjut hidup ya bagus!, kalau nggak..., ya... gitulah!"
Raya memberi isyarat bahwa dirinya paham dengan mengangguk-anggukkan kepalanya, ia kembali menjadikan langit sebagai objek.
Tiba-tiba...
"Aduh!"
Raya mengaduh sambil memegangi perutnya yang keram, ia lupa kalau seharian ini dirinya belum makan, apalagi tadi ia sempat meminum kopi.
"Lo gakpapa?!" Tanya Angkasa.
"Gakpapa, cuma eung... kayaknya gara-gara belum makan dari pagi"
Raya yang merasakan sakit yang menyengat menekan perutnya sedikit agar tak terlalu terasa, dia memberikan senyun pada Angkasa.
"Cck!, ada-ada aja sih lo, dah tau punya mag kenapa belum makan?, gayaan minum kopi juga sih!" Omel Angkasa yang jelas membuat Raya heran.
'Dia tau gue minum kopi tadi?'
Raya menatap wajah Angkasa.
"Aduh!"
Suara aduan kembali keluar dari mulut Raya karna rasa sakit menyerang, bak disayat dengan sebilah cutter, itu terasa sangat sakit, belum lagi rasa lemas yang hadir, bibirnya mulai memucat.
"Ah lo mah ada-ada aja!, ikut gue!"
"Hah?, kemana?"
"Udah cepetan"
"Aduh kak..., gak kuat gue_eh?!, eh?!"
"Gak usah bacot, tutup mulut lo"
Raya yang kini hanya diam dan pasrah ketika tubuhnya si angkut oleh Angkasa, walau posisinya sangat tak nyaman karna Angkasa menggendungnya seperti karung beras.
ㄱㄱㄱ
"Eh, gakpapa ini gue kak?"
Angkasa menghela nafas berat, sudah lima kali Raya bertanya padanya.
Raya menyeringai.
"Oh iya, untuk tadi, thanks ya"
Ucap Raya karna tadi sebelum kemari ia diajak mampir untuk membeli obat untuknya.
Angkasa tak membalas.
Kemudian Raya membuntut masuk ke dalam rumah Angkasa, ia begitu terpukau karna rumah di hadapannya itu begitu besar.
"Bi..." Panggil Angkasa.
Tak sampai lima menit, sosok yang di panggil datang.
"Iya den, ada apa?"
Raya mengangguk sebagai salam, ia begitu canggung sekarang.
Bibi tersenyum penuh arti, namun Raya tak mengerti.
"Bi"
"Eh iya?!, ada apa den"
Angkasa dan Raya saling menatap sejenak.
"Tolong siapin makan ya"
"Buat siapa den?, buat pacaranya ya..."
'Hah?!'
Raya meneguk salivanya ketika mata tajam Angkasa menatapnya, ia memalingkan wajahnya, sangat jarang ia bisa salah tingkah di tatap seseorang.
"Jangan gitu ah bi, mana mungkin Angkasa mau sama makhluk kaya dia, kasian nih bocil salbrut nanti"
Mendengar hal tersebut Raya langsung terbelalak, betapa pedenya spesies di hadapannya itu, ia menatap tajam Angkasa, ingin sekali dia mengumpat.
'Untung ini di rumah lo ya!, tahan Raya, tahan'
Setelah itu bibi mempersilahkan untuk Raya dan tuannya duduk, selama dia memasakpun tak ada percakapan diantara mereka.
Tak berselang lama...
"Nih den makanannya, ini non silahkan"
Raya menerima sodoran piring berisikan nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya.
"Makasih bi"
"Sama-sama, maaf ya bibi belum belanja lagi, bahan makanan tinggal tersisa buat nasi goreng aja"
Raya mengangguk, untuknya hal tersebut sudah biasa, karna di rumahnya juga dirinya lebih sering masak nasi goreng, bedanya hanya tambahan telur ceploknya saja.
"Gakpapa bi, maaf repotin"
"Eh gakpapa, ini mah gak repotin, lagian den Asa jarang bawa temen juga kerumah, sekalinya bawa langsung segerombolan, walah... Hahhh... mana bujang semua"
Raya ikut tertawa, ia melirik Angkasa sekilas, anak itu bahkan tak banyak bicara.
"Yaudah atuh non, bibi mau kebelakang dulu ya, masih ada kerjaan"
"Iya bi silahkan"
"Kalau butuh sesuatu panggil bibi aja ya non, den"
"Iya bi"
Raya menatap kepergian bibi, kemudian ia mulai mencicipi makanannya.
"Wah, enak, hmm..."
"Makan tuh jangan ngomong, nanti keselek"
Raya tertawa.
"Seneng banget ya lo ngatur gue"
Suara dentingan sendok dan garpu mulai memenuhi ruangan, gesekan piring juga ikut menemani, sampai hari mulai memasuki langit pink ke ungu-unguan.
"Yok gue anter"
"Makasih ya kak"
Angkasa berdecak.
"Naik gc, makasih mulu lo kayak orang yang minta sumbangan"
"Heh!" Raya refleks memukul Angkasa, ia benar-benar tak habis pikir dengan kata yang keluar dari mulutnya.
"Sembarangan lo kalo ngomong, bego ih!"
"Lah mang bener, fakta gue mah"
"Ya tapi gak gitu juga lah kak, gila lo ya"
Angkasa terkekeh.
"Oh iya kak, gue mau nanya lagi"
Aju Raya, berniat menanyakan hal yang mengganjal dalam hatinya.
"Apa?"
"Tapi jangan marah ya!"
"Bacotkan, gc apaan?!"
Raya memukul bahu Angkasa.
"Serius ih!"
"Iya...." Balas Angkasa dengan penekanan.
"Eung... ortu lo kemana?, kerja?"
Pertanyaan tersebut membuat mulut Angkasa tak mampu menjawab, ia menunduk sesaat, kemudian mengangguk.
"Iya, ortu gue lagi kerja"
"Dua-duanya?!, wah... Keren banget kayaknya ya kalo denger ada wanita yang independen, gue salut sih sama mamah lo"
"Ya... Gitu deh, udah ah nanya mulu, cepet naik!"
"Iya-iya, bawel banget sih lo".
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Thinkboy
ada juga yang kayak gini😂
2023-12-28
1
Star Kesha
Sukses bikin jantung berdebar! Makasih ya Author!
2023-09-13
0