Hari minggu itu kasur serasa lebih protektif. Maunya rebahan saja di kamar. Seperti yang dilakukan Adira. Sejak selesai salat subuh sampai jam sembilan pagi saja ia masih ada di balik selimut sambil memeluk guling dan tidak lupa scroll feed instagram.
Liburan yang datang sekali seminggu ini memang enak digunakan untuk bermalas-malasan. Namun, niat Adira pupus saat mendengar suara Dimas dari luar kamarnya.
“Dira... dipanggil mama tuh! Disuruh mandi sama sarapan terus ngantarin kue,” teriak Dimas.
Gadis itu menurunkan handphone dari depan wajahnya, “Kakak aja yang antar, Dira malas!"
“Yang disuruh itu lo ya. Malah nyuruh balik. Cepat Dira nanti kena marah mama!” Dira seperti tidak memedulikan perkataan kakaknya. Dimas yang tidak mendengar adiknya menjawab beralih mengetuk pintu, “Dira keluar!”
“Huh, Kak Dimas resek!” sungut Dira dan membuka selimutnya, lalu berjalan ke dekat pintu.
Ia melihat kakaknya yang berdiri di depan pintu sudah rapi dan wangi.
“Tumben udah cakep? Mau ngapel ke mana? Ups!” Dira cepat menutup mulutnya, “lupa, Kak Dimas ‘kan jomblo mana punya pacar.”
Dimas merapikan jaket yang ia pakai, “jangan salah jomblo gini yang ngantri banyak.”
“Ngantri sembako?” tanya Dira menampilkan ekspresi tidak peduli.
“Ngantri air bersih!” celetuk Dimas, “sana mandi dulu. Cewek kok jam segini belum mandi. Jorok lo! Mana ada cowok yang mau.”
“Ada ya, tapi pada gue tolakin.”
“Sok cantik betul.”
“Dimas adikmu sudah mandi belum?” tanya Winda yang berteriak dari ruang tamu.
Adira dan Adimas menoleh dan menyimak pertanyaan sang ibu.
“Mampus! OTW mandi, Ma!” balas Adira ikut berteriak, kemudian masuk dan menutup pintu kamarnya tanpa memedulikan Dimas.
Dimas menggeleng melihat kelakuan adiknya, “dari tadi disuruh susah."
"Waktunya jalan-jalan.” Lelaki itu beranjak pergi dari depan pintu berwarna coklat yang ditempelkan stiker bebek-bebek kesukaan Adira.
“Cuma ini, Ma?” tanya Dira setelah selesai mandi dan sarapan. Sekarang waktunya ia menjalankan tugas.
“Iya, itu aja.” Winda mengeluarkan secarik ketas dari saku celananya, “kamu antar ke butik Anna Fashion. Nggak jauh kok dari sini. Kamu naik sepeda saja.” Wanita itu memberikan kertas yang dipegangnya sedari tadi.
Adira membaca kertas berisikan alamat itu. Kemudian ia mengangguk paham.
“Ya sudah, Dira berangkat ya, Ma.” Gadis yang memakai kaus kebesaran dan celana selutut itu berpamitan, lalu mencium punggung tangan Winda.
“Iya, hati-hati bawa sepedanya jangan ngebut!”
“Siap ibu bos!” Dira memberikan hormat, lalu mengambil kotak kue yang ada di meja ruang tamu, “ini nanti Dira dapat bagian ‘kan?”
Ketika Winda ingin menjawabnya, Dira malah kabur. Ia tahu Winda akan menceramahinya lagi kalau ekspresinya seperti itu.
Adira memarkirkan sepedanya di depan sebuah butik. Ia mengeluarkan alamat yang mamanya berikan. Dicocokkannya terlebih dahulu sebelum turun.
Gadis itu menyimpan kertasnya kembali. Melepas tali ikatan dikotak yang ia letakan di jok belakang sepedanya.
Adira mendekap kuenya di depan dada. Sepasang kakinya melangkah menaiki beberapa tangga menuju pintu butik.
“Permisi... pesanan kue untuk Bu Anna!” teriak Adira di depan pintu yang terbuka.
Seorang wanita berdress selutut berwarna navi keluar dari dalam butik.
“Saya cari ibu Anna yang mesen kue tart, Bu.”
“Kebetulan saya sendiri. Kue tangan-tangan Winda?”
Adira mengangguk, “bener, Bu. Itu kue buatan mama saya. Oh iya ini pesanannya.” Ia memberikan kotak kue ke pemesannya.
Anak laki-laki datang dan membuat Adira terkejut. Begitu pun juga dengan lelaki yang baru datang ini.
“Lo?” ucap mereka bersama.
“Ngapain lo di sini?” tanya Adira cepat.
“Harusnya gue yang nanya ngapain lo ada di butik mama gue?” tanya balik Abrisam.
“I-ini toko nyokap lo? Bukannya nyokap lo udah meninggal ya?” Adira bertanya dengan terbata-bata.
“Saya ibu tirinya, Sam. Kalian saling kenal?” jawab dan tanya Anna menyela bercakapan dua orang itu.
Adira menatap Anna, “iya, tante. Sam teman sekelas Dira.”
“Oh gitu, kalau begitu ayo mampir dulu. Kita makan kuenya sambil ngeteh. Ayo, sini masuk!” ajak Anna. Wanita itu masuk terlebih dulu.
“Apa lo liat-liat?” tanya Dira sewot ketika Sam memperhatikannya.
“PD banget lo.” Abrisam segera melangkah masuk ke dalam butik.
Adira bingung ia harus masuk atau pulang saja. Namun, mendengar Anna memanggilnya lagi. Dira memutuskan untuk masuk.
“Tunggu sebentar ya, Dira. Tante buat tehnya dulu. Ngobrol dulu sama Sam.”
Adira mengangguk dan tersenyum pada Anna.
“Sam ajak ngobrol temannya!” Sam yang sudah duduk, berdeham.
Mereka duduk berhadapan sambil membisu. Abrisam sesekali melirik Dira, tapi Dira sengaja membuang muka.
Adira rasanya masih kesal saja melihat Sam. Padahal kemarin melihat Sam di jalan ia ingin memarahinya lagi. Namun, sekarang rasa gengsinya lebih besar dari pada rasa penasarannya.
“Lo masih marah sama gue?” tanya Sam membuka pembicaraan.
“Nggak!”
Abrisam menelan air liurnya saat mendapat jawaban sesingkat itu.
“Nggak, tapi jawabnya jutek banget.”
Seketika keadaan hening kembali.
“Maaf,” ucap Sam membuat Adira menoleh.
Adira tidak menyangka Sam mau meminta maaf padanya.
“Lo pasti marah karena gue dorong kemarin ‘kan? Gue nggak sengaja. Sekali lagi, sorry.”
“Udah gue maafin. Lain kali jangan kasar sama perempuan,” balas Adira.
“Sejujurnya gue nggak pernah kasar sama perempuan, tapi kemarin itu gue nggak sengaja. Pikiran gue lagi kusut. Lo malah datang.”
“Makanya jangan bandel jadi anak. Bukannya sekolah yang benar aja ini malah ikut tawuran.”
“Kok lo malah nyolot sih?” tanya Sam yang nggak terima kena omelan dari Dira.
Mendengar nada bicara Dira dan Sam beberapa pegawai butik menoleh ke arah mereka.
“Gue itu nasehatin lo be*o. Bukannya terima kasih. Gue mau lo jadi anak baik dan kelas gue bisa dipandang bagus sama guru-guru.”
“Lagi-lagi lo mikirin diri sendiri. Reputasi baik dan pandangan orang itu penting banget ya sama lo?”
“Oh ya jelas penting dong. Kalau lo dipandang bagus sama orang hidup lo pun akan mulus.”
Sam bersandar pada kursinya, “bagi gue jadi diri sendiri itu lebih penting. Pencitraan terus hidup lo kayak artis aja.”
“Gue nggak pencitraan ya. Gue emang begini. Mama mengajarkan untuk gue jadi anak yang baik dan nggak terlibat masalah diluaran sana.”
Sam menatap ke arah lain dan termenung, “kalau lo udah melakukan yang terbaik, tapi orang lain masih belum menghargai gimana?” gumam Sam samar-samar Dira mendengarnya.
“Gimana-gimana?” tanya Dira memajukan sedikit tubuhnya.
“Asik banget kayaknya ngobrolnya, sampai kedengaran loh ke dalem.”
Abrisam tidak jadi menjawab pertanyaan Dira. Cowok itu fokus pada Anna yang datang membawa nampan, lalu menyusun satu persatu piring dan gelas ke meja.
“Ayo, dimakan dan diminum dulu kue sama tehnya.”
“Makasih, Tante.” Adira tersenyum.
“Sama-sama Dira. Tante tinggal dulu ya. Ada pelanggan.”
Anna memberikan nampannya pada pegawai, lalu menghampiri pelanggan yang baru masuk ke butik.
“Ini kue buatan mama lo?” tanya Sam disela-sela menyantap tart coklat itu.
Adira mengangguk, “enakan ‘kan?”
“Enak, karena buatan mama lo. Kalau buatan lo pasti nggak enak.”
Adira mengepalkan sebelah tangannya ke udara, ingin menghantam Abrisam. Namun, ia urungkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Sayyidah Husri
Mulai deket nih 😉😉😉😉😉
2020-06-23
2
Nabila Cantika P
nii cerita nya lebih mirip ke flim Dear Nathan bukan malam Dila
2020-06-05
4
Mega Septiana Sari
Jadi kangen Dilan ku😢.
2020-05-31
1