“Nggak bisa begitu mas. Kami tidak terima.”
“Saya tidak butuh persetujuan kalian. Saya akan tetap menikahinya.”
Baru saja Abrisam memarkirkan motor africa twin yang diberikan sang ayah saat ulang tahunnya yang ke-17, tahun lalu. Keributan dari dalam rumah sudah mengusik dirinya.
Sam cepat-cepat melepas helm dan turun dari motor. Hal ini sebenarnya sudah biasa ia liat dan dengar. Namun, saat mendengar kata pernikahan Sam jadi cemas.
Cowok dengan tinggi 175 cm itu berhenti berjalan. Padahal ia sudah sampai di depan pintu. Namun, ayahnya keluar dengan tangan menggandeng wanita muda.
“Ada apa ini, Pi?” tanya Abrisam.
Lelaki paruh baya dan wanita usia kira-kira 20 tahunan itu berhenti melangkah.
“Sam bilang ke Papi kalau Mama dan Bunda tidak setuju dia menikah lagi!" wanita usia 30 tahunan itu melirik gadis yang ada di dekat suaminya, “apa lagi dengan perempuan seperti dia!”
Sam melirik tangannya yang dipegang sang mama. Walau kedua wanita yang Sam kenal sejak usianya masih anak-anak itu bukan ibu kandungnya, tapi Sam menyayangi dan menghormati mereka.
Sam tersenyum tipis dan menepis pelan tangan ibu tirinya. Ia mendekat ke depan sang ayah.
“Papi mau menikah lagi?” tanya Sam memperhatikan wanita di sebelah ayahnya, “Apa masih kurang dua wanita di rumah ini?” tanya Sam sambil menunjuk ke belakang.
“Iya, papi akan menikah. Dia Vania,” ucap lelaki pembisnis itu mengenalkan wanita di sebelahnya, “Papi harap kamu bisa menerimanya seperti kamu menerima kedua istri Papi.”
“Berapa banyak wanita lagi yang akan Papi nikahi? Berapa kali lagi cinta Mami Papi khianati?” lirih Sam menatap ayah kandungnya.
“Mami kamu itu sudah tiada. Apa harus Papi menduda seumur hidup? Papi juga butuh pasangan.”
“Tapi nggak sebanyak ini, Pi.” Sam memperhatikan gadis cantik yang sedari tadi hanya diam menunggu ayah dan anak itu berdebat, “bahkan Papi mau menikahi cewek yang se-umur-an Sam.”
“Kamu masih kecil. Kamu tahu apa? Lebih baik kamu belajar yang benar. Yang penting Papi memenuhi kebutuhanmu bukan?”
Sam menggeleng pelan mendengar statement dari Papinya.
“Lagi pula kedua ibumu itu tidak menarik lagi. Mereka tidak mengerti maunya Papi. Liat mereka berpakaian seperti pembantu.” Anna dan Siska melihat penampilan mereka sendiri. Padahal kedua wanita paruh baya itu masih cantik dan berpakaian bagus, “Papi masih sanggup membiayai 3 istri bahkan 4 saja Papi masih mampu.”
Sam menggeleng tidak habis pikir. Papi yang sekarang bukan Papi yang ia kenal 13 tahun yang lalu.
“Maaf, Tuan Tomi Pradipta yang terhormat. Anda emang punya segalanya, tapi Anda tidak punya hati untuk menghargai kedua istri Anda. Dan Anda meminta kedua ibu saya untuk mengerti Anda? Dimana otak Anda?”
PLAK
Satu tamparan keras mendarat di pipi Abrisam. Kedua ibu tirinya tersentak kaget melihat kejadian itu.
“Lancang kamu sama Papimu sendiri!”
Sam menoleh ke arah lain sambil memegang sebelah pipinya yang terasa panas. Kedua bola matanya terbuka lebar menahan air mata yang ingin keluar.
Tomi maju ke depan Sam, “kamu jangan mengajarkan saya. Saya lebih tahu dari kamu. Belajar saja yang benar dan jangan menyusahkan saya!” bisik pria paruh baya itu.
“Ayo, sayang kita pergi!” Tomi berbicara manis dengan wanita mudanya.
Anna dan Siska mendekati Sam yang masih mematung di tempatnya setelah Tomi pergi.
“Sam kamu tidak apa-apa?” tanya Siska.
Sam hanya diam, lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya tanpa memedulikan kedua ibu tirinya.
“Sam!”
Kamar yang dipenuhi poster pembalap motor itu terlihat gelap hanya cahaya dari jendela persegi panjang saja yang menerangi.
Kamar agak sedikit berantakan, tapi Sam tidak memedulikannya. Ia terduduk di tepi kasur. Memegang bingkai foto dan menatap seorang wanita berhijab yang tersenyum sambil memeluk Abrisam kecil. Itu ibu kandungnya.
“Mi, Sam kangen,” ucapnya lirih dengan mata berkaca-kaca.
“Papi mau menikah lagi, Mi. Papi nggak menghargai cinta mami lagi dan lagi." Sam berbicara pada foto yang ada di tangannya.
“Kali ini Sam nggak tahu masih bisa menerima istri baru papi atau nggak. Sepertinya, ia berbeda dengan Bunda Siska dan Mama Anna. Mami kenapa nggak ajak aja Sam saat mami mau pergi? Mami kenapa malah tinggalin Sam?” Cowok yang masih memakai seragam sekolahnya itu mengusap kedua matanya yang berair.
Suara ketukan di pintu kamar membuat Sam menoleh dan meletakkan bingkai foto kembali ke nakas.
“Masuk!”
Seorang gadis kecil kira-kira berusia tujuh tahun menyembulkan kepalanya ke dalam kamar Sam.
“Ada apa Yasmin?” tanya Sam pada adik tirinya, anak dari Siska.
“Kata Bunda, abang disuruh turun. Makan dulu. Bunda udah masak makanan kesukaan abang,” ucapnya menyampaikan pesan Siska.
Sam tersenyum, “iya nanti abang turun. Bilang sama Bunda, abang ganti baju dulu.”
Yasmin mengangguk, lalu menutup pintu kembali.
Sam lekas berdiri dan melangkah mendekati lemarinya untuk mengambil pakaian ganti.
“Ada apa sih rame-rame di depan ruang kepala sekolah?” tanya Dira yang berdiri tidak jauh dari ruangan itu bersama kedua temannya.
“Lo nggak tahu?” tanya Violet yang sedari tadi berkipas.
“Tahu apa?” Yara bertanya balik.
“Lo juga nggak tahu?” Violet menunjuk Yara dengan kipasnya, “gue kasih tahu ya, mereka kumpul di sana liat wali murid yang dipanggil kepala sekolah buat datang karena anaknya ikut tawuran kemarin.”
“Tawuran?” lirih Dira melihat ke ruangan yang ramai itu.
Violet mengangguk, “iya, katanya sampai ngerusakin toko pinggir jalan.”
Saat sedang mendengar penjelasan dari Violet, mata Dira tertuju pada anak dan bapak yang baru saja keluar dari ruangan itu.
“Sam?” gumam Dira yang membuat Yara dan Violet mengikuti arah pandangnya.
"Ada Sam juga?" lirih gadis yang rambutnya selalu dipotong bergaya bob, yaitu Yara.
Dari tempatnya sekarang Dira tidak bisa mendengar apa yang sedang bapak dan anak itu perdebatkan. Namun, dilihat dari ekspresinya lelaki paruh baya yang ada di depan Sam terlihat sangat emosi. Sampai ia meninggalkan Sam begitu saja.
“Apa lo liat-liat?” bentak Sam pada murid-murid yang berkerumun di depan ruangan memperhatikannya saat bertengkar dengan sang Papi.
Siswa dan siswi itu terdiam semuanya. Tidak ada yang berani menjawab. Setelahnya Sam melangkah pergi. Dira buru-buru menghadang jalan Sam.
“Mau apa lo?” tanya Sam yang nada bicaranya sedikit jutek.
“Kenapa sih lo harus ikut tawuran?” Dira menatap wajah Sam. Masih banyak bekas luka di sana, “liat sekarang lo babak belur. Gue juga udah bilangkan—“
“Udah cukup ikut campur!” sela Abrisam sebelum Dira menyelesaikan ucapannya.
Sam melangkah pergi. Namun, langkahnya terhenti saat Dira memegangi tangannya.
“Jangan ganggu gue dulu!” ucapnya menatap lurus ke depan, “lepas!” Sam menepis kuat tangan Dira sampai gadis itu terjatuh.
Adira merintih kesakitan. Dia susah untuk berdiri kembali.
“Dira!” kedua temannya panik. Yara dan Violet membantunya berdiri.
Sam menoleh mendengar pekikan dari dua cewek itu. Ia sangat ingin membantu. Namun, melihat wajah Dira yang berubah ekspresi saat mata mereka bertemu Abrisam memilih untuk meninggalkan ketiga cewek ini segera.
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN SERTA KLIK FAVORIT 🤗 BOLEH KOK KASIH SARAN DAN KRITIK SIAPA TAU CARA PENULISANKU BISA LEBIH BAIK LAGI. MAKASIH UDAH MAMPIR. ❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Endang Purwati
kok mewek yaaa...be strong ya Sam...lluuvv uuu banyak2 jagoan ..
2020-09-08
1
Winda Nurjannah
mungkin itu efek dari ketidakharmonisan keluarga makannya Sam jadi gitu
2020-05-28
5
Alleya_fa
bavus ceritanya, aku suka nama abrisam. btw tulisanmu rapi bgt💜💜
2020-05-26
1