Dimas sudah membunyikan klakson vespanya berkali-kali sejak tadi, tapi Dira belum muncul juga dari balik pintu.
Hari ini Adira menumpang ke Sekolah dengan Kakaknya. Namun, sudah dari sepuluh menit yang lalu Dimas menunggu ia tak kunjung datang.
“Dira buruan!” teriak Dimas yang tidak sabaran.
Adira masih sibuk mencari sebelah kaus kakinya yang hilang. Ia baru memakai sebelah sepatu, sedangkan yang satunya lagi ia jinjing ke mana-mana sambil mencari kaus kaki itu.
“Mama!” Dira berjalan keluar dari kamarnya menuju dapur, “kaus kaki Dira hilang sebelah.”
Winda yang sedang mengikat kotak-kotak yang tersusun rapi menjadi satu itu menoleh saat anak bungsunya memanggil.
“Kamu letakkan di mana kemarin? Makanya kalau meletakkan itu jangan asal-asal Dira, ‘kan sudah mama bilang.”
“Terus gimana dong, Ma?” rengek Dira menggoyangkan kedua bahunya, “Kak Dimas udah manggil dari tadi. Dira takut ditinggalin.”
Winda menepikan kotak kue yang sudah siap, “kamu kayak punya kaus kaki cuma satu aja. Sana pakai yang lain aja dulu!"
Dira tersenyum, “oke!”
Gadis yang hari ini memilih menguncir rambutnya itu berlari menuju kamar kembali.
Setelah siap Adira berpamitan dengan sang mama, lalu ngacir keluar rumah. Ia sedikit takut mendekati Dimas. Soalnya, muka Dimas terlihat masam karena kelamaan menunggu.
“Lama banget sih lo? Jam tujuh gue ada kelas nih,” ujar Dimas sedikit sewot.
“Maaf, Kak.” Dira lekas mengambil posisi duduk di jok belakang, “kaus kaki Dira hilang sebelah. Terpaksa cari dulu.”
“Ketemu?”
“Nggak, Dira pakai kaus kaki yang lain.”
“Kenapa nggak dari awal lo pakai kaus kaki yang lain aja. Jadi, gue nggak nunggu lama.”
“Mana Dira tahu nggak bakal ketemu.” Ia menepuk pundak Dimas, “ayo jalan! Jangan ngomong terus kayak burung beonya Pak RT.”
Dimas masih sewot aja, tapi ia tetap mengikuti perintah adiknya. Suara vespa yang khas itu terdengar ketika mesin dinyalakan.
“Pakai!” Dimas mengoper helm ke belakang. Adira menyambutnya, lalu segera memakai di kepala.
Beberapa detik berikutnya motor vespa ini melaju meninggalkan rumah kecil bergaya mini malis itu.
Sepuluh menit Adira sampai di Sekolahnya. Untung jantungnya tidak copot saat sampai di depan gerbang tadi. Pasalnya, sang kakak membawa motor sudah kayak orang kesurupan.
Katanya sih dia mengejar waktu agar tepat sampai di kampusnya. Dira sebagai orang yang numpang terpaksa pasrah dan hanya berpegangan serta memejamkan matanya sampai di Sekolah.
Sampai di depan kelas sudah ramai yang datang. Wajar karena lima belas menit lagi bel masuk akan berdering.
Namun, saat mata Dira tertuju pada kursi paling belakang yang kosong ia jadi bertanya-tanya.
“Sam kena skorsing,” celetuk Yara seakan tahu pikiran sahabatnya itu. Dira menghentikan langkahnya dan menoleh pada Yara.
“Gara-gara tawuran kemarin?” Yara mengangguk menjawab pertanyaan Dira.
“Jangan khawatir begitu. Gue dengar-dengar yang ikut tawuran cuma diskors dua hari kok,” lanjut Yara.
“Siapa yang khawatir?” Adira lekas masuk ke dalam barisan mejanya dan melepas ransel.
Bel berdering dengan nyaring. Violet yang dari luar berlari-lari kecil masuk ke kelasnya. Siswa-siswi yang lain juga segera mengambil posisi mereka masing-masing.
Sebagai sekretaris kelas Adira-lah yang mengurus peminjaman buku bersama ketua kelas. Seperti sekarang Dira dan Guntur membawa buku cetak cukup banyak. Mereka akan mengembalikannya sesudah memakainya beberapa jam yang lalu.
“Bu, kami ingin mengembalikan buku.” Guntur meletakkan buku ke meja.
“Letakkan saja di sini! Ibu data dulu,” ucap penjaga perpustakaan.
Adira meletakkan beberapa buku tebal yang ia gendong dari tadi. Lengannya jadi terasa pegal. Lumayan juga membawa buku-buku itu dari kelas sampai ke Perpustakaan.
Sambil menunggu penjaga perpus menghitung dan mendata lagi buku yang dikembalikan Dira memperhatikan sekitarnya. Matanya tidak sengaja melihat orang yang ia kenal melintasi perpustakaan.
“Gue ke sana sebentar ya.” Dira menepuk pundak Guntur. Cowok itu mengangguk Dira pun segera berlari ke dekat pintu.
“Afraz!” teriak Dira.
Cowok yang dipanggilnya itu menoleh, lalu bibirnya tertarik dan membentuk setengah lingkaran.
Siswa dengan penampilan yang sangat rapi itu mendekat ke arah Dira.
“Apa kabar, Raz? Udah sembuh?” tanya Adira berbasa-basi.
“Seperti yang lo liat. Gue udah baikan.”
Afraz ini mantan ketua osis yang memang kebetulan satu SMP dulu sama Adira. Jadi, tidak heran mereka akrab.
Afraz harus melepas jabatannya sebagai ketua osis karena SMA Nusa Bangsa tidak membolehkan siswa-siswinya terlibat organisasi atau ekstrakurikuler setelah menginjak kelas 12. Mereka harus fokus untuk ujian nasional.
“Itu masih diplester.” Dira menunjuk dahi Afraz yang masih tertutup plester.
Cowok yang lebih tinggi dari Adira ini menyentuh dahinya sekilas. Ia tersenyum lagi.
“Nggak apa-apa. Ini tinggal pemulihan. Jangan khawatir seperti itu gue udah sehat makanya bisa balik sekolah lagi.”
“Syukurlah.” Dira menghela nafas.
Seminggu yang lalu Afraz harus meninggalkan sekolahnya dulu karena dia mengalami kecelakaan motor. Membuat dirinya harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari.
“Dir!” Adira menoleh ke belakang saat Guntur memanggilnya, “ayo bantu gue susun bukunya!”
“Iya-iya.” Dira menatap ke Afraz kembali, “gue ngerapiin buku pinjaman dulu ya.”
“Mau gue bantuin?” tawar Afraz.
“Mh?” gadis itu melebarkan matanya, “nggak usah pasti lo ada kerjaan lain ‘kan? Gue ngerapiin sama Guntur aja.”
“Gue nggak sibuk kok.” Afraz melepas sepatunya, “ayo, nanti keburu bel masuk lagi.”
Cowok itu berjalan masuk lebih dulu. Adira mesem-mesem dari belakang, membuntuti Afraz.
“Yang itu bukunya.” Adira berlari kecil untuk mengambil buku bawaannya tadi. Sedangkan Guntur sudah lebih dulu menyusun buku ke raknya. Afraz mengambil sebagian buku itu dan Dira membawa sisanya.
“Gue duluan ya,” pamit Guntur saat sudah berdiri dari duduknya.
“Iya,” jawab Dira tanpa menoleh. Bukan karena tidak peduli, tapi ia masih sibuk mengikat tali sepatunya.
Adira menegakkan tubuhnya ketika sudah selesai memakai sepatu.
“Lo nggak balik ke kelas?” tanya Dira pada Afraz.
Cowok itu menggeleng, “gue mau ke kantin. Lo mau ke mana?”
“Sama, gue juga mau ke sana.” Adira menunjukkan ponselnya yang ia pegang, “ini dari tadi teman gue udah nge-chatting. Katanya mereka nunggu di sana.”
“Kalau gitu kita barengan aja ke sana!”
“Boleh.” Adira mengulas senyum.
Mereka kompak berdiri. Dira menyimpan benda pipih itu ke dalam saku bajunya. Kemudian melangkah bersama dengan Afraz.
Entah mimpi apa semalam Adira merasa beruntung seharian ini. Afraz yang dulu adalah cinta monyetnya itu--walau nggak sempat jadian--menawarkan tumpangan untuk pulang.
“Gue kira lo bakal trauma naik motor,” ucap Adira menerima helm yang Afraz berikan.
“Tadinya gue emang ragu buat bawa motor lagi, tapi kalau nggak bawa motor ini ke sekolah. Gue akan terlambat terus. Rumah gue ‘kan cukup jauh dari sini.”
Dira mengangguk-anggukan kepala memahami apa yang dirasakan teman laki-lakinya itu.
Afraz memasang helmnya ke kepala, “yang kemarin itu ‘kan musibah. Padahal gue udah hati-hati, tapi masih kena juga. Jadi, intinya nggak ada yang perlu ditakutinlah. Selagi masih hati-hati.”
“Iya juga sih, bener lo.”
Suara knalpot terdengar saat motor yang Afraz tunggangi sudah dinyalakan. Adira bergeser dan membiarkan cowok itu mengeluarkan motornya dari barisan parkiran. Kemudian Afraz menyuruhnya untuk naik.
“Pegangan ya, Dir!” perintah Afraz yang masih jelas didengar Dira.
Adira ragu-ragu akan berpegangan dibagian mana. Akhirnya ia memutuskan untuk memegang tas ransel Afraz yang memang ada di depannya.
Motor hitam itu mulai berjalan melaju ke jalan raya. Mereka tidak banyak mengobrol karena merasa percuma suara yang dikeluarkan sering tersapu angin dan tertelan suara kendaraan lain. Tidak terdengar juga.
Adira lebih sering memperhatikan jalan Jakarta yang cukup ramai siang ini. Mata dengan manik hitam milik Dira tidak sengaja melihat Abrisam yang ada di bawah fly over. Pakaian yang ia gunakan seperti brandalan.
Adira kira karena diskors Sam akan diam di rumah merenungi kesalahannya. Namun, ia malah bermain-main di jalanan.
Dira ingin turun sebentar ketika melihat Sam menyeberang jalan, tapi lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Motor Afraz melaju kembali.
“Ada apa, Dir?” tanya Afraz yang melihat Dira dari spionnya tampak memperhatikan ke belakang.
Cewek itu menoleh ke depan kembali. Ia menggeleng, “nggak ada apa-apa.”
Kemudian mereka terdiam lagi. Hanya suara kendaraan yang terdengar, membuat bising telinga sepanjang perjalanan.
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMENTARNYA. MAKASIH SUDAH MAU BACA KARYAKU. ❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Meri Ningsih
visual nya thor.....😁😁 lanjut..
2020-08-29
1
Sayyidah Husri
Stres tuh si sam 😢😢😢😢
Kasian anak broken home🏘🏘🏘🏘🏘
2020-06-23
5
Titin Sahadatina
kayak ceritanya salma deh
2020-06-14
0