Bab 18

Jatuh, kecelakaan dan darah. Tiga hal itu merupakan sesuatu yang sangat dihindari Dhika selama ini. Sejak kematian ayah dan ibu tirinya sepuluh tahun lalu, dia trauma mendengar semua itu. Dan ketika melihat darah mengucur dari dagu Zanna, Dhika seperti kehilangan kendali. Dia tidak ingin kehilangan seseorang lagi yang berharga dalam hidupnya. Apalagi itu Zanna, adik yang tumbuh bersamanya. Tapi ... Dokter di rumah sakit tadi tidak menganggap luka Zanna serius dan mengirim mereka pulang begitu saja. Tanpa ada resep obat atau penanganan lanjutan. Dhika kesal sekali.

Yang lebih membuatnya kesal adalah ketenangan Zanna pada tubuhnya sendiri yang mengalami luka. Bagaimana bisa seorang perempuan yang cantik seperti ini bersikap biasa setelah jatuh dengan luka terbuka di bagian wajahnya.

"Apa kamu pusing?" tanya Dhika pada Zanna yang sekarang duduk di sebelahnya.

"Gak"

"Apa ada bagian tubuh lain yang terasa sakit sekarang?"

"Gak ada"

Zanna hanya menjawab singkat dan tidak menatap ke matanya ketika Dhika bertanya.

"Apa kakimu sakit?" tanya Dhika lagi lalu mencoba untuk menyentuh lutut adiknya. Tapi Zanna menepis tangannya dengan kasar dan menatapnya tajam.

"Mau apa?"

"Aku ingin memeriksa kakimu. Lututmu tadi membentur lantai"

"Gak ada yang sakit. Tadi udah aku bilang gak ada yang sakit!"

Zanna menjawab dengan berteriak, semakin membuat emosi Dhika tersulut. Dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan melihat adiknya.

"Biar kakak periksa sendiri"

Dhika mulai memegang paha Zanna dan menerima penolakan keras dari anak perempuan itu.

"Ehh Ehhh. Ngapain. Ini pelecehan"

"Pelecehan apa? Aku kakakmu. Aku harus memastikan tidak ada luka lain sebelum terlalu jauh dari rumah sakit"

Dhika tidak peduli dengan keluhan dan pekikan adiknya. Dia harus memastikan. harus. Karena Zanna tidak mau tinggal di rumahnya. Dia takut kalau terjadi sesuatu saat dia tidak ada di sebelah adiknya itu.

Tapi kekuatannya ada diluar batas. Dia tanpa sengaja menarik kemeja kerja adiknya dan membuat dua kancing lepas begitu saja. Sebuah mobil lewat dan menyinari sesuatu yang belum pernah Dhika lihat sebelumnya pada tubuh adiknya. Dia tidak tahu berapa lama memandangi sesuatu yang sepertinya kenyal dan penuh itu. Lalu tersadar setelah menerima tamparan, lagi dari adiknya.

"Gila ya!!!"

Dhika kembali ke kursinya, duduk dengan tegak melihat ke arah jalan dan berusaha bernapas dengan normal. Tidak ada kata yang terucap selama beberapa menit. Hanya suara baju bergemerisik. Pertanda Zanna sedang berusaha menutup bagian itu dengan jaket tipisnya.

Sepuluh tahun lalu Zanna memasuki masa puber yang begitu berat. Adiknya itu memiliki badan yang lumayan besar. Tapi semua bagian tubuh Zanna besar, bukan hanya bagian itu saja. Kenapa sekarang setelah dewasa. Badan Zanna mengecil dan bagian itu terlihat besar? Dhika yakin Zanna tidak mungkin melakukan prosedur apapun untuk memperbesar bagian apapun di tubuhnya. Lalu, kenapa tadi besar sekali? Mungkin lebih besar dari telapak tangan Dhika. Atau cukup di telapak tangannya? Tanpa terasa salah satu tangan Dhika meremas setir mobil kuat-kuat.

"Kamu ... operasi ya?' tanyanya tanpa basa-basi dan menerima sebuah pukulan tepat di belakang kepala.

Keras sekali sampai Dhika yakin kalau Zanna memang baik-baik saja. Otaknya sekarang yang mungkin rusak.

"ORANG GILA! AKU MAU TURUN AJA!!" teriak Zanna lalu berusaha membuka pintu mobil. Tentu saja tidak bisa karena Dhika menguncinya.

"Kakak antar kamu pulang sekarang"

Dhika menyalakan sein ke kanan dan mulai melanjutkan perjalanan pulang. Tak sampai sepuluh menit akhirnya mobil terparkir tepat di depan rumah Zanna. Dia membuka kunci dan adiknya itu segera berlari masuk ke dalam rumah. Tidak menoleh atau bicara apapun padanya. Dhika ikut keluar dari mobil dan berteriak.

"Maaf. kakak tidak sengaja!"

"Gak sengaja. Gak sengaja. Gila emang tu orang" racau Kiran lalu masuk ke dalam rumahnya dengan sedikit membanting pintu. Dia lalu mengunci pintu dan memastikan kalau dirinya aman.

"Kamu operasi ya? Apa orang itu gila tanya kayak gitu ke aku? Dasar mesum. Minggu kemarin tidur di kasur yang sama. Sekarang?"

Kiran terus saja meracau sampai melihat kekacauan yang ditinggalkannya tadi. Meja makan itu sudah hancur tak berbentuk lagi. Dia harus segera membersihkan tapi badannya sudah terlalu capek malam itu. Dia menarik napas panjang dan masuk ke dalam kamar.

Setelah mandi dengan air hangat yang direbusnya, Kiran merasa seperti hidup lagi. Rasa capek di tubuhnya tidak terlalu terasa tapi tidak membuatnya ingin membersihkan rumah.

"Besok aja" katanya lalu masuk lagi ke dalam kamar dan berbaring di kasur barunya yang hangat dan aman.

Pagi harinya saat Kiran bangun, dia dikejutkan dengan suara banyak orang. Dia masih berpikir itu mimpi sampai mendengar suara yang sangat dikenalnya.

"Bersihkan semua ini! Bereskan juga pagar itu!"

Kiran membuka matanya dan berjalan ke arah jendela. Dia sangat terkejut saat menemukan beberapa orang terlihat membersihkan halaman belakang. Dengan menerima perintah dari kak Dhika yang kelihatan sangat tegas. Dia mengambil cardigannya dan keluar dari pintu depan.

"Apa-apaan ini?" tanyanya saat jaraknya dengan kak Dhika dekat.

Orang itu menoleh dan menampakkan raut wajah sedikit melembut.

"Kamu tidak mau tinggal di rumah kakak. Jadi rumah ini harus segera diperbaiki sebelum menyebabkan kamu celaka lagi"

"Siapa yang kasih ijin?"

"Kakak tidak perlu ijin. Kakak tidak mau lihat kamu jatuh karena tikus lagi"

"Kak Dhika gak boleh lakuin ini. Bukan. Kak Dhika gak berhak ngelakuin ini!"

"Aku kakakmu. Jadi aku berhak"

Sekali lagi Kiran mendengar sesuatu yang sangat menggelitik perutnya itu. Hubungan kakak beradik antara mereka sudah berakhir sejak sepuluh tahun lalu. Itupun karena perkataan orang itu. Kenapa sekarang kak Dhika terus menyinggung masalah persaudaraan?

"Kita bukan saudara. Kita ini cuma orang asing dan kak Dhika gak berhak berada di rumah ini lagi. Apa kak Dhika lupa kalo dulu pernah ngomong rumah ini, ibu, Bi Tia sama aku cuma pembawa sial?" kata Kiran semakin emosi.

Kak Dhika mendekat setelah mendengarkan semua ucapannya. Orang itu bebicara dengan nada rendah di telinga Kiran.

"Tidak tahu kapan kamu memaafkan kakak. Tapi aku akan tetap melaksanakan kewajibanku sebagai kakak kamu"

Hati Kiran bergetar. Selama ini dia menantikan kak Dhika mengatakan hal itu tapi rasanya sudah terlambat. Sejak pindah ke Jakarta, Kiran dihadapkan dengan kenyataan yang tidak seindah bayangan. Rumah Bi Tia tidak besar dan mewah seperti yang dia pikirkan. Pekerjaan bibinya juga tidak menghasilkan uang yang sangat banyak untuk memberikan kehidupan yang pernah dia jalani selama di Malang. Kiran belajar untuk menerima nasib dan mulai hidup hemat. Terkadang dia juga harus membantu Bi Tia bekerja, menjual kue di pagi hari untuk mendapatkan uang jajan lebih.

Setelah berada di tingkat SMU, Kiran mulai memutar otak untuk mendapatkan uang. Targetnya adalah kuliah dengan biaya sendiri. Karena Bi Tia pasti akan sangat kesusahan kalau harus menanggung uang kuliahnya. Sepulang sekolah, dia menjadi guru les untuk anak SD. Sabtu dan Minggu, dia bekerja sebagai buruh cuci piring di salah satu warung Padang terkenal di dekat rumah kontrakan. Akhirnya sedikit demi sedikit, Kiran bisa menabung biaya kuliahnya sendiri. Bi Tia saja sampai tidak bisa berkata apa-apa saat dia mendaftar tanpa meminta uang sama sekali.

Setelah masuk kuliah, kerja kerasnya tidak berhenti. Pekerjaan guru les tetap dijalaninya di malam hari. Tapi tidak untuk buruh cuci piring. Waktunya tidak bisa fleksibel untuk dilakukan bersamaan dengan kuliah. Akhirnya Kiran mengambil setrikaan di laundry, untuk dilakukan di rumah. Untuk satu kilo pakaian, dia hanya dibayar seribu rupiah. Tapi Kiran tetap bersyukur dan terus saja bekerja walaupun berat. Semester empat, dia mulai membutuhkan lebih banyak uang dan waktu untuk kuliah. Kiran berganti pekerjaan lagi menjadi admin di salah satu olshop. Bi Tia sempat marah karena menemukannya tergeletak kelelahan beberapa kali. Juga melarangnya bekerja, tapi Kiran sangat keras kepala. Dia tetap saja bekerja sampai lulus kuliah dan mendaftar penerimaan ASN tahun ini.

Di dalam masa-masa berat itu, seringkali Kiran berpikir. Seandainya kak Dhika tetap melaksanakan tugasnya sebagai kakak dan tidak pergi meninggalkannya, mungkin saja dia tidak akan sampai kesusahan seperti itu. Mungkin saja kehidupannya menjadi lebih ... mudah. Mungkin saja dia bisa bermimpi lebih ... tinggi. Lalu dia menyingkirkan semua pemikiran itu. Hinaan yang kak Dhika ucapkan saat itu begitu menyakiti perasaan Kiran. Dia berjanji untuk tidak akan pernah berharap pada orang lain lagi kecuali keluarga satu-satunya. Yaitu Bi Tia.

"Kak Dhika yang pergi dulu. Jadi sekarang pergi sana lagi dari rumah ini. Dan jangan kembali" balas Kiran juga di telinga kak Dhika.

Terpopuler

Comments

Miraecle

Miraecle

ceritax sederhana.. tidak berbelit" penulisanx juga rapi.. pokokx KEREN.

2024-02-07

0

Najandra'moms

Najandra'moms

lanjut thor

2020-10-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!