Bab 8

Pulang dari pemakaman Kiran dan Bi Tia yang masih bersedih pergi ke kamar untuk beristirahat. Membiarkan kak Dhika menemani para saudara yang telah datang melayat. Karena suasana semakin sepi, pembicaraan kak Dhika dengan para saudara ayah Burhan dapat diddengar sampai ke kamar.

"Kamu kuliah di Surabaya Dhika?"

"Iya Pakdhe"

"Baguslah"

"Ini rumah Burhan bukan?" tanya adik ayah Burhan.

"Bukan Bulek. Ini rumah ibu"

"Dasar wanita perebut suami orang. Kalo aja ayahmu gak nikah sama wanita itu, pasti ayah kamu masih hidup sampe sekarang. Bulek denger suaminya wanita itu juga mati di tengah laut. Dasar pembawa sial memang"

Ayah Burhan ternyata memiliki empat saudara. Satu saudara laki-laki yang lebih besar dan tiga adik perempuan. Semuanya sebenarnya sudah memiliki usaha masing-masing dengan bantuan ayah Burhan. Tapi selama sepuluh tahun ini Kiran sering melihat kedatangan saudara ayah Burhan ke rumah. Selain datang berkunjung, biasanya mereka memiliki niat tersembunyi. Meminta suntikan modal atau meminjam uang. Ayah Burhan selalu membantu saudaranya dan ibu tidak pernah ikut campur dengan hal itu. Dan mendengar ibunya dibicarakan seperti itu, membuat Kiran dan Bi Tia yang ada di dalam kamar kesal.

"Apa-apaan itu?" kata Bi Tia sepertinya lebih emosi dari Kiran.

Bi Tia dan Kiran tidak segera keluar meskipun harus menahan marah. Mereka memilih untuk menunggu jawaban dari kak Dhika.

"Bulek, jangan ... "

"Dhika, pakdhe cuma ngasih usul aja. Kamu jangan sampe ditipu sama dua orang itu. Peninggalan ayahmu ya tetep jadi milikmu. Bukan milik dua orang yang gak ada hubungan keluarga sama kamu itu"

"Iya dong. Cuma Pakdhe sama Bulek ini keluarga kamu. Bukan dua orang yang cuma bisa nangis itu. Lagian wanita yang dinikahi ayah kamu itu kan gak kerja selama ini. Cuma numpang makan dan hidup aja"

Kiran dan Bi Tia masih memasang telinga baik-baik. Berharap kak Dhika yang sekarang sudah dewasa melakukan sesuatu. Tapi ternyata orang yang mereka harapkan membela itu hanya diam saja.

Tentu saja Bi Tia tidak tahan lagi mendengar kakaknya dikatai segala macam. Padahal semua orang itu tidak pernah mengenal ibu secara pribadi. Kiran mengikuti langkah bibinya keluar dari kamar untuk menghadapi keluarga dari ayah Burhan.

"Heii!!! Enak aja kalian ngejek kakak gue. Emang kalian itu siapa?!"

"Wah. Ini saudara ibu kamu yang katanya kerja di Jakarta itu ya. Katanya kuliah malah kerja. Emangnya bisa kerja apa perempuan kayak gini? Paling ngerebut suami orang kayak kakaknya"

Bi Tia dan Kiran tidak menyangka mendengar semua ejekan itu di depan mata kepala mereka sendiri. Bi Tia segera meledak. Tidak peduli walaupun usia saudara ayah Burhan lebih tua, Bi Tia membalas semua ejekan itu tanpa sensor. Mengejutkan Kiran yang masih kecil.

Lalu Kak Dhika tiba-tiba berdiri dan melihat ke arah Bi Tia dan Kiran.

"Bi Tia berhenti!!! Beraninya Bi Tia bicara!!" bentak kak Dhika dengan menampilkan tatapan mata yang menakutkan. Kiran tidak percaya bisa melihat itu dari kakak yang selama ini dikenalnya.

"Dhika. Kakakku yang selama ini ngerawat kamu dikatai kayak gitu. Sekarang kamu marah ke Bibi?"

"Bibi diam!!" bentak kak Dhika lagi.

Saudara ayah Burhan merasa menang dan tertawa mengejek Bi Tia juga Kiran.

"Makanya kalo jadi perempuan itu jangan berani motong pembicaraan orang. Dasar gak sopan" kata Pakdhe kak Dhika semakin memperkeruh suasana.

"Apa???? Dasar pak tua jelek! Ngomong seenaknya aja!!!"

Bi Tia siap maju untuk melawan orang tua itu tapi Kak Dhika menghalangi.

"Pakdhe gak salah. Bi Tia harus tau diri dan masuk ke dalam. Bawa juga anak kecil ini"

Kiran dan Bi Tia kini kehilangan kata-kata. Tidak pernah sekalipun mereka mengira kak Dhika akan mendukung orang yang merendahkan ibu. Bi Tia melihat ke arah Kiran yang masih shock lalu tertawa.

"Ini sekarang rumahku dan Kiran. Kalian tidak berhak ada di rumah ini termasuk kamu ... Radhika Pranaja. Jadi sekarang aku minta kalian pergi dari sini!!!"

Kiran menatap punggung kak Dhika yang pergi membawa semua barangnya malam itu. Meninggalkannya dengan kekecewaan yang menyakitkan hati.

"Bibi. Terus Kiran gimana sekarang?" kata Kiran khawatir dengan masa depannya yang tidak menentu setelah kepergian ayah Burhan dan ibunya. Dia sebenarnya berharap bisa ikut kak Dhika ke Surabaya dan hidup berdua disana. Sebagai saudara yang sama-sama kehilangan orang tua. Tapi ternyata kenyataannya lain dari harapan Kiran.

"Kiran ikut Bibi ke Jakarta. Bibi juga bisa besarin kamu meski gak bisa kasih kehidupan yang mewah. Kamu mau kan?"

Sepertinya Kiran tidak punya pilihan lain. Dia tidak mungkin bertahan hidup sendiri di rumah ini. Menjaga kenangan ibu dan ayah Burhan sendirian. Dia perlu sekolah dan itu membutuhkan uang.

"Iya. Kiran mau"

Sejak itu Kiran tidak pernah lagi melihat kak Dhika. Karena seminggu setelah kepergian ayah Burhan dan Ibu, Kiran mengikuti Bi Tia ke Jakarta. Setelah menyerahkan urusan rumah pada agen persewaan rumah.

"Uang sewa rumah itu bisa kita pake buat urursan sekolah kamu Kiran. Untuk masalah makan dan rumah, gaji Bibi masih bisa dipake"

Kiran mengangguk. Kini dia tidak bisa lagi mengeluh akan apapun. Keluarga yang dimilikinya tinggal Bi Tia. Dia harus berjuang untuk bisa melakukan apapun di Jakarta sendiri, berusaha untuk tidak merepotkan Bi Tia.

Dan sekarang setelah sepuluh tahun lamanya, dia melihat kak Dhika berdiri di depannya. Semua kekecewaan, sakit hati yang pernah dia rasakan dulu kembali membuat dadanya sesak. Lebih sesak daripada mengingat kenangan ayah Burhan dan ibunya.

"Mau apa kak Dhika kesini?" tanyanya tanpa bisa menyembunyikan kebencian di wajahnya.

"Aku ... bawa kunci rumah. Orang yang terakhir kontrak menitipkan kunci ini sama kakak"

Kiran merebut kunci rumah dari tangan orang itu lalu berbalik dan membuka kunci. Dia ingin mengangkat koper tapi keduluan oleh orang itu.

"Ngapain?" tanyanya.

"Kamu kan mau masuk. Kayaknya kopermu berat, makanya kakak ... "

"Turunin koperku!!"

"Tapi ... "

Kiran tersenyum kecut. Setelah sepuluh tahun akhirnya dia kembali ke kota kelahirannya. Tapi yang menyambutnya di kota ini adalah orang yang paling tidak ingin ditemuinya. Bahkan orang itu ingin masuk ke dalam rumah yang pernah dihinanya. Sungguh lucu sekali.

"Kiran gak tau kenapa kak Dhika kesini. Tapi lebih baik pergi aja sana"

"Tapi Zanna. Kak Dhika kesini karena khawatir. Kamu kan baru sekarang ini pulang ke Malang. Pasti butuh bantuan kakak untuk ... "

Belum selesai orang itu bicara Kiran mengangkat tangan kanannya. Meminta orang itu untuk diam tanpa harus berteriak atau membentak.

"Bisa gak pergi aja dari sini? Kiran capek, males berurusan sama orang yang gak tau terima kasih" katanya lalu masuk ke dalam rumah. Membawa semua kopernya dan membanting pintu di depan wajah orang itu. Sial sekali baru pulang malah ketemu orang itu.

Terpopuler

Comments

Lina ciello

Lina ciello

ndang lungo adoh ga sah balik2 😡

2023-04-16

0

Lina ciello

Lina ciello

mantap bi tia

2023-04-16

0

Lina ciello

Lina ciello

sampek. kiran gede awas aja nek cinta dhika.. kamprett ancen dhika 😡

2023-04-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!