"Ada yang ketinggalan gak?" tanya Bibi untuk yang kesekian kalinya.
Kiran melihat ke arah koper, tas berisi makanan lalu menggeleng.
"Gak ada kayaknya Bi. Tadi kan Kiran udah periksa lagi sebelum berangkat ke stasiun"
"Jangan sampai lupa makan. Kalo gak sempet belanja sama masak, beli aja"
Kiran tersenyum. Dia mengerti pasti bibinya itu sedang mengkhawatirkannya. Maklum, mereka memang tidak pernah berpisah selama sepulkuh tahun ini. Apapun yang terjadi, mereka selalu berdua dan seperti tidak dapat dipisahkan. Tapi sekarang Kiran sengaja melepaskan diri. Untuk menjalani kehidupannya sendiri. Begitu juga dengan bibinya yang harus mengurus keluarga barunya.
"Kiran udah besar Bi"
"Iya ... tapi ... "
Kiran melihat air mata kembali mengalir di pipi Bibinya. Dia memeluk Bibi yang sudah seperti ibunya sendiri itu dan merasakan kehangatan yang sama seperti biasanya.
"Kiran bakal makan teratur. Juga telpon Bibi tiap hari. Tapi ... agak siang aja ya Bi. Takutnya Kiran ganggu quality time Bibi sama Paman lagi" canda Kiran membuahkan sebuah cubitan di perutnya sendiri. Sakit bercampur geli rasanya.
"Pokoknya telpon kapanpun kamu mau. Bibi bakal nunggu terus setiap hari. Kalo bosen disana sendiri, pulang ke Jakarta"
"Iya"
Kiran melepas pelukannya dan menghapus bekas tangisan Bibinya.
"Ran, aku cuma bisa nemu minuman yang ini. Gak apa kali ya?"
Kiran terkejut melihat dua kantung plastik minimarket yang penuh di tangan Cia dan Putri.
"Kalian mau ikut?" tanya Kiran curiga.
"Ini semua buat kamu. Habisnya kan kamu nanti di rumah sendirian. Mending nyetok makanan instan kayak gini"
Kiran melihat mi instan, kue kecil kesukaannya dan banyak sekali coklat.
"Aku kan cuman sendirian nanti. Bisa buat satu bulan tuh setoknya"
"Pokoknya habisin. Jangan sampe kamu kelaparan gara-gara takut keluar rumah nanti" perintah Putri.
"Baik Bos" jawab Kiran dengan posisi siap.
Saat dia mengira bawaannya sangat banyak, Kiran keliru. Pamannya yang tadi berjalan-jalan di sekitar stasiun kembali membawa satu kantung plastik berisi brownies khas Bandung tiga kotak.
"Ini ... "
"Kamu bawa aja" kata Pamannya lalu menyerahkan semuanya pada Kiran.
Sepertinya Kiran bakal gendut kalo harus menghabiskan semua makanan ini. Apalagi di rumah lamanya belum ada kulkas untuk menyimpan makanan yang cepat basi.
Setelah menata kembali barang bawaannya, Kiran akhirnya membawa dua tas di tangan kiri dan satu koper di tangan kanannya lalu berjalan masuk ke dalam area stasiun. Dia melambaikan tangan sebelum menghilang ke dalam. Dan sempat melihat Cia menangis. Sedih sekali rasanya meninggalkan satu-satunya keluarga yang dia miliki, juga dua sahabatnya untuk pergi bekerja. Tapi ... Kiran tau kalau semua ini perlu dilakukannya. Demi kedamaian di dalam hatinya.
Kiran masuk ke dalam kereta Gajayana yang akan mengantarnya ke Malang dan meletakkan semua barang bawaannya di atas kursi. Tak lupa dia menyapa orang yang duduk di sebelahnya. Mereka akan menjadi teman perjalanan selama tujuh belas jam berikutnya. Suara peluit menandakan kereta akan berangkat dan Kiran merasakan hentakan ke arah depan. Perlahan kereta Gajayanan jurusan Jakarta-Malang akhirnya berangkat. Dia menghembuskan napas panjang lalu mengetik teks kepada Bibi dan dua sahabatnya.
"Aku berangkat. Doain ya!!! I Love you"
Pesannya segera mendapat balasan yang hampir membuatnya menangis. Intinya, Bibi, Paman, Cia dan Putri akan menunggu kabarnya selalu. Juga mendoakan Kiran menemukan apa yang dicarinya di Malang nanti.
Yang dicarinya?
Apa sebenarnya yang dicarinya di Malang?
Kenangan akan ibunya?
Atau ... orang yang tidak pernah dilihat atau didengar kabarnya lagi selama lebih dari sepuluh tahun ini? Orang pertama yang membuat hatinya sakit sampai terpaksa pergi dari kota kelahirannya sendiri. Orang asing yang sempat menjadi keluarga lalu kembali menjadi orang asing itu. Kakaknya.
Tujuh belas jam akhirnya berakhir begitu saja saat kereta berhenti di Stasiun Kota Malang.
"Aku baru aja nyampe Bi"
"Gak capek? Kamu pasti capek banget ya? Kan Bibi udah bilang mending naik pesawat aja"
Kiran segera menghubungi Bibinya begitu menginjakkan kaki di Malang.
"Gak apa Bi. Kiran juga bisa tidur kok di kereta"
"Ya udah. Kamu bisa pesen ojol atau naik becak buat ke rumah. Tapi kasian nanti tukang becaknya"
"Nanti Kiran liat dulu di depan ya Bi. Ini Kiran belum keluar dari stasiun"
"Oh, iya deh. Pokoknya makan dulu kalo udah nyampe rumah"
"Iya Bi"
Kiran keluar dari stasiun dan disapa oleh banyak orang yang menawarinya mobil sewa dan becak. Karena jarak rumahnya lumayan jauh dari stsiun, Kiran memesan ojol mobil. Kasihan tukang becak kalau harus mengantarnya apalagi membawa banyak barang seperti ini. Melihat tugu Malang membuat Kiran yakin kalau dia benar-benar sudah ada di kota kelahirannya. Sepertinya tidak banyak yang berubah dari kota ini. Hanya beberapa kecil saja dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu. Kiran menikmati perjalannya dengan melihat setiap jalan yang dilaluinya dan tak lama sampai di sebuah rumah tidak asing.
Daerah yang tidak pernah berubah. Mungkin karena dekat dengan sebuah Museum yang berdiri sejak tahun 1962 itu. Juga berada di sekitar jalan besar Ijen yang masih sama dari dulu sampai sekarang.
"Sudah sampe Mbak" kata sopir ojek online itu menyadarkan Kiran dari lamunannya.
"Iya Pak. Barangnya yang di belakang minta tolong dikeluarkan Pak"
"Iya"
Setelah Kiran membayar ojol, dia hanya bisa berdiri di depan pagar yang diingatnya itu. Dia menarik napas panjang lalu berjalan memutari pagar menuju pintu gerbang dan merasa dadanya sesak. Seperti memasuki pintu waktu ke masa lalu yang selama sepuluh tahun ini sengaja disingkirkannya. Karena ingin bertahan hidup demi masa depannya.
"Gak berubah" komentarnya saat memasuki gerbang. Dia bisa melihat rimbunnya tanaman yang ada di sekitar rumah. Lebih tidak terawat dari sepuluh tahun lalu. Hanya dua pohon besar yang diingatnya sudah tidak menaungi rumah ini lagi dari sinar terik matahari. Kata Bibi dua pohon itu sudah terlalu besar dan terpaksa ditebang agar tidak membahayakan rumah. Kiran berjalan ke arah teras dan tiba-tiba air matanya mengalir tak tertahan lagi.
"Ibu ... Kiran pulang" katanya dengan suara parau.
Semua ingatan akan ibunya lewat secara liar di pikirannya saat ini. Menimbulkan rasa rindu yang menyesakkan dada.
Sepuluh menit kemudian Kiran menghapus sisa air mata yang ada di pipinya. Berusaha untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Tapi pintunya terkunci. Oh iya, dia lupa minta kunci pada Bibinya. Dimana orang yang menyewa rumah ini terakhir kali meletakkan kuncinya? Kiran sibuk menggeser pot dan kursi, berharap menemukan kunci, tapi tetap tidak menemukannya.
"Kamu sudah datang?"
Kiran terdiam mendengar suara yang berasal dari belakangnya. Suara yang tidak pernah didengarnya lagi selama sepuluh tahun ini. Suara orang yang berhasil membuatnya pergi dari kota kelahirannya. Kiran berbalik dan melihat orang itu. Dengan matanya yang tidak berkedip, Kiran menangkap wajah yang sama tapi kesan yang begitu berbeda dari orang itu.
"Zanna. Apa kabar? Kamu masih ingat kakak?"
Ingat? Lebih tepatnya tidak bisa melupakan. Tapi, orang ini bukan seperti sepuluh tahun lalu. Banyak sekali perbedaannya. Mungkin dagu yang bersih? Bukan ... wajah orang ini terlalu bersih. Juga baju dan cara berdiri orang ini lebih ... rapi daripada yang selalu diingatnya sepuluh tahun lalu. Tapi tidak ada orang lain yang akan memanggilnya dengan nama itu. Selain ayah, ibu dan orang yang berdiri di depannya ini.
"Kak ... Dhika?" tanya Kiran lalu disambut senyuman oleh orang itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Baca Buku
Diksinya bagus.. alurnya rapih.. susunan kalimatnya bagus.
2022-10-22
1
Najandra'moms
kemana arah cerita ini
2020-10-12
0