"Cepet kerjakan!!! Dasar lambat!" teriak Desi pada anak yang baru bekerja sebagai bawahannya itu.
"Baik Bu"
Mendengar jawaban singkat anak itu, membuatnya kesal. Desi berdiri dari kursinya dan keluar dari ruangan. Sungguh sesak berada di ruangan yang sama dengan sesosok manusia yang tidak disukainya bahkan sebelum bertemu itu.
"Gak sarapan di rumah to Des?" tanya salah satu teman kerjanya yang lebih tua.
"Iya Pak. Duhhh perut saya rasanya sakit banget gara-gara belum sarapan" jawabnya dengan nada manis.
"Wahh. Nanti kamu sakit kalo gak biasa sarapan"
"Iya Pak. Gimana lagi. Kan saya masih single, jadi gak ada yang buatin sarapan"
"Pacarmu yang kemarin mana?"
Desi berpikir sejenak lalu ingat pernah dijemput oleh pacarnya seminggu yang lalu.
"Udah putus Pak. Posesif banget, saya gak suka"
"Kamu itu butuh yang lebih dewasa Des"
"Kayak Bapak ya?"
Teman kerjanya hanya menjawab dengan senyuman lalu pergi meninggalkan Desi di kantin. Tanpa pernah menoleh lagi.
"Dasar. Udah punya istri masih aja kuatir sama cewek lain" umpatnya kesal. Dia lalu melihat beberapa orang dari bagian lain, kebanyakan perempuan akan segera sampai di kantin. Desi memilih untuk segera angkat kaki dan membawa teh hangatnya pergi.
"Lho, kemana Bu Desi? Gak sarapan?" tanya salah satu dari orang-orang itu.
"Gak Bu. Saya diet, soalnya mau cari pacar baru"
Semua orang itu tertawa renyah sambil saling bertatapan. Tapi Desi tahu mereka hanya pura-pura tertawa sedangkan dalam hati menghinanya karena belum punya pasangan sampai hampir tiga puluh tahun.
Dia lalu melihat anak baru yang bekerja di bawahnya sedang berkeliaran membagikan bahan rapat. Sesuai dengan yang dimintanya beberapa saat lalu. Anak baru itu. Belum datang sudah menciptakan kesan yang terlalu baik di depan para Kabag. Usia dua puluh tiga tahun, baru lulus dengan predikat cum-laude. Lolos ujian penerimaan pegawai negeri hanya dengan satu kali percobaan. Ditempatkan sesuai dengan keinginannya. Sungguh luar biasa sekali nasib anak itu. Sepertinya hidup anak baru itu terlalu mudah dan Desi membencinya.
Bukan itu saja yang membuatnya tidak suka pada anak baru itu. Selama ini Desi dikenal sebagai kembang kantor. Atau perempuan yang memiliki penampilan paling cantik diantara semua pegawai. Tapi begitu anak itu muncul, posisinya terancam. Padahal anak baru itu tidak memakai riasan yang tebal sepertinya. Juga tidak terlalu tinggi dan menonjol di bagian tertentu sepertinya. Tapi kelihatannya, penampilan anak itu lebih seperti angin segar bagi mata para pegawai laki-laki di kantor ini. Mereka semua menyebut anak baru itu cantik alami dan cantik flawless. Hal itu mmebuat Desi semakin membenci Zanna Kirania. Karena itu dia berniat membuat kehidupan anak baru itu susah sebelum menyerahkannya pada Kepala Bagian Tanaman Pangan setelah pengangkatan nanti.
"Udah selesai belom??" teriaknya pada saat jam pulang hari Jumat itu.
"Belum Bu"
"Lanjutkan sampai selesai. Hari Senin nanti saya mau semuanya selesai!"
"Tapi Bu, saya gak bisa lembur"
Apa??? bagaimana bisa anak baru ini menjawabnya dengan santai seperti itu? berkata tidak bisa lembur pada atasan yang baru dikenalnya seminggu? Sungguh berani sekali. Kali ini Desi tidak akan tinggal diam.
"Emangnya saya peduli!!! Yang penting kerjaan itu beres hari Senin nanti!!"
"Baik Bu. Tapi saya gak mau kerja lembur di kantor"
"Apaa??? Bisa-bisanya kamu ... "
"Saya takut Bu kalo di kantor sendirian. Kantor Dinas ini kan bangunan lama. Kalo ada yang muncul waktu saya kerja sendirian gimana?"
Desi tidak habis pikir. baru kali ini ada yang melanggar perintahnya hanya dengan alasan takut dengan makhluk halus. Tekanan darahnya meningkat dan dia siap meledak. Lalu anak itu tanpa sopan santun mengemasi semua barangnya dan keluar dari ruangan bahkan sebelum dia. Ingin sekali Desi berteriak tapi dia harus menjaga citranya di depan semua orang. Desi mengambil tasnya, berusaha mengejar anak baru itu tapi tertinggal jauh. Anak baru itu sudah naik ojek online dan pulang entah kemana tujuannya.
"Paling gak, aku gak pulang naik ojek. Aku punya mobil" katanya dalam hati berusaha membuat dirinya menang dari anak baru itu.
Karena hari masih terang, Desi tidak berniat untuk pulang cepat. Dia datang ke sebuah rumah yang sudah diubah fungsi menjadi kantor sejak lima tahun lalu.
"Kenapa kesini?"
Sungguh tidak welcome sekali orang yang menyambutnya ini. Ryan, memang laki-laki paling tidak menyukainya. Dari awal kenal sampai sekarang.
"Ketemu Dhika. AKu kangen banget sama Dhika"
"Kangen?? bulshit. Kamu pasti pengen sesuatu"
"Aku ... pengen ketemu Dhika. Emangnya kenapa? Kamu cemburu?"
"Cihh. Amit-amit. Kenal sama cewek gak tau diri kayak kamu itu bikin sial"
"Ya udah kamu pergi aja sana. Toh aku pengen ketemunya sama Dhika kok"
"Dhika gak ada"
"Apa? Kemana?"
"Pulang"
Baru kali ini di hari Jumat, laki-laki itu pulang tepat waktu. Bahkan sebelum langit menjadi gelap.
"Apa Dhika sakit?" tanyanya dengan tangan berada di dada.
"Sok peduli. Pergi sana. Jangan balik lagi ke sini. Selamanya"
"Diiih. Kayak kamu aja yang punya kantor. Inget ya Ryan. Kamu itu cuma pegawainya Dhika. Yang punya semua ini tetep Dhika. Cowok yang gak akan bisa cuekin aku selamanya" kata Desi lalu berbalik ingin pergi.
"Jangan manfaatin Dhika terus-terusan. Dia bukan orng yang punya salah sama kamu"
Desi menoleh ke belakang dan memandang Ryan dengan tatapan menakutkan. Setelah puas, dia kembali berjalan ke mobilnya. Menendang batu di dekatnya lalu masuk ke dalam mobil dan berteriak untuk memuaskan amarahnya.
Emangnya kenapa kalo Dhika gak salah? Yang penting Dhika masih suka sama dia dan gak akan bisa lepas dari Desi. Sampai Desi puas, dia bisa manfaatin Dhika sesuka hati. Desi menyalakan mobil lalu memacunya dengan kencang ke sebuah cafe tempatnya sering menghabiskan malam.
Kiran baru saja pulang lalu melihat orang itu, lagi-lagi ada di depan rumahnya. Ini udah lima hari dan orang itu gak bosan-bosan ada disana.
"Kamu udah pulang?"
Kiran tidak menjawab dan mencari kunci rumah di dalam tas-nya. Setelah dapat, dia membuka pintu untuk masuk. Tapi langkahnya terhenti karena ucapan orang itu.
"Aku tau kamu kerja di Dinas Pertanian"
Kiran melihat heran pada orang itu. Gimana caranya kak Dhika tahu dimana dia bekerja? Bi Tia pasti tidak akan pernah mau bicara meski diancam menggunakan apapun. Jadi ... apa yang dilakukan orang itu sampai tahu dimana Kiran bekerja?
Lalu dia berpikir kalau sebenarnya hal itu tidak perlu dipusingkan. Memangnya kenapa kalau orang itu tahu dimana Kiran bekerja? Dia kembali melanjutkan acara masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu.
"Kakak punya banyak kenalan di Dinas Pertanian. Aku bisa carikan kamu bagian yang gak akan buat kamu kerja capek lagi"
Kiran medengar apa yang dikatakan kak Dhika di luar rumah dan tersenyum. Dia kembali ke pintu dan membukanya.
"Hebat banget. Orang kaya emang beda ya" katanya sebelum menutup pintu lagi. Namun kali ini pintu tetap terbuka karena ditahan oleh orang itu.
"Zanna. Kamu bisa minta bantuan kakak. Di Malang, cuma aku yang kamu punya"
Penegasan itu tiba-tiba membuat Kiran merasa kesal. Seandainya, orang itu mengatakan tepat seperti yang diucapkannya tadi sepuluh tahun lalu, mungkin dia tidak akan pernah pergi dari kota ini. Tapi sekarang, kata-kata itu tidak ada artinya lagi bagi Kiran.
"Aku cuma punya Bi Tia dan temen-temen di Jakarta. Aku gak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain mereka!" katanya lalu memaksa kak DHika mundur dan menutup pintu dengan keras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Bundanya Naz
nah lo 😄
2020-11-07
0
Najandra'moms
keren thor
2020-10-12
0