"Zanna, kenalkan ini Pak Burhan. Orang yang akan jadi ayah Zanna"
Kiran sangat mengingat hari itu. Hari dimana ibunya mengenalkan seorang laki-laki besar dan tinggi sebagai ayah barunya. Saat itu Kiran belum mengerti karena baru berumur lima tahun. Yang Kiran tahu, ayahnya meninggal sebelum dia lahir. Ayahnya yang bekerja di sebuah sumur bor minyak tengah laut, mengalami kecelakaan dan meninggal begitu saja. Ibunya yang sedang mengandung sempat mengalami syok berat juga karena diusir oleh keluarga ayah Kiran setelah kejadian itu. Akhirnya Kiran lahir di rumah ini. Rumah peninggalan orang tua ibu dan bibinya. Rumah tua peninggalan Belanda yang masih kokoh meskipun beberapa bagiannya perlu diperbaiki.
Untuk membiayai hidup, ibu Kiran meneruskan pekerjaannya sebagai sekertaris di salah satu mall Malang. Kiran ditinggal di rumah dengan pembantu dan juga Bibinya. Karena sibuk, Kiran menghabiskan banyak waktu tumbuhnya bersama Bibi dan bukan ibunya. Jadi ... saat ibunya memutuskan untuk menikah dengan Pak Burhan, dia tidak merasakan apa-apa. Dia hanya kesal karena rumah yang biasanya sepi menjadi sangat ramai. Karena bosan, Kiran memutuskan untuk berjalan-jalan di luar rumah dan ingin menghampiri temannya yang bernama Tasya.
Belum sempat keluar dari halaman, Kiran melihat seorang anak laki-laki yang duduk dengan wajah cemberut ke arah rumah. Siapa dia? pikir Kiran lalu lanjut berjalan ke rumah Tasya untuk bermain.
"Hei kamu!"
Kiran menoleh dan melihat anak laki-laki itu.
"Apa?"
"Kamu senang dapet ayah baru?"
"Ayah baru?"
"Iya. Kan kamu dapet ayah baru"
"Siapa?"
"Dasar anak kecil!"
Kiran memicingkan matanya merasa tidak suka karena dikatai sebagai anak kecil.
"Kamu juga masih kecil!" teriak Kiran.
"Aku udah SD, kamu masih TK"
"Tapi kamu juga belum gedhe"
"Kamu yang bocil"
Dikatai anak kecil saja Kiran sudah marah, apalagi bocah cilik. Selama ini dia tidak pernah diperlakukan seperti anak kecil. Dia harus mandiri karena ayahnya sudah meninggal dan ibunya selalu bekerja untuk mencari uang. Dia juga tidak pernah merepotkan pembantu yang disewa ibunya juga bibinya. Bahkan gurunya selalu memuji kedewasaan Kiran yang lain dari teman-teman TK-nya.
"Kamu bocah manja!" teriak Kiran lagi. Kali ini dengan mengembangkan kedua tangannya dan berjinjit. Berusaha membuat tubuhnya tampak tinggi dan besar.
"Apa? Tau apa kamu?"
"Iya. Kamu bocah manja"
"Dasar bocil galak"
"Aku gak galak! Kamu yang jahat!"
Pertengkaran mereka semakin menjadi karena tidak ada yang mengalah. Pertengkaran itu akhirnya terdengar sampai di dalam rumah dan beberapa orang mulai keluar untuk melihat.
"Kiran, ngapain?" tanya Bibinya yang menghampiri.
"Anak ini jahat. Ngatain Kiran"
"Kiran? Namanya bukan Zanna?" tanya anak laki-laki itu dengan sombongnya pada Bibi, membuat Kiran semakin kesal.
"Ini Zanna Kirania dan ini kak Radhika Pranaja, anak Pak Burhan" terang Bibi. Kiran sama sekali tidak tertarik mendengarnya.
"Bi, Kiran mau ke Tasya"
"Tapi ibu kamu pengen foto sekeluarga. Ayo Dhika juga"
"Gak mau!" kata keduanya kompak.
"Tapi ibu minta Bibi bawa kamu ke dalem. Dhika juga ayo"
Karena kesal, capek dan bosan, Kiran akhirnya tidak tahan. Dia mengeluarkan senjata terakhir yang dia punya.
"Huaaaaaa!!! Kiran gak mau. Kiran mau ke Tasya. Kiran mau ke Tasya!!" teriaknya bercampur tangis lalu memaksa Bibi mengantarnya ke rumah Tasya. Takut memperbesar tangis Kiran, akhirnya Bibi mengantarnya ke rumah Tasya. Tangis Kiran mereda, lalu dia mendengar anak laki-laki yang jahat itu bicara pelan.
"Enak banget bisa nangis"
Meskipun bisa melarikan diri ke rumah Tasya sampai sore hari. Kiran harus kembali ke rumah karena semua tamu sudah pulang semua. Rumah peninggalan kakeknya kembali seperti sedia kala. Besar dan sepi. Tapi ada kehadiran orang asing, membuat Kiran sedikit tidak nyaman. Dia memilih utnuk berada di kamar ditemani Bibinya. bahkan tidak ingin menemui ibunya yang begitu semangat memperkenalkan pak Burhan dan kak Dhika sebagai keluarga baru mereka.
"Zanna, bangun Nak"
Kiran terbangun karena suara merdu ibunya di pagi hari. Tidak biasanya dia mendengar suara ibunya di pagi seperti ini. Yang membangunkannya pasti Bibi atau pembantu mereka, karena ibu Kiran harus berangkat kerja pagi sekali.
"Ibu"
"Ayo bangun, sarapan. Kamu sekolah kan hari ini"
Kiran bangun dan melihat Bibinya siap kuliah. Juga anak laki-laki jahat yang bertengkar dengannya kemarin. Dan pak Burhan yang tinggi besar duduk di ujung meja makan.
"Zanna sudah bangun?" sapa pak Burhan tapi Kiran masih tidak mau menjawab.
"Nanti sekalian antar sekolah Kiran ya Mas"
"Boleh. Zanna berangkat sekolah sama ayah ya?"
Ayah? Kata Bibi pak Burhan memang resmi menjadi ayah Kiran sejak kemarin tapi rasanya aneh sekali memanggil orang asing dengan sebutan itu.
Jadilah Kiran ada di dalam mobil pak Burhan yang hitam dan besar. Ibunya melambaikan tangan dari rumah saat melihat mereka pergi. Ada yang aneh dari kejadian ini, tapi Kiran masih belum menyadarinya.
"Mulai sekarang Zanna berangkat sekolah sama ayah ya"
"Cih"
"Dhika!"
"Percuma ngomong sama bocil"
Kedua laki-laki yang duduk di kursi depan itu melihat sekilas pada Kiran yang masih tidak mengerti arti perkataan pak Burhan.
"Ayah Kiran gak ada. Kiran cuma punya ibu sama Bibi" kata Kiran saat turun dari mobil dan masuk ke dalam TK. Dia tidak peduli pada wajah sedih yang pak Burhan tunjukkan.
Kiran memang keras hati, tapi lama kelamaan dia mulai terbiasa dengan kehadiran dua orang laki-laki di dalam rumahnya itu. Dia juga terbiasa berangkat sekolah dengan pak Burhan dan anak laki-laki jahat itu. Dan yang lebih membuatnya terbiasa adalah kehadiran ibunya di rumah. Sudah lebih dari sebulan, ibunya selalu menyiapkan sarapan, menyambutnya pulang dan menemaninya tidur siang. Bukan hanya itu, ibunya juga memasak makan malam dan membantunya mengerjakan tugas sekolah setiap malam.
"Kok ibu gak kerja sekarang?" tanya Kiran membuat semua orang melihat ke arahnya malam itu.
"Soalnya ibu gak perlu kerja lagi"
"Nanti gak bisa bayar sekolah Kiran sama Bibi"
"Ibu sudah bayar sekolah Bibi. Kalo buat Kiran ada yang ganti bayarin"
"Siapa?"
Kiran melihat ibunya menoleh ke Pak Burhan dan anak laki-laki itu.
"Ayah Burhan"
Kiran melihat ke pak Burhan yang tersenyum.
"Kenapa?" tanyanya lagi tidak mengerti.
"Sekarang Ibu ada di rumah buat ngurus Kiran, Bi Tia sama kak Dhika. Gak perlu kerja lagi kayak dulu"
"Jadi Kiran pulang sekolah, ibu ada di rumah?"
"Iya"
"Sampe kapan?"
"Setiap hari"
Mendengar itu Kiran merasa sangat gembira. Dia sudah menunggu lama sekali agar ibunya selalu ada untuknya saat pulang sekolah. Dan kini semua itu terwujud. Karena hadirnya seorang pria besar yang tersenyum hangat ke arahnya.
Besok paginya Kiran berangkat sekolah diantar oleh pak Burhan. Dan tentu saja dengan anak laki-laki yang wajahnya seperti mau marah itu. Saat Kiran turun dari mobil, dia menoleh pada pak Burhan dan memeluknya.
"Makasih Ayah" katanya lalu berlari ke dalam sekolah. Dia tidak tahu kalau hal itu membuat pak Burhan merasa senang sekali. Tapi ... hal itu juga menimbulkan hati seseorang menjadi lebih gelap dari sebelumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
asyura_
wah ada yang baru nih. Semangat berkarya ☺️
2020-07-09
3