Bab 7

"Selamat ulang tahun Kiraaannnnn!!!"

Kiran diam saja mendengar Bibinya berteriak lantang dengan membawa sebuah boneka beruang besar di pelukan.

"Kenapa gak pulang Bi?" tanyanya kesal.

""Bibi kan udah kerja jadi gak bisa seenaknya libur"

"Tapi udah dua tahun Bibi gak pulang. Emangnya Bibi gak kangen sama Kiran?"

"kengennn donggg. Tapi Bibi kan butuh duit buat kasih kamu juga"

"Kiran gak minta duit"

"Ya udah kamu aja yang kesini"

"Gak mau. Nanti Bibi kerja gak nemenin Kiran jalan-jalan"

"Ya udah. Nnati bonekanya Bibi kirimin lewat paket ya. Apa Kiran mau yang lain?"

"Gak" bentaknya lalu meninggalkan ponsel ibunya di meja dan pergi ke kamar.

Dia marah dan kesal sekali. Bagaimana tidak. Tahun ini dia berusia dua belas tahun. Tapi sepertinya tidak ada yang peduli dengan itu. Bibi gak dateng dari Jakarta. Kak Dhika dan ayah Burhan sibuk mengurus kuliah kakaknya itu di Surabaya. Dan ibunya tidak membuat kue atau nasi kuning untuknya. Benar-benar ulang tahun yang menyedihkan. Tasya juga begitu. Ada kabar kalau ayahnya akan dipindahkan ke Papua. Tasya dan ibunya terpaksa ikut kesanan. Semuanya meninggalkan Kiran dan dia sangat membencinya.

"Zanna gak boleh bentak Bi Tia kayak gitu"

Ibunya datang ke kamar, pasti untuk menasehatinya lagi.

"Emang gak ada yang sayang sama Kiran"

"Zanna Kirania. Semuanya sayang sama kamu. Tapi kebetulan hari ini semua orang ada keperluan yang harus diselesaikan. Ayah Burhan sama kak Dhika juga bakal pulang setelah selesai mengurus pendaftaran kuliah. Ibu juga udah masak nasi kuning tuh" rayu ibunya dengan menunjukkan jari yang kekuningan. karena itu Kiran tidak bisa lagi merajuk. Dia melihat ibunya yang masih saja cantik seperti dulu dan memeluknya.

"Kiran cuma sayang sama ibu"

"Zanna. Gak boleh gitu. Ayah, kak Dhika sama Bi Tia pasti sedih kalo denger"

"Biarin. Pokoknya Kiran cuma sayang sama ibu aja"

Jadilah hari itu Kiran merayakan ulang tahun yang kedua belas, hanya dengan ibunya. Walaupun sederhana, Kiran cukup senang. Apalagi besoknya kak Dhika dan ayah pulang membawa kado yang bagus.

Tapi kesenangan Kiran hanya sebentar saja. Bulan berikutnya kak Dhika tinggal di Surabaya untuk kuliah. Hanya tinggal dia di rumah dengan ayah dan ibu yang semakin mesra meskipun sudah menikah sepuluh tahun.

"Zanna, malem ini ayah sama ibu mau dinner. Kamu ikut gak?"

"Idiiihhh. Ngapain Kiran ikut? Nanti ganggu"

"Tapi kamu sendiri di rumah"

"Gak apa Bu. Kiran udah berani kok di rumah sendirian"

"Beneran?"

"Iya"

Kiran melepas kepergian ibu dan ayah Burhan tanpa tahu kalau itu terakhir kali mereka bersama.

Jam setengah sebelas malam, Kiran mulai merasa kurang enak hati karena ayah dan ibu belum pulang. Dia bolak-balik pergi ke jendela depan, melihat kalau saja ada cahaya mobil ayah Burhan datang. Sampai tengah malam, hal itu tidak terjadi juga. Membuat Kiran semakin panik dan khawatir. Dia menghubungi Bi Tia dan kak Dhika, tapi keduanya tidak menjawab. Karena lama menunggu, perlahan Kiran tertidur di kursi ruang tamu. Lalu ... sekitar pukul lima pagi, ada suara ketukan pintu. Kiran segera bangun dan membuka pintu. Dia terkejut karena kak Dhika ada di depannya.

"Lho kak Dhika kok pulang? Katanya liburan bulan Juli nanti pulangnya"

Kak Dhika yang tampak pucat masuk ke dalam rumah lalu duduk tanpa bicara apa-apa. Kiran melihat keluar, berharap menemukan mobil ayahnya tapi tidak ada apapun disana. Hanya mobil kak Dhika yang baru dibelikan ayah sebagai hadiah masuk kuliah.

"Ibu sama ayah tega banget lho. Kiran ditinggalin sendiri di rumah sampe sekarang. pasti ayah sama ibu nginep di hotel deh" katanya sambil masuk ke dalam rumah. Tapi kak Dhika tidak berkomentar apapun tentang apa yang baru saja dia katakan. Orang itu hanya diam disana dengan meremas tangannya sendiri.

Setelah beberapa detik kemudian, kak Dhika melihat ke arahnya dan mulai membuka mulut.

"Zanna. Kamu duduk dulu"

"Ada apaan sih?"

"Kamu duduk dulu"

Kiran menurut dan duduk di meja. Tepat dihadapan kak Dhika.

"Ngapain sih?"

"Zanna. Kamu jangan kaget ya. Kakak tadi dihubungin sama Bi Tia dan langsung pulang ke Malang"

Bi Tia? Kenapa Bi Tia hubungin kak Dhika?

"Ohhh pantes. Kemarin Kiran telpon kak DHika sama Bi Tia kok gak ada yang angkat. Ternyata kakak sama Bi Tia sepakat gak angkat telpon dari Kiran ya?!" tuduhnya lalu cemberut.

"Zanna. Bi Tia sudah sampe di Malang tadi pagi. Sekarang ngurus kepulangan jenazah ayah sama ibu"

Tunggu. Sepertinya Kiran kurang mengerti apa yang tadi dikatakan kakaknya. Kepulangan jenazah? Jenazah siapa? Emangnya siapa yang meninggal? Ayah dan Ibu?

"Apaan sih Kak? Gak lucu banget. Ayah sama ibu itu makan malem di restoran kemarin. Kiran mau diajak tapi gak mau. Makanya mereka ngerjain Kiran dengan nginep di hotel. Biar Kiran ketakutan di rumah sendiri"

Sekali lagi kak Dhika tidak bereaksi terhadapa cerita Kiran.

"Zanna Kirania. Ayah sama ibu kemarin malam kecelakaan. Mobil mereka ditabrak truk dan keduanya meninggal di tempat. Bi Tia dihubungi oleh pihak polisi dan langsung pulang ke malang. Sebelum naik pesawat, Bi Tia telpon kakak biar datang ke rumah sakit, memastikan kalo itu bener ayah sama ibu. Ternyata ... bener"

Kak Dhika menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang besar. Kiran tiba-tiba lemas, tidak tahu harus berpikir seperti apa.

Setahunya, ayah dan ibu pergi ke restoran dan belum pulang sampe sekarang. Hanya itu. Dia tidak bisa percaya kalo keduanya sekarang tidak ada lagi di dunia ini.

"Kak Dhika bohong kan? Kan?"

"Zanna. Kakak lihat sendiri jenazah ayah dan ibu di rumah sakit. Keduanya sudah meninggal"

"Gak. Kiran gak percaya. Kiran gak percaya. Enggak. Gak mungkin"

Kiran meracau lalu berlari keluar rumah. Berusaha untuk pergi mencari tahu kebenarannya, tapi dihentikan oleh kak Dhika sebelum sampai ke jalan.

"Zanna. Kamu gak boleh gini"

"Kakak bohong! Kiran gak percaya!!!"

"Zanna. Adekku ..."

Kak Dhika memeluknya dengan erat. Lalu Kiran baru bisa menerima kalau semua itu benar adanya. Dia mulai menangis dan pingsan. Untung saja kak Dhika menangkap tubuhnya dan membawa Kiran kembali ke dalam rumah.

Saat terbangun, Kiran melihat wajah Bibinya yang masih dibasahi oleh air mata.

"Biiiii" kata Kiran lalu menangis lagi.

"Kiraann. Sabar yaaa. Ada Bibi disini"

Kiran tidak tahu pingsan berapa lama. Tapi rumah sudah penuh dengan orang yang melayat. Ada juga keluarga dari ayah Burhan dan ibu kandung kak Dhika yang datang. Sedangkan keluarga ibu hanya sedikit yang datang. Karena kebanyakan berada di luar Malang. Kiran akhirnya melihat wajah ibu dan ayah Burhan yang terbaring bersebelahan. Kedua wajah itu sudah pucat, membuat Kiran kembali menangis lagi.

"Tau gitu Kiran ikut aja kemarin. Kiran mau ikut ibu aja. Ibuuu"

Semua orang terdiam mendengar kata-kata Kiran. Seakan ikut merasakan kesedihan anak yang ditinggal kedua orang tuanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!