'Enak banget nih guling. Agak keras dikit atasnya tapi enak buat dipeluk. Besar lagi' pikir Kiran yang malas bangun dai tidurnya. Pilihan kasur, bantal dan gulingnya kemarin memang tepat. Tidurnya sangat nyenyak semalam dan dia tidak ingin bangun. Lima menit kemudian Kiran yang kembali tidur merasa terganggu dengan suara dering ponsel yang asing. Dia tidak pernah memasang dering ponsel seperti itu. Lagu metal yang keras dan tidak enak didengar di telinga.
"Jam berapa ini?"
Apa? Siapa yang bicara seperti itu? pikir Kiran. Apa dia masih berada di dalam mimpi sekarang? Karena dia yakin sekali mendengar suara laki-laki di dekatnya. Kiran terpaksa membuka mata dan sangat kaget dengan guling besar yang sedang dipeluknya.
"AAAAHHHHH" teriak Kiran lalu menendang tubuh besar itu sampai terjatuh di lantai.
"Oughhh. Zanna, tega sekali kau ... "
"Gimana? Kok bisa? Kenapa?" Kiran tidak bisa menemukan kata yang cocok untuk menggambarkan rasa kagetnya ini. Bagaimana bisa kak Dhika ada di kasurnya? Itu berarti mereka tidur bersama semalaman? Yang terakhir dia ingat hanyalah rasa enak dipijat oleh kak Dhika lalu semuanya kabur begitu saja.
"Aku ketiduran" jawab kak Dhika lalu berdiri dan melihat ke arahnya.
"Kenapa disini? Kak DHika kan bisa keluar dari rumah ini. Kak Dhika juga bisa tidur di bawah atau kamar lain"
"Kamu pikir aku mau tidur di kamar yang ranjangnya sudah jelek karena dipakai banyak orang itu?"
"Pergi. Kak Dhika bisa pergi"
"Aku ngantuk dan ... "
Terdengar lagi bunyi dering telepon yang keras dan memekakkan telinga itu. Kak Dhika mengambil ponsel yang ada di atas meja lalu keluar dari kamar. Meninggalkan Kiran sendiri di kamar dengan semua rasa bingungnya.
Bukan. Ini bukan kesalahan yang besar, pikirnya mencoba mencari pembenaran. Kak Dhika hanya ketiduran di kasur yang sama dengannya. Mereka berdua hanya tidur di kasur yang sama. Walaupun mereka adalah laki-laki dan perempuan yang dewasa, itu tidak berarti apa-apa. Karena mereka tidak melakukan apapun selain ... tidur. Kiran menyibakkan selimutnya lalu turun dari kasur. Yang harus dia lakukan sekarang adalah berlaku seperti biasanya.
"Harusnya aku gak nerima pijetan orang itu semalam" sesalnya.
"Punggungmu pasti masih sakit. Jangan mengangkat yang berat-berat lagi" kata kak Dhika kembali masuk ke dalam kamarnya. Bagaimana bisa orang itu keluar masuk kamarnya dengan leluasa?
"Sekarang kak Dhika bisa pergi aja gak?"
"Iya. Aku pergi. Tapi kamu harus berpikir tentang perbaikan rumah. Tinggal disini sendirian, apalagi untuk perempuan sepertimu. Bahaya sekali"
"Gak usah sok peduli"
"Aku peduli karena kamu adikku"
Adik? Kiran ingin tertawa mendengar kata itu keluar dari mulut orang itu.
"Aku ini cuma bocah kecil berisik. Apa kak Dhika ingat itu. Oh iya, jangan-jangan kak Dhika juga lupa kalau aku dikatai pembawa sial juga sama pakdhe kak Dhika waktu itu!!"
"Kamu masih mengingatnya?"
"Masih?? Ya iyalah. Gimana bisa aku lupa sama semua itu? Aku benci banget sama kak Dhika"
Akhirnya setelah sepuluh tahun, Kiran bisa menyampaikan semua itu langsung kepada orang yang paling dibencinya ini.
"Aku pulang dulu. Nanti malem, aku kesini lagi" kata kak Dhika setelah beberapa detik berlalu.
"Gak usah. Gak usah kesini lagi. Kita bukan keluarga lagi dan serahkan kunci rumah ini!"
Kak Dhika seperti tidak mendengarkan permintaan Kiran dan berjalan keluar kamar. Kiran mengikuti dengan langkah cepat dan berhasil menghentikan orang itu sebelum mencapai pintu depan.
"Kamu gak boleh sendirian di rumah ini"
"Kak Dhika gak usah peduli. Kita gak ada hubungan keluarga lagi. Mana kuncinya?"
Kiran tidak sabar lagi dan mulai mencari keberadaan kunci itu di kantung celana orang itu. Tapi yang ditemukannya bukan kunci melainkan sesuatu yang menonjol di dekat paha kak Dhika. Itu??
"Sial. Ini masih pagi"
Dhika pergi meninggalkan Kiran yang masih terdiam di dalam rumah. Ini masih pagi, dan tubuhnya sangat normal. Bukan salahnya Kiran tadi menjumpai dirinya yang bangun di bagian pangkal paha. Itu karena adiknya sendiri yang memaksa mencari kunci duplikat milik Dhika. Dia berjalan untuk pulang ke rumahnya sendiri dengan sesekali melonggarkan celana di bagian itu. Rasanya pagi ini celananya sesak sekali.
"Darimana?" tanya Ryan yang datang ke rumahnya pagi ini.
"Jalan-jalan"
"Dengan pakaian seperti itu? Kata penjaga rumah kau tidak pulang semalaman. Jangan bilang kalo ... "
"Diam. Aku akan mandi dulu"
"Kenapa kau tidak mengajakku mengunjungi Zanna? Kalo tidak apa aku boleh pergi ke rumahnya?"
Dhika berhenti melangkah dan menatap tegas pada temannya itu.
"Tutup mulutmu!" katanya lalu pergi ke kamarnya untuk mandi.
Di bawah pancuran air, Dhika mengingat semua perkataan Kiran. Adiknya itu ternyata masih membencinya. Padahal sepuluh tahun sudah berlalu. Dengan waktu selama itu, belum bisa menyembuhkan luka di hati Zanna. Lalu apa yang harus dia lakukan agar bisa dekat lagi dengan adiknya? Dhika menghentikan air yang mengalir dan mulai mengeringkan badan saat sebuah pesan muncul di ponselnya.
"Pakdhe tau anak itu sudah ada di Malang"
Dhika menghela napas kasar. bagaimana bisa pakdhe-nya tahu Zanna ada di Malang? Dia sudah berusaha sebaik mungkin urntuk menutupi masalah kepulangan adiknya ke kota ini lagi. Tapi tetap saja ... . Apa pakdhe-nya mengirim orang untuk mengawasi rumah Zanna? Kalau benar pasti tidak lama lagi ketiga orang yang terus mengganggunya tentang masalah peninggalan ayah itu akan mendatangi Zanna. Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.
Sebenarnya setelah ayahnya meninggal, Dhika ditemui oleh seorang pengacara yang mengaku menyimpan wasiat ayahnya. Tentu saja Dhika sebagai anak menerima sebagian besar aset peninggalan ayahnya. Pakdhe dan dua buleknya juga menerima sejumlah uang untuk membangun hidup mereka sendiri-sendiri. Sebelum pertemuan itu berakhir, tiba-tiba pengacara itu memberikan sebuah surat pada Dhika. Surat itu berisi wasiat ayahnya untuk Zanna.
"Jaga adikmu dengan baik. Pastikan Zanna tidak akan pernah menangis lagi"
Hanya dua kalimat itu yang ada di dalam surat. Tapi ketiga saudara ayahnya beranggapan kalau surat itu berisi penyerahan aset pada Zanna. Sekeras apapun usaha Dhika untuk menjelaskan, pakdhe dan dua buleknya tetap tidak percaya. Mereka tetap menganggap Zanna menerima sesuatu yang bukan hak-nya. Dan ketiga orang itu berniat untuk menemui Zanna dan memeriksanya sendiri.
"Zanna tidak menerima apapun" balas Dhika pada pesan pakdhenya.
"Pakdhe gak percaya sebelum ketemu sendiri sama anak itu"
Dhika kesal sekali. Apa dia harus mempertemukan Zanna dengan sauadara ayahnya? Tapi adiknya itu tidak akan pernah mau. Dhika kesal sekali karena masalah ini tidak pernah selesai. Dan saat inilah waktunya untuk menyelesaikan semua. Dia harus segera memperoleh kepercayaan Zanna lagi..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Najandra'moms
merabaw alur ceritanya.
bagus
lanjut thor
2020-10-12
0