"Kapan ulangan Matematika?"
"Besok"
"Kamu sudah ngerti yang ini?"
"Udah tapi kok bisa jawabannya segini?"
"Kamu belum ngerti berarti. Kakak jelasin sekali lagi. Perhatiin baik-baik!"
Kiran cemberut dan sebal dengan kak Dhika yang tiba-tiba menjadi guru les di rumah.
"Iya iya"
"Lihat ini. Dibaca bener-bener. Tulis apa yang diketahui dari soal cerita ini, baru kerjakan!"
"Jangan keras-keras sama Zanna. Adikmu itu kan masih kecil" kata ayah Burhan berusaha menolong Kiran. Tapi itu tidak berguna karena kak Dhika menjadi semakin tegas dari sebelumnya.
"Ini ada donat. Ini yang isi kacang ya Dhika"
Ibu menghidangkan donat di depan Kiran yang tergoda untuk makan.
"Makasih Bu. Itu ada donat isi strawberry kesukaan kamu. Tapi gak boleh dimakan kalo pe er-mu belum selesai"
"Istirahat aja dulu. Zanna biar makan donatnya, keburu dingin"
"Ayah jangan belain Zanna. Dhika kasihan itu ngajarinnya dari tadi"
"Tapi anak perempuan ayah udah laper itu"
Kiran dan kakaknya saling berpandangan, melihat kedua orang tua mereka saling membela masing-masing anak mereka.
"Ayo cepet kerjakan terus tidur" ucap Kak Dhika malas meladeni kedua orang tuanya.
"Iya" Kiran setuju dan mulai mengerjakan pe-er sampai selesai. Lalu mereka berempat makan donat bersama.
Besoknya Kiran pulang sekolah dengan kesal.
"Kenapa?" tanya ibunya.
"Ulangan Kiran dapet tujuh puluh"
"Kok bisa?"
"Gak tau nih. Katanya Bu Guru cara Kiran salah" katanya. Dia memastikan untuk bisa marah ke kak Dhika karena hal ini. Lalu orang yang ingin dimarahinya masuk ke dalam rumah dalam keadaan yang aneh. Kak Dhika tidak menyapa sama sekali dan langsung masuk ke dalam kamar. Juga mengunci pintu kamar dari dalam. Kiran dan ibunya saling berpandangan lalu berlari ke arah kamar kak Dhika.
"Dhikaaa. Ada apa Nak?"
Tidak ada jawaban dari dalam. Hanya ada keheningan disana, membuat Kiran dan ibunya mulai khawatir. kak Dhika belum pernah seperti ini sebelumnya.
"Tidur kali Bu"
"Tapi Dhika belum makan. Nak ayo keluar!"
Tidak ada lagi jawaban dari dalam kamar.
"Beneran tidur kali Bu"
"Nanti kalo mau makan keluar ya Nak"
Kelakuan kak Dhika ternyata tidak berhenti disitu saja. Seminggu kemudian kakaknya itu masih mengunci pintu begitu pulang sekolah. Saat ayah Burhan bertanya, tidak ada jawaban juga dari mulut kak Dhika. Diam, diam dan diam. Membuat semuanya khawatir mendapati perubahan sikap kak Dhika yang seperti itu. Lalu ... sesuatu terjadi saat Kiran baru pulang sekolah. Dia mendengar sesuatu dari kamar kak Dhika. Suara benturan yang keras sekali.
"Apa itu?" tanya ibu yang lari dari arah dapur"
"Gak tau. Dari kamar kak Dhika" jawab Kiran lalu menunjuk ke kiri.
"Lho, emangnya kakak kamu udah pulang?"
"Lha tadi apa?"
Ibu dan Kiran mendekatkan telinga ke pintu kamar kak DHika. Mereka tidak mendengar apapun setelah suara benturan itu.
"Gak ada apa-apa gitu. kakakmu belum pulang dari tadi"
"Lha tadi apaan Bu"
Kiran mulai merasa takut. Rumah ini sudah berdiri sejak jaman penjajahan Belanda dan mengalami beberapa kali ganti penghuni sebelum dibeli oleh kakek Kiran tiga puluh tahun lalu. Mereka menajamkan telinga lagi dan mendengar sebuah barang jatuh ke lantai dari dalam kamar. Mata ibu terbuka lebar dan kemudian segera memutar kenop pintu.
"Dhika. Kamu ada di dalem? Dhika???" teriak ibu seperti panik.
"Kenapa Bu?"
"Kamu cepet cari palu di dapur buat buka pintu ini. Cepettt!!"
Teriakan ibu membuat Kiran menjadi ikut panik. Dia segera berlari ke dapur dan mendapatkan palu. Ibu menerima palu itu dan memukul kenop pintu dengan seluruh tenaganya. Untung rumah ini tua, sehingga kenop pintu itu langsung hancur dengan pukulan ibunya. Waktu pintu terbuka Kiran melihat sesuatu yang mengerikan. Lantai kamar kak Dhika tertutup suatu cairan yang berwarna merah.
"Zanna, lari ke rumah Tasya sekarang. Panggil bapaknya Tasya suruh kesini. Cepett!!!"
Tanpa berpikir lagi, Kiran segera berlari ke rumah temannya itu. Dia menyuruh Bapak Tsaya untuk masuk ke dalam rumah dan tidak berani mengikuti. Tak lama dia melihat tubuh kak DHika lemah digendong oleh Bapaknya Tasya. Ibunya sibuk memegang pergelangan tangan kak Dhika dengan sebuah kain berwarna merah pekat. Apa itu? Darah?
"Zanna, telpon ayah suruh ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah Tasya dulu ya" pesan ibu sebelum berangkat ke rumah sakit dengan mobil Bapak Tasya.
"Kenapa tuh kakak kamu Ran?" tanya Tasya.
"Gak tahu"
"Itu darah kan?"
Kiran sepertinya mulai mengerti apa yang terjadi. Dia tahu dengan pasti kalau cairan yang ada di kamar kak Dhika adalah darah. Berasal dari pergelangan tangan kakaknya itu. Tapi kenapa kak Dhika berbuat seperti itu? Lalu dia teringat akan pesan ibunya sebelum berangkat ke rumah sakit tadi.
"Sya. Aku pinjem telpon kamu"
"Iya"
"Zanna"
Kiran keluar dari kamar Tasya dan melihat ayah Burhan memiliki wajah tanpa senyum sama sekali.
"Ayah. Kak Dhika gimana?"
"Dhika gak apa-apa. Ibu harus ada di rumah sakit, nunggu hasil lab Dhika. Untuk hari ini kamu tinggal di rumah Tasya dulu ya. Ini seragam sama buku pelajaran kamu buat besok. Ayah jemput kamu besok dari sekolah dan kita pergi sama-sama ke rumah sakit" jelas ayah Burhan.
"Iya" jawab Kiran.
Besoknya, ayah benar-benar membawa Kiran ke rumah sakit. Di sebelah kakaknya yang terbaring lemah, ibu tidak berhenti menangis.
"Ibu" sapa Kiran.
"Kamu dateng? Udah makan belum?"
"Udah. Kak Dhika kenapa Bu?"
"Gak apa-apa. Kak Dhika cuma capek. Capek banget sampe harus masuk rumah sakit"
Kiran tahu kalau penjelasan ibunya tidak sesuai kenyataan. karena dia melihat pergelangan kak Dhika dibalut oleh perban tebal. Tapi Kiran diam saja dan ikut menunggu di samping ranjang kakaknya.
Dokter kemudian masuk dan keluar dari kamar kak DHika. Begitu juga dengan ibu dan ayah Burhan. Mereka meninggalkan Kiran sendiri dengan kak Dhika yang masih menutup mata. Tapi Kiran tahu kakaknya itu tidak tidur dari saat dia datang.
"Kakak ngapain kok pengen mati?" tanyanya langsung, membuat kakaknya membuka mata dan melihat ke arahnya.
"Kamu ... gak akan ngerti"
"Kiran bukan anak kecil lagi"
"Kamu keluar sana. Kakak mau tidur lagi"
"Kak Dhika kalo sedih nangis aja"
"Apa?"
"Nangis aja. Kiran gak bakal bilang siapa-siapa kok kalo kak Dhika nangis"
Sedetik kemudian kak Dhika menutup matanya dengan lengan. Meskipun kesil, Kiran dapat mendengar isak tangis kakaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments