Jantung Regan berpacu dengan ritme yang begitu cepat. Kalimat pertanyaan yang diutarakan istrinya membuat ingatannya harus menggali di dalam dasaran kenangan yang telah di kuburnya rapat-rapat.
Memori tentang kejadian waktu lalu berputar kembali dalam ingatannya bagaikan kaset rusak. Rasa sakit dan kesedihan menyeruak menyesakkan dada.
"Kenapa?"
Wajah Regan berubah menjadi sangat datar. Nada suaranya terdengar sangat dingin.
Deg
Nyali Clara sedikit menciut mendengar pertanyaan suaminya. Nada dan raut wajahnya membuatnya takut untuk melontarkan kalimat berikutnya, tetapi, dia membulatkan tekadnya demi kelangsungan pernikahan mereka ke depannya.
"Apa ada yang salah dengan pertanyaanku, hmm?" tanya Clara kembali.
"Tidak, hanya saja, aku belum siap bercerita. Berikan aku waktu untuk menata perasaan ku dulu," jawab Regan.
"Oke, aku tidak akan memaksamu. Aku berharap kamu lebih terbuka lagi denganku. Jadikan aku istri yang bisa menjadi sandaranmu. Bagi bebanmu denganku agar kita bisa saling berbagi perasaan entah senang ataupun susah. Mari bangun rumah tangga kita dengan kejujuran dan kepercayaan."
Tangan Clara melingkar di pinggang kokoh suaminya. Tatapan matanya tidak pernah sedikitpun berpaling dari wajah tampan sang suami.
"Apa kamu mau menungguku? Aku ingin menyembuhkan lukaku tanpa harus melukai perasaanmu, jadi biarkan luka ini sembuh dengan usahaku sendiri dan aku berjanji kamu gak akan menunggu terlalu lama.
'Aku tak ingin kejadian waktu itu terulang kembali, jadi biarkan aku mengurusnya sendiri,' batin Regan.
Jari telunjuknya mengelus pipi Clara dengan gerakan yang sangat pelan dan lembut. Seolah-olah, jika kekuatan sentuhan ditambahkan, wajah sang istri akan merasakan kesakitan.
"Aku akan menunggu. Jangan kecewakan aku," balas Clara dengan penuh harap.
'Lalu apa peranku sebagai istrimu? Bahkan kamu tak mempercayaiku,' batin Clara, hatinya merasakan sakit dan kecewa, atas perkataan Regan.
"Oh iya, besok aku mau belanja bulanan, kamu bisa nganterin aku, 'kan?" pinta Clara.
"Maaf, besok aku sangat sibuk, Sweetheart. Kamu diantar supir aja, ya. Lain kali saja kita belanja bersama," sesal Regan
"Yah …."
Clara mengerucutkan bibirnya saking kesalnya dengan jawaban suaminya, tetapi, dia juga memaklumi kesibukan Regan.
Sebagai seorang pemimpin, banyak tanggung jawab yang harus dipikulnya. Apa lagi banyak ribuan karyawan yang menggantungkan kelangsungan hidupnya di perusahaan sang suami. Jadi, sebagai seorang istri, dia tidak bisa egois.
Demi menebus rasa bersalahnya, Regan berjanji akan mengajak Clara untuk liburan. Ternyata, cara itu ampuh mengembalikan mood istrinya.
Usai percakapan, Regan mengajak sang istri untuk kembali ke kamar. Waktunya mengistirahatkan tubuh dan pikiran.
*
*
Pagi ini, Clara berangkat bekerja tidak diantar Regan seperti biasanya. Suaminya itu mulai sibuk urusan pekerjaan untuk kedepannya, karena pembangunan proyek resort di Bali sudah mulai dijalankan lebih cepat dari rencana awal.
Di sinilah Clara sekarang, di ruang kerjanya yang telah di desain dan siapkan oleh mama Moa. Rutinitas Clara masih tetap sama, belajar dan mengasah kemampuannya.
Sayangnya, hari ini dia tidak terlalu bersemangat seperti biasanya, Clara kebanyakan melamun saat di berikan arahan oleh asisten mama mertuanya.
"Bu Clara," panggil Rea untuk kesekian kalinya, tetapi, tetap tidak mendapatkan respon dari sang pemilik nama.
Clara masih termenung memikirkan obrolan dirinya dengan sang suami. Dia menerka-nerka, kira-kira trauma apa yang membuat suaminya membenci perasaan cinta dan kenapa dia enggan melibatkan dirinya?
Potongan-potongan puzle di kepalanya membuat dia bertambah pusing. Siapa kira-kira yang bisa dia mintai jawaban atas teka-tekinya.
Rea menepuk pelan pundak Clara untuk menyadarkan menantu atasannya itu dari lamunan yang membuatnya tidak fokus. Entah masalah berat apa yang sedang menerpanya. Pikir Rea.
Tepukan halus yang diterimanya, membuat Clara tersadar.
"Eh, kenapa, Mbk?" tanya Clara. Wajahnya menampilkan raut keterkejutan.
"Seharusnya, aku yang tanya. Soalnya dari tadi kamu melamun terus, lagi ada masalah?"
Matanya menelisik raut wajah Clara yang tampak kusut tanpa adanya sinar semangat.
Clara memandang Rea dengan lekat, otaknya mulai berpikir. Kalau dari wajah dan penampilan, asisten mertuanya ini masih terlihat muda, umurnya mungkin masih sebelas dua belas dengan suaminya, tetapi, mengapa orang semuda ini bisa dipercaya menjadi asisten mama?
Setahuku, keluarga Regan ketika memilih seseorang yang akan dijadikan tangan kanan bukan dari kalangan sembarangan. Apa ada kemungkinan dia berteman dengan Regan seperti Devano?
"Oh, aku gak apa-apa, Mbk. Lagi mikir aja, nanti belanja bulanan mau beli apa aja. Kalau boleh tahu, apa mbk Rea itu teman mas Regan?" bohong Clara untuk menutupi kekacauan isi kepalanya.
"Iya, kita satu almamater dulunya, hanya saja beda fakultas. Tahu gak? Dia yang sekarang jauh berbeda dengan Regan yang aku kenal saat kuliah dulu. Regan yang sekarang jauh lebih dingin dan cuek. Apa kamu gak merasa membeku saat di dekatnya?" ucap Rea dengan sinyal kepo yang menyala kuat.
"Dia hangat loh, Mbk kalau sama aku. Aku, 'kan orang tersayang. Lagian siapa sih yang mampu menolak pesonaku, huh?"
Bangga Clara dengan wajah tengilnya, tidak lupa dengan kibasan rambut centilnya.
"Sombong banget, Neng, tapi, syukurlah kalau seperti itu, berarti dia sudah melupakan kejadian empat tahun lalu yang membuatnya sempat terpuruk," jawab Rea.
"Kejadian apa, Mbk?"
Rasa penasaran Clara semakin membuncah. Mungkin ini salah satu potongan puzle yang bisa menjawab beberapa pertanyaan yang ada di otak mungilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments