POV Mahfudz
Suara adzan subuh membuatku bangkit dari dudukku. Aku menguap beberapa kali. Sebenarnya aku mengantuk namun apalah daya tidur pun pasti aku tak akan sempat lagi. Aku mengambil hp dari kantongku. Lalu aku membuka aplikasi WA mengetik pesan pada seseorang.
[Assalamualaikum, Dok!]
Aku kirim pesan itu. Tidak ada balasan, bahkan dibaca pun belum walaupun sudah ada tanda centang 2. Aku kembali duduk.
[Dok, sudah adzan subuh. Saya sudah boleh tinggalkan tempat ini belum? Saya mau sholat subuh. Mau follow up pasien juga]
[Dok, ....]
[Dr. Raya belum bangun?]
Belum ada juga balasan.
Setelah tadi aku menemani dr. Raya menangani kasus pasien percobaan bunuh diri yang tiada lain adalah putri dari wakil walikota, dr. Raya memanggilku ke tempat yang agak sepi, menyuruhku mengamati ruang VVIP tempat pasien itu ditempatkan. Memperhatikan setiap orang yang masuk dan keluar ke kamar itu. Menyuruhku memfoto dengan kamera ponselku orang-orang yang bahkan perawat sekalipun yang masuk kesana.
Karena kondisi pasien tidak terlalu serius untuk berlama-lama di ICU, memang dr. Ali memutuskan untuk memindahkannya walaupun belum sepenuhnya sadarkan diri ke ruang perawatan. Setelah mengkonfirmasi sebelumnya pada pihak keluarga yang pada saat ini sedang berada di negara tetangga. Suami pasien sendiri sampai saat ini belum tahu di mana batang hidungnya.
Namun karena hal inilah dr. Raya memberikan no WA nya padaku agar aku bisa memberikan informasi sekecil apa pun padanya. Entah memang nasib anak koas yang harus melakukan sesuatu bahkan di luar nalar seperti ini. Siapa yang sangka dr. Raya yang kelihatan bersahaja memiliki sifat kekanak-kanakan seperti ini. Aku merasa seperti main detektif-detektifan.
[Dr. Raya, sholat subuh bareng yuk]
Aku kaget melihat pesan yang kukirim ke dr. Raya.
Astaghfirullah, apa-apaan ini, kenapa aku malah ngetik dan ngirim pesan kayak gini ke dr. Raya? Kau pasti gila Mahfudz, kataku dalam hati mengutuki diriku sendiri.
Segera aku menghapus chat yang terkirim itu. Terbayang olehku wajah dr. Raya dengan wajah dan pandangan setajam siletnya.
"Kau siapa mengajak aku sholat subuh? Kau suamiku???!!! Anak koas lancang!!!!" di benakku dia sedang mengatakan itu.
"Tidak ... Tidak ...." Aku geleng-geleng kepala.
Sebaiknya aku mencari perawat saja menitipkan pasien Ayuni untuk dijaga sampai aku selesai sholat, batinku.
Aku hendak bangkit dari dudukku mana kala bunyi chat masuk WA terdengar di hpku.
[Aku baru selesai wudhu, baru mau sholat. Mau sholat bareng?Aku sholat di poliklinik sendiri. Nggak ke musholla, yakin mau sholat bareng?]
Matilah kau Mahfudz, gerutuku.Ternyata dia sempat membacanya. Pake bahasa yang tidak formal lagi, biasanya pake "saya" sekarang malah pake "aku".
[Hehehe .... Maaf, Dokter!Saya cuma bercanda]
Chatku segera dibalas.
[Sholat kok dijadikan becandaan, sudah sana sholat, habis sholat kamu follow up pasien jangan lupa bikinkan statusnya juga sesuai SOAP jam 7 kamu sama teman-temanmu kumpulkan hasil foll upnya di ruangan obgyn poliklinik]
[Siap, Dok!]
\*\*\*\*
Sepeninggalan Mahfudz ke musholla, seorang perawat muncul dan masuk diam-diam ke ruang VVIP setelah memastikan kiri kanan tak ada orang yang mengamati. Dia ingin melaksanakan rencana yang telah diperintahkan seseorang padanya. Rencana ini harusnya dari tadi malam sudah dilaksanakan tetapi karena dr. Raya menyuruh seorang anak koasnya menjaga ruang VVIP secara diam-diam, dia juga tak bisa berbuat apa-apa.
Rini, nama perawat itu kini berjalan mengendap-endap masuk ke ruangan Ayuni, pasien yang setahu orang lain melakukan percobaan bunuh diri namun yang sebenarnya adalah korban dari sesuatu hal yang lain.
Rini sebenarnya tidak begitu tahu apa yang terjadi. Namun dia juga tau kalau kasus Ayuni ini bukanlah kasus percobaan bunuh diri. Karena itulah saat ini dia harus melakukan tugas ini.Tugas yang amat berat dari salah seorang petinggi di kota ini. Kalau bukan karena terpaksa, dia juga tak sudi melakukan pekerjaan hina ini.
Ayuni sama saja nasibnya dengan dirinya. Dulu dia adalah anak dari panti asuhan yang beruntung diangkat anak oleh salah seorang pejabat di kota ini. Seorang pejabat yang dengan pencitraannya mengasuh anak yatim piatu meraih simpati masyarakat. Semua orang menganggapnya beruntung. Namun tak ada yang tau deritanya di balik nasib yang katanya mujur itu. Sejak usianya 12 tahun dia harus mengalami pelecehan dan kekerasan seksual dari orang yang mengangkatnya sebagai anak. Dengan imbalan adiknya yang berusia kini berusian 12 tidak diapa-apakan. Ancaman demi ancaman diterimanya setiap kali lelaki bejat itu ingin menyalurkan nafsunya. Namun, apa pun yang diinginkannya selain kebebasan bisa ia dapatkan. Termasuk sekolah keperawatan dia bisa selesaikan dengan baik sehingga ia berhasil lulus dan diterima dengan jalur koneksi oleh kolega bapak Waridi, si ******** tua itu.
Ayuni pun seperti itu. 8 tahun yang lalu, Rini mendengar kalau Waridi pun mengangkat seorang anak tepat beberapa bulan sebelum ia mencalonkan diri sebagai pasangan walikota yang sekarang. Sekarang telah masuk 2 periode kepemimpinan mereka, namun kebusukan lelaki tua itu sama sekali belum tercium ke khalayak ramai.
Rini menghela nafas melihat Ayuni. Ini harusnya adalah saudara angkatnya juga jika mereka diangkat oleh orang tua yang waras dan memperlakukan mereka layaknya seorang anak. Namun selama ini Ayuni dan Rini ditempatkan di kota terpisah tak pernah dipertemukan karna mungkin ******** tua itu tidak mau kalau Ayuni dan Rini berkomplot menjatuhkannya.
Rini tau, kalau gadis di hadapannya ini pastilah tengah hamil anak dari Waridi, makanya ia disuruh entah bagaimana pun caranya harus berhasil menggugurkan kandungan gadis malang ini. Dia pun pernah mengalaminya dicekoki obat penggugur kehamilan sehingga ia mengalami keguguran entah sudah 3 atau 4 kali ia mengalaminya.
Lamunan Rini buyar mendengar salam imam mesjid sholat subuh dari pengeras musholla rumah sakit pertanda sholat berjamaah sudah selesai dan tinggal doa saja.
Rini harus cepat, keselamatan adik semata wayangnya tergantung pada tugasnya kali ini.
Rini menggelitik telapak kaki Ayuni ingin melihat respon pasien di hadapannya. Jari kaki Ayuni hanya bergerak sedikit yang berarti kesadarannya belum kembali sepenuhnya.
Rini mengambil obat dari kantongnya yang dia dapat dari menyogok perawat senior di rumah sakit ini dan diberikan lewat perantara salah seorang anak koas berkebutuhan khusus. Sebenarnya ia bisa mendapatkannya dari luar rumah sakit hanya saja waktu itu ia tak punya cukup banyak waktu.
"Maafkan aku, ya ...." bisik Rini lirih. "Aku tak punya pilihan lain".
Rini membuka tablet obat yang dipegangnya itu. Dan dengan gemetar ia mulai membuka mulut Ayuni. Memaksa membuka rahang yang mengatup itu dan memasukkan tablet obat tukak lambung yang bisa berefek menggugurkan kandungan juga. Lalu dengan paksa ia minumkan air mineral yang sejak tadi digenggamnya. Dan memencet hidung Ayuni hingga gadis itu secara refleks meronta-ronta, seperti ikan di darat yang kesulitan bernafas karena kekurangan oksigen.
Ayuni tersedak, air yang masuk ke dalam tubuhnya masuk ke hidung dan paru-parunya. Gadis itu mengalami aspirasi pasti sekarang.
Rini tau dia harus pergi sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Lisstia
kok jd ngeri.. bakalan berimbas ke dokter raya / Mahfudz gK ya
2022-05-19
0
Husna Anna Atoel
rutin periksa...itu nomor satu tuk yang hamil..
2021-03-23
1
Vera😘uziezi❤️💋
Kak beneran cerita kak ema itu menarik semua
2021-03-21
0