"Ray, ayo cepat!" Hawa menarik tanganku buru-buru begitu aku membuka pintu ruang ganti, padahal aku baru saja selesai mengganti pakaian dengan baju renang.
"Kenapa?" tanyaku.
"Itu kayaknya ada orang tenggelam. Ayo kesana! Siapa tau ga ada nakes di sana."
Aku melihat ke arah yang ditunjuk Hawa. Di seberang sana terlihat kerumunan orang di pinggir kolam. Dari dalam air seorang pria terlihat membawa seorang gadis remaja dari dalam air. Sepertinya pria itu menyelamatkannya.
"Ayo cepat!!!"
Aku dan Hawa berlari-lari kecil tergopoh-gopoh takut kepleset karna keramik lantai yang licin. Dari jarak kami ke kerumunan itu cukup jauh karna kolam renang umum ini lumayan besar dan luas dengan 2 kolam dewasa dan satu kolam anak-anak.
"Minggir- minggir!!! Permisi! Kami dokter."
Hawa segera menyeruak di antara kerumunan orang yg melihat kejadian itu, disusul aku. Dan kerumunan orang-orang itu langsung memberi jalan kepada kami.
Aku terkejut melihat korban tenggelam yang tiada lain adalah orang yang aku lihat di mall tadi. Siapa tadi namanya? Oh, Nadya. Aku masih ingat. Di sebelahnya lelaki itu, adalah pria yang sama dengannya ketika di mall, yang dugaanku adalah kekasih dari remaja kecil ini. Lelaki ini tengah berusaha membuka restleting depan baju renang gadis kecil itu.
"Dasar cabuuul!!!" Spontan aku mendorong lelaki ini dari tubuh anak itu. Pedofil ini tidak bisa dibiarkan.
Lelaki itu terkejut, dan menatapku marah. Dia mendorongku dan berusaha ingin mendekati gadis itu lagi. Aku tak terima dan balas menarik laki-laki itu.
"Kamu jangan kesempatan dalam kesempitan, ya!" ancamku sambil jariku menunjuk mukanya.
Aku berpaling ke arah Nadya. Di sebelahnya, Hawa, tengah memeriksa kondisinya, memeriksa denyut nadinya, dan mendekatkan telinganya ke pipi gadis itu. Hawa ingin mendengar suara nafas dari mulut dan hidung Nadya pasti.
"Dia henti nafas, Ray!kita harus segera melakukan CPR!!"
"Nad!!! Nadya!!!" panggilku lantang, memastikan kalau anak itu benar-benar tidak sadar.
"Kamu kenal?" tanya Hawa.
"Nggak." jawabku sambil menyempatkan diri melotot ke arah lelaki itu.
Hawa bingung mendengar jawabku, namun memutuskan untuk tidak bertanya dulu.
"Aku akan telpon ambulance dulu," katanya. "Sambil kamu lakukan CPR, Ray!"
Hawa berlari ke tempat penitipan tas dan barang berharga lainnya.
Aku segera mengambil posisi berlutut di antara leher dan bahu Nadya, meluruskan lenganku, namun sebelumnya aku menginginkan agar kerumunan orang-orang ini menjauh dari kami dulu.
"Bapak, Ibu, Adek- adek mas- mas dan mbak-mbak tolong ya, mundur sekitar 1 meter ke belakang! Mohon berikan kami tempat yg leluasa agar tidak pengap bernafas," himbauku.
Semua segera patuh refleks mundur, kecuali lelaki yang tadi bersama gadis kecil ini.
Dengan sigap aku membuka baju Nadya seperlunya, meletakkan sebelah telapak tanganku persis di dadanya dan menimpanya dengan telapak tanganku yang satunya. Tidak lupa mengucapkan bismillah sebelumnya, aku mulai melakukan CPR atau yang biasa disebut juga RJP (Resusitasi Jantung Paru).
Dalam satu menit pertama aku melakukan kompresi jantung. Menekan dada Nadya sedalam 5 cm sebanyak 30 kali. Selanjutnya sesuai prosedur melakukannya sebanyak kurang lebih 100-120 kali permenit, atau melakukan satu kali atau dua kali tekanan permenit.
Belum ada tanda- tanda bahwa Nadya akan bernapas. Aku melakukan tindakan selanjutnya yaitu pemberian nafas buatan. Dengan lembut aku mendongakkan wajah Nadya, memperbaiki posisi lehernya, meletakkan sebelah tanganku di dahinya dan membuka rongga mulutnya. Setelah itu, aku menjepit hidungnya dan memberi nafas buatan sebanyak 2 kali hembusan.
Belum ada respon dari gadis ini. Aku melakukan CPR lagi sebanyak 30 kali dan memberi nafas buatan lagi terus menerus sebagai sebuah siklus pertolongan pertama bagi seseorang yang mengalami henti napas.
Kurang lebih 15 menit aku sudah melakukan tindakan CPR ini untuk menyelamatkan anak ini, namun sepertinya belum ada tanda-tanda dia akan bernafas. Aku mulai khawatir ditambah lagi aku mulai merasa lelah memompa dada Nadya terus menerus tanpa henti. Tapi aku tak boleh menyerah. Sementara orang-orang di sekitarku yang berkerumun mulai berisik. Entah itu karena mengkhawatirkan nasib anak itu atau sedang mempertanyakan kompetensiku sebagai dokter sebagaimana pengakuan kami tadi kepada mereka.
"Wa, gimana? Ambulancenya udah dihubungi belum?" tanyaku pada Hawa yang kini ikut berlutut di sampingku sambil aku tetap terus menekan dada Nadya. Peluh mengucur deras di keningku dan seluruh wajahku.
"Udah, Ray! Mereka sedang menuju kesini. Hmm ....Tapi aku menghubungi Rumah Sakitmu loh ya, tadi aku hubungi ke RS katanya ambulance semua lagi dipake," jawab Hawa.Tentu saja yg dimaksudnya tidak bisa adalah rumah sakit milik mertuanya.
"Oh, iya. Sudah nggak apa-apa, Wa!"
"Kamu capek, Ray?" Hawa mengelap keringat di keningku dengan handuk kecil miliknya.
Aku menggeleng.
Aku hampir saja menyerah ketika aku merasakan detak jantung anak itu kembali. Dia bernafas dan terbatuk-batuk. Keluar air dari mulut dan hidungnya. Namun, aku merasa ada yang janggal dari suara tarikan nafasnya.
"Dia mengi, Ray!" Hawa mendahuluiku.
Aku mengangguk mengiyakan. Kelihatannya anak ini adalah penderita asma atau sesak nafas.
Hawa membantu memiringkan tubuh Nadya, agar air yang keluar dari mulutnya tidak masuk lagi lewat hidung. Sementara itu, aku mencari- cari sosok laki- laki yang menemani gadis ini. Dia pasti tau riwayat penyakit gadis ini kalau memang dia adalah orang terdekatnya.
Wah, kemana lagi dia? Apa dia kabur? batinku.
Namun prasangkaku itu segera tertepiskan ketika aku melihat dari jauh dia tergopoh-gopoh mendekati kami lagi sambil membawa tas sandang miliknya.
Tanpa banyak ba bi bu, aku to the point bertanya.
"Dia penderita asma?" tanyaku.
Lelaki itu mengangguk sambil menyerahkan sesuatu yang segera kutahu kalau itu inheler "Ya, Na-dia as-maa .... Na-dia .... se-sak .... na-pas"
"Haa? Apa ...." Aku tertegun ketika menyadari sesuatu.
Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Menuliskan sesuatu di kertas itu dan menunjukkannya padaku.
[Nadya, keponakanku. Dia sesak nafas]
Aku terperangah namun tetap menyerahkan inheler itu pada Hawa untuk membantu Nadya melegakan pernafasannya, walaupun tidak akan banyak membantu karna yang dibutuhkan Nadya sekarang adalah oksigen.Terlebih lagi aku heran lelaki itu bersikap seperti orang yang memiliki gangguan bicara.
Lelaki itu menulis lagi di kertas.
[Aku heran kenapa kamu menganggapku cabul pada ponakanku sendiri? Tadi aku membuka bajunya agar ia bisa mudah bernapas dan agar bisa leluasa melakukan CPR]
"Kamu mengerti prosedur CPR?" tanyaku tak percaya.
Dia mengangguk. Lalu menulis lagi.
[Iya. Aku nakes juga. Aku dokter]
Aku tertawa kecil meremehkan. "Mas, please! Kamu jangan mengada-ada, membualmu kelewatan! Kamu bisa aja membodohi orang termasuk anak kecil seperti Nadya ini. Kamu juga pasti cuma pura-pura jadi gagap kan biar kelakuanmu yang cabul tidak ketahuan? Jelas-jelas tadi aku melihatmu berdemo di depan kantor DPRD. Pakai pengeras suara nyaring sekali, sekarang kamu pura-pura bisu. Ihhh .... Please deh!"
Dia menulis lagi.
[Kamu melihat orang yang salah, itu bukan aku, aku sudah sedari tadi disini]
"Lalu itu siapa? Hantu?" tanyaku ketus.
Aku mengingat-ingat lagi. Sepertinya mereka memang bukan orang yang sama. Jarak antara kantor DPRD tempat aksi unjuk rasa tadi itu jaraknya tidak begitu jauh dari kolam renang ini. Sementara aku dan Hawa tadi lewat dari situ, unjuk rasa itu masih berlangsung. Dan kami baru saja sampai kolam dan masih ganti baju, lelaki ini dan Nadya sudah ada di sini. Itu berarti mereka sudah ada di sini sebelum kami datang.
Kuperhatikan lagi wajah lelaki itu dengan seksama. Benaran mirip kok!
"Jadi itu siapamu?Kembaranmu?"
Dia menulis lagi.
[Iya, mungkin saja. Aku memang memiliki kembaran, dia aktivis di kampus Universitas Bhakti Nugraha]
Aku manggut-manggut memikirkan kalau penjelasannya memang masuk akal karena memang mahasiswa kampus itu yang demonstrasi tadi.
"Okelah, masuk akal. Meski begitu aku tidak percaya kamu dokter."
Lelaki itu menghela napas pasrah. Sementara suara sirene ambulance terdengar semakin dekat, pertanda mereka sudah sampai di area kolam renang umum ini.
Benar saja yang datang adalah rekan-rekan perawat di rumah sakit tempat aku bekerja.
"Dokter Raya ada disini?" tanya mereka.
"Iya" jawabku." Tolong dibantu ya, Mid, Mi" Kataku pada Hamid dan Fahmi.
"Siap! Bu dokter!" kata Fahmi sambil menaruh tangannya di pelipis persis seperti orang yang memberi penghormatan pada atasan.
"Dia juga butuh oksigen. Kalian bawa?"
"Bawa donk. Kan tadi instruksinya begitu dari RS?"
"Yang jaga di IGD ada dokter siapa, Mid?" tanyaku pada Hamid yang pendiam.
"Harusnya sih dokter Aris, Dok! Tapi tadi beliau ada urusan mendadak. Kayaknya istrinya mau melahirkan deh."
Aku menatap Hawa sebentar "Wa, kayaknya kita nggak usah jadi berenang dulu deh, nggak ada yang jaga IGD"
"Ya, sudah nggak apa-apa, Ray. Kita bisa kesini minggu depan lagi"
"Apa kamu mau berenang sendiri aja?Tanggung loh, udah nyampe sini juga. Udah ganti baju pula."
"Nggak ah, aku pulang aja, nggak enak berenang sendirian"
"Beneran nggak apa-apa nih? Kamu pulang sendiri apa ikut aku aja ke RS?"
"Aku pulang aja Ray, kangen Yusuf"
"Kekasihku," ledekku yang disambut tonjokan di kepalaku.
" Ya udah. Aku titip motorku di rumahmu dulu, ya!"
"Ya .... Jangan lupa bayar parkirnya," canda Hawa.
"Ok, ok. Aku ikut kalian," kataku pada Hamid dan Fahmi. "Tunggu aku ambil tasku di tempat penitipan dulu."
"Dan kamu! Ikuti kami juga dari belakang." suruhku pada lelaki yang belum kutahu namanya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Sity Aminah
seru dan menarik cerita nya thor
2021-04-05
1
Sity Aminah
eeeee
2021-03-30
0
Vera😘uziezi❤️💋
Suka cerita nya kak ema
2021-03-21
0