"Dok, apa perlu saya cari rumah sakit rujukan buat bu Tya?" tanya Winda membuyarkan pikiran-pikiran yang ada di kepalaku.
Aku menggeleng sambil melihat buku panduan ibu hamil milik Tya yang ada di tanganku.
"Nggak akan sempat, Win!"
Aku membolak balik buku itu melihat riwayat kehamilan Tya. Hanya berisi satu baris saja di kolom itu. Dilihat dari usia kehamilan yang tertera di situ ketika usia kehamilan Tya masih 7w. Aku masih ingat itu pertama kalinya dia datang lagi padaku di kehamilannya yang kedua ini. Datang memamerkan kehamilannya dengan rasa bangga ingin menunjukkan buah cintanya dengan suaminya yang notabene adalah mantan kekasihku.Tak cuma itu dia juga menghina dan mencemoohku mengatakan bagaimana mungkin dokter obgyn seperti ku yanh bahkan belum pernah hamil dan melahirkan, bahkan menikah pun belum namun sok tau menangani wanita hamil dan membantu persalinan?
Karena dia begitu sangat mengesalkan dan menyinggung hal sensitif bagiku sebagai wanita aku pun murka dan melarang dia untuk kontrol padaku lagi di kemudian hari.
Namun bukan Tya namanya kalau tidak datang terus menerus menggangguku tiap minggunya. Aku selalu menolak dia tiap datang padaku karena dia cuma pembawa masalah bagiku. Namun siapa yang sangka kalau wanita menyebalkan ini malah sepertinya tidak kontrol sama sekali ke dokter lain.
Saat aku melakukan USG pada Tya, dia masih saja meringis merengek kesakitan sehingga sedikit menyulitkanku.
"Panggilkan Ali! Panggilkan dia ...!Aduuuhh .... Aaa ...." Tya membolak balikkan badannya ke kiri dan ke kanan.
"Hey, tenanglah sedikit Tya!" seruku. "Kalau operasinya sudah selesai dia pasti akan segera kemari."
Bukannya semakin tenang dia malah semakin menjadi-jadi.
"Kenapa dia lebih peduli orang lain daripada istrinya sendiri??!!" pekiknya. "Aku juga sedang bertaruh nyawa demi melahirkan anaknya."
Aku memilih diam daripada menjawabnya. Khawatir kalau nanti tekanan darahnya semakin naik kalau sampai jawaban yang kuberikan membuatnya stress.
Aku mengernyitkan dahi melihat monitor usg di hadapanku. Sekarang juga aku harus mengambil keputusan.
"Win, suruh bidan dan beberapa perawat menyiapkan VK!" perintahku.
Winda sempat terkejut, namun segera melaksanakan apa yang kusuruh. Menelpon bagian kebidanan rumah sakit dan menyiapkan Verlos Kamer yg berarti ruang bersalin.
Aku sudah memutuskan kalau Tya akan menjalani persalinan normal dan Tya langsung tau itu. Dia juga sempat kuliah kedokteran meski memutuskan untuk tidak meneruskannya lagi karena telah menikah dengan dr.Ali. Jadi dia pasti tau istilah-istilah kedokteran apalagi cuma sekedar VK.
"Apa maksudmu, Rayaaa?!!" teriaknya sambil menarik bajuku.
"Kamu mau aku VBAC dalam kondisi hipertensi? Kamu gilaaa??? Kamu mau aku mati???" teriaknya murka seraya masih terus mencengkaram ujung bajuku.
"Tenangkan dirimu,Tya ...." kataku mencoba untuk sabar. "Coba rilekslah demi bayimu juga!"
"Bagaimana aku bisa rileks?? Bagaimana aku bisa tenang? Kau mencoba membunuhku Raya? Kau tau aku pernah SC. Lalu sekarang kau menyuruhku bersalin normal dalam keadaan hipertensi??? Kau gila!Kau mau membunuhku?! Disini bahkan belum ada suamiku kau sudah memutuskan aku harus VBAC? Aduuuuhhh .... Kau jahat sekali, Rayaaaa!!" teriaknya masih terus kesakitan.
"Tya, dengar ...." kataku frustasi. "Aku tidak ingin membuat tekanan darahmu semakin naik, jadi ayo berdamai! Aku tidak punya pilihan. Ruang operasi penuh. Salah satunya bahkan sedang dipakai suamimu untuk operasi pasien. Untuk rujuk pun sudah tidak memungkinkan. Waktunya pun nggak akan sempat lagi, Tya! Kamu sudah pembukaan 8 tadi, mungkin sekarang sudah lebih! Tolong mengertilah! Kalau kamu dibawa rujuk ke rumah sakit lain, bagaimana kalau kamu brojol di perjalanan tanpa alat medis yang memadai? Malah makin berabe nantinya!" kataku menjelaskan.
"Kalau begitu, suruh keluarkan pasien yang ada di ruang operasi itu! Utamakan aku dulu dan bayiku. Nanti setelah aku baru mereka!" rengeknya.
Sumpah demi apa pun, kau semakin tidak masuk akal, gerutuku.
"Win, VK sudah siap?" tanyaku pada Winda.
"Sudah, Dok!" jawab Winda.
"Rayaaaa!!" jerit Tya. "Teganya kau! Aku tidak mau VBAC!"
Aku tidak menghiraukan penolakannya. "Suruh anak-anak bawa Bu Tya ke VK, sebentar lagi aku menyusul," perintahku yang langsung diiyakan Winda.
"Kau bilang saja kalau kau sebenarnya pengen aku mati agar kau bisa menggantikan posisiku di samping Ali, iya kan?Jangan mimpi kamu!!!" teriaknya kencang di antara kesakitannya.
"Dokter, Bu Tya pendarahan kayaknya!" kata Winda seraya membantu Tya bangkit dari tempat tidur menuju ke kursi roda.
Di tempat tidur pemeriksaan pasien terlihat darah di seprai. Dan itu sepertinya banyak, begitu pun di baju Tya. Melihat itu pun Tya semakin histeris saat melihat darahnya sendiri terlihat menggenang di kasur. Begitu pun darah yang mengalir di sela kakinya.
"Aduuuuuuhhhhh .... Bagaimana ini?!Aliiiii ....!!" pekiknya histeris.
"Ayo, Fud .... Cepat kamu yang bawa Bu Tya ke VK!" suruhku pada Mahfudz.
Mahfudz segera cepat tanggap dan mendorong Tya yang berlumur darah ke VK. Sementara aku sebelum ke VK harus membereskan dulu urusanku dengan ketiga pasien yang masuk daftar antrian dan belum sempat konsultasi denganku. Aku meminta maaf karena ada hal urgensi yang harus aku tangani dulu dan terpaksa harus mendahului itu dulu ketimbang konsultasi dengan mereka. Dan aku memberikan pilihan mengganti jadwal temu hari ini dengan besok atau hari kapan pun yang mereka mau. Dan untungnya mereka mau mengerti karena tadi pun saat Tya pecah ketuban mereka pun melihatnya sendiri sampai mereka melihat wanita itu dibawa dengan kursi roda dalam kondisi berlumur darah. Mereka tidak keberatan jika jadwal diganti esok hari dan itu membuatku lega.
\*\*\*\*
Solutio placenta atau abreptio placenta. Aku mendiagnosis dalam hatiku. Aku telah melihatnya saat melakukan USG tadi pada Tya. Kondisi dimana plasenta terlepas dari dinding rahim sebelum persalinan. Dan agaknya itulah kemungkinan besar kenapa terjadi pendarahan yang cukup serius pada Tya.
Aku baru di depan ruang persalinan saat mendengar jeritan Tya yang bukannya memanggil-manggil nama suaminya namun malah memanggil-manggil namaku. Uh, aneh sekali, batinku.
"Raya!!! Mana Raya ....??! Aduuuh .... Mama sakit sekaliiiii!" jeritnya.
Aku memasuki ruangan itu, membuka jas putihku dan menggantinya dengan baju hijau yang biasa kupakai saat melakukan tindakan.
"Aku disini! Apa yang kau ributkan sih?Berhentilah berteriak, lebih baik kamu simpan energimu untuk mengejan nanti!" kataku sambil mensterilkan tanganku mengeringkannya dan memakai sarung tangan.
"Raya, kenapa banyak orang disini?Aku nggak mau dilihatin rame-rame kayak begini!" keluhnya sambil masih tetap merintih.
Aku menatap orang-orang yang ada di ruangan ini.Mereka semua nakes ada yg bidan, perawat, anak akbid magang, anak akper magang begitu pun anak koas.
"Bu Tya nggak mau di cek pembukaannya, Dokter!" lapor bidan Eni.
Aku menatap Tya jengah. Apa-apaan itu pake acara malu-malu segala. Dia biasanya bahkan tak tau malu, pikirku.
"Baiklah, biar aku yang periksa, buka kakimu Tya!" perintahku setengah memaksanya.
Tya sedikit merengut walaupun pada akhirnya menurut. Aku melakukan internal examination atau yang disebut juga pemeriksaan dalam, untuk memeriksa perkembangan bukaan pada persalinan.
"Ini sudah bukaan 9" kataku sambil memperhatikan Tya yang sepertinya mulai lemas entah itu karena kehilangan banyak darah atau memang karena tidak kuat menahan nyeri kontraksi.
"Jangan mengejan dulu, Tya!" larangku saat melihat mimik wajahnya seperti ingin mengejan. "Tarik saja nafasmu, dan buang perlahan-lahan ...." bimbingku.
Ia mengangguk sembari menirukan apa yang kuajarkan. Peluh kelihatan mengalir membasahi kulitnya yang pucat. Nafasnya terlihat ngos-ngosan. Namun sesekali saat ia tak mengalami kontraksi ia menguap dan terlihat mengantuk.
"Jaga agar kamu jangan sampai tertidur!" kataku mengingatkan.
Beberapa menit kemudian ia mengejan tanpa diajari. Sepertinya ia mengalami kontraksi hebat. Aku mengecek lagi.
"Bukaan 10!" kataku yang diikuti beberapa orang anak koas dan anak akbid yang ikut melihat ingin tau.
Kepala bayi itu sudah terlihat di rongga serviks bagian dalam.
"Ayo, Tya! Atur nafasmu!"
Tya terlihat lemas namun berusaha mengikuti aba-abaku. Dia mengatur nafasnya, menarik nafas dalam dan membuangnya perlahan.
"Dorong!!!!" seruku memerintahkan.
Ia terlihat mengejan. Berusaha mengumpulkan tenaganya mendorong bayi itu dengan otot-otot pada rahimnya. Namun belum berhasil juga.
Aku membiarkan dia rehat sejenak mengumpulkan tenaganya lagi.
"Ulangi lagi!" kataku memberikan aba-aba. "Tarik nafas, dorong!!"
Tya melakukannya lagi, dan kali ini sepertinya usahanya sedikit berhasil. Kepala bayinya semakin terlihat dari luar serviks.
"Ayo, sekali lagi Tya, kali ini pasti berhasil!" kataku menyemangati.
Tya terlihat sangat lemas dan pucat, darah juga sangat banyak membanjiri bed verlos ini. Aku melihat tanganku yang sedikit gemetar dan berusaha aku sembunyikan. Ini bukan pertanda bagus. Namun, aku harus tetap memperjuangkan ini sampai akhir.
"Ayo, Tya sekali lagi!" kataku yang mulai terdengar depresi melihat perubahan kondisinya yg drop secara drastis.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang masih ada di dirinya akhirnya Tya mengejan lagi dengan sekuat dia bisa.
"Iya, begitu! Dorong!!!" seruku nyaris berteriak.
Bayi itu akhirnya keluar beserta feses yang tanpa sengaja keluar juga dari anusnya Tya. Ya, itu kondisi yang wajar terjadi. Namun, yang membuatku terhenyak adalah kenyataan yang terjadi di hadapanku. Bayi itu terlihat tidak menangis dan bergerak hanya sesekali jari-jarinya terlihat bergerak. Aku melihat salah seorang anak koas terlihat mau muntah entah itu karena feses yang juga keluar bersamaan dengan darah Tya.
"Bersihkan!" hardikku tak suka pada sikap anak itu.
Aku menatap bayi yang kini ada ditanganku dengan cemas. Semoga tidak...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Nima
aku ikut deg" an bacanya😅
2021-10-05
0
Sity Aminah
dek dak kan aku baca nya thor
2021-04-06
2
Husna Anna Atoel
dagdigdug...
2021-03-23
0