Aku berlari hampir tak menghiraukan lagi sekelilingku. Tidak sempat memperhatikan lagi kalau aku hanya memakai sandal jepit yang biasa kupakai sebagai sandal wudhu di ruanganku. Namun untungnya saja aku masih sempat memakai jilbab kaos rumahan yang selalu ada di dalam tasku buat jaga-jaga.
Beberapa meter sebelum IGD aku melihat Mahfudz. Anak koas yang berada dalam bimbinganku.
"Fud, ikut aku!" kataku begitu dekat dengannya.
"Bantu aku bawa ini!" kataku lagi sambil menyerahkan tas berisi peralatan dokterku tanpa merasa perlu meminta persetujuannya.
Begitu tas itu berpindah tangan aku segera memakai jas dokterku.
"Ayo!" ajakku.
Mahfudz manut saja dan mengikutiku dari belakang.
Aku mendorong pintu IGD dan langsung menuju staff yang menelponku tadi.
"Gus, kamu yang menelponku tadi?" tanyaku pada Agus.
"Iya, Dok! Dr. Samuel lagi ada tindakan. Dr.Gayatri ditelpon nggak ngangkat, nggak ada respon, Dok!Mungkin udah tidur."
"Terus pasiennya mana, Gus?" Mataku menatap sekeliling.
Ada dua orang yang kelihatannya berada di ranjang pasien. Yang satu bapak-bapak, dan yang satunya lagi anak kecil berusia 3 tahunan.
Agus menunjuk ke arah ranjang yang tertutup gorden. Segera aku menuju kesana dan menyibakkan gorden. Mahfud seperti biasa hanya patuh mengikutiku.
"Dr. Raya...." sapa Dr. Mila begitu melihat aku datang. Beliau salah satu dokter umum yang ada di rumah sakit ini.
"Lanjutkan aja, Dok!" kataku.
Aku membiarkan mereka menyelesaikan
tugasnya mengeluarkan racun dalam tubuh pasien dengan obat bilas lambung sehingga pasien itu muntah.
"Sudah hubungin internist?" tanyaku.
Internist adalah sebutan untuk dokter spesialis penyakit dalam.
"Sudah, Dok. Sebentar lagi dr. Ali datang."
"Istrinya dr. Ali sedang berada di ICU. Apa nggak ada internist lain?" tanyaku sedikit gugup. Aku belum siap bertemu Ali.
"Dr. Hadi jadwal masuknya besok, Dok!Kalau dipanggil sekarang pun rumahnya agak jauh. Yang paling dekat cuma dr. Ali. Lagi pula dr. Ali nggak keberatan dan menyanggupi datang kemari. Mungkin karena istrinya ada yang jaga, atau mungkin sudah aman ditinggal sebentar," dr. Mila menjelaskan.
Aku mengangguk paham. Aku meminta tasku pada mahfudz dan mengeluarkan stetoskop dan fetal doppler (alat pendeteksi detak jantung janin). Dr. Mila memandang risih pada Mahfudz, mungkin karena Mahfudz masih dokter koas dan dia merasa tak seharusnya Mahfudz berada di situasi segenting ini.
"Dia anak koas yang berada di bawah bimbinganku, siapa tau aku butuh bantuannya nanti," kataku sebelum dr. Mila mulai bertanya.
Aku mulai memeriksa kondisi pasien dengan tenang. Meletakkan stetoskop di dada pasien, kemudian di lengannya. Kemudian mendeteksi detak jantung janin dengan fetal doppler yang kupunya. Aku terdiam sesaat, berpikir sesuatu dan aku melihat kembali pasien dari ujung kaki dan ujung rambut. Ada bekas merah seperti cengkraman di lengannya dan juga merah di pergelangan tangannya. Dan tanda merah samar juga terlihat di pipinya. Memang tidak terlalu kentara, tapi aku bisa melihat ada sesuatu yang tidak beres di sini.
"Dr. Mila, bisa bantu aku sebentar? Aku harus memeriksa sesuatu. Oh, iya Mahfudz, kamu menunggu di luar saja sebentar," kataku.
Mahfudz lagi-lagi tak protes, dia hanya menurut.
"Bantu aku membuka pakaian pasien, ada yang harus kuperiksa" kataku pada dr. Mila dan seorang perawat di situ.
Dr. Mila dan perawat membuka celana panjang pasien dan juga underwear yang dikenakannya.
Aku meminta mereka menekuk kedua kaki pasien yang sudah tidak sadarkan diri itu. Selepas itu aku memasang sarung tangan karet yang kuambil dari tas.
"Dokter, apa mungkin ...." Dr. Mila dengan rasa penasarannya mulai mencium kecurigaanku.
Aku memberi isyarat agar ia tenang dulu dan jangan membuyarkan konsentrasiku. Aku sedang memeriksa organ intim pasien dan meminta perawat untuk mengarahkan senter kecil ke arah yang ku minta.
Lepas aku mendapat kesimpulan dari hasil pemeriksaanku, aku meminta kembali perawat merapikan kembali baju pasien itu.
Aku baru keluar dari gorden tertutup itu ketika bertemu dr. Ali di luar. Dia sama kagetnya denganku.
"Ra- Raya ...." katanya terbata. "Oh, maaf maksudku dr. Raya," ralatnya.
Entah karena ia tau aku tidak suka dipanggil Raya olehnya ataupun karena memang ingin menjaga jarak denganku sekarang.
Aku berusaha menjaga sikap agar rasa canggung dan rasa bersalahku tidak kentara.
"Oh, dr. Ali. Aku belum sempat bertemu kamu dan menjelaskan perihal persalinan Tya. Mungkin karena kamu sibuk juga tadi."
Dr. Ali mengangguk maklum. "Ya, jangan khawatir tentang itu. Professor, bidan dan para perawat yang membantu persalinan Tya sudah menjelaskan situasinya sedemikian rupa. Kau tak perlu khawatir. Kita bahas itu nanti saja."
Aku mengangguk setuju.
"Lalu, bagaimana kondisi pasiennya?" tanyanya menunjuk pada gorden dimana di dalamnya ada pasien yang dimaksud dr. Ali.
Aku menghela napas. "Aku rasa kamu perlu memimpin rapat tim dokter. Ini kasus serius. Dan sepertinya polisi perlu ikut campur tangan," jawabku.
Aku sempat menangkap mimik kaget di wajahnya namun berusaha ia kendalikan. Lalu tanpa banyak bertanya dia lalu menghampiri pasien yang berada di balik gorden itu.
\*\*\*\*
Dini hari begini siaran tv nasional sibuk memberitakan tentang anak angkat wakil walikota, Pak Waridi yang melakukan percobaan bunuh diri. Beberapa di antara reporter berita itu malah ada yang live menyiarkan kondisi rumah sakit Siaga Medika terkini.
Aku mematikan tv dengan remot yang ada di tanganku ketika mendengar pintu berdecit tanda dibuka. Aku dan dr. Mila sedari tadi menunggu dr. Ali selesai mengurus Ayuni, pasien kami yang dalam beberapa jam terakhir ini membuat heboh dunia maya dan dunia pertelevisian karena kasus percobaan bunuh dirinya.
Rapat tim dokter ini sementara hanya dihadiri kami bertiga sebelum besok rapat yang lebih besar digelar.
"Ok, mari kita mulai dari dr. Mila dulu. Saya butuh informasi detail tentang keadaan pasien waktu pertama dibawa kemari. Sebelum saya melakukan tindakan lanjutan,"
Dr. Mila dengan lugas lalu menceritakan bagaimana sopir dan asisten rumah tangga Ayuni menemukannya dalam kondisi mulut sudah berbusa dan kejang-kejang. Lalu dalam situasi panik itu mereka langsung membawa Ayuni ke rumah sakit ini.
"Kami melakukan tindakan bilas lambung, Dok, dengan berbagai pertimbangan walaupun sebenarnya bilas lambung di jaman sekarang tidak direkomendasikan lagi."
Dr. Ali manggut-manggut sebelum bertanya padaku. "Lalu, dr. Raya laporan apa yang akan kamu sampaikan terkait pasien?"
Aku menghela nafas sebelum menyampaikan laporanku. Aku bimbang apakah aku harus menyampaikan laporanku beserta kecurigaanku juga.
"Aku rasa .... Dia tidak melakukan percobaan bunuh diri," kataku ragu.
Kedua rekan kerja di hadapanku ini mengernyitkan dahinya.
"Lalu?" tanya mereka hampir berbarengan.
"Kondisi pasien sedang hamil 8 minggu. Dan setelah diperiksa ia mengalami kekerasan seksual. Luka yang saya temukan di organ vitalnya adalah luka baru beberapa jam lalu. Selain itu kalau diperhatikan benar-benar di wajah dan pipinya ada bekas tamparan dan di lengan dan pergelangan tangannya juga ada bekas cengkraman tangan dan ikatan. Aku menyimpulkan dia baru saja mengalami perkosaan. Dan kalau dilihat dari segi psikologi, harusnya begitu ia mengalami kekerasan seksual seharusnya dia butuh waktu untuk merenung sebelum memutuskan untuk bunuh diri karena dia memiliki janin yang sedang di kandungnya, kan?"
"Lalu?"
"Saya pikir, dia bukan melakukan percobaan bunuh diri, Dok! Melainkan adalah korban percobaan pembunuhan,8" jelasku.
Dr. Ali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pasien adalah seorang wanita bersuami dr. Raya. Jika seandainya mereka berhubungan intim katakanlah agak sedikit "hot" atau suaminya menginginkan begitu? Apa itu bisa dikategorikan pemerkosaan? Atau kalaupun benar analisamu tentang tamparan, cengkraman dan kekerasan lainnya, mungkin saja itu menjadi motifnya melakukan percobaan tindakan bunuh diri. Dan percobaan pembunuhan? Bukankah itu agak sedikit berlebihan tanpa bukti akurat?"
Aku menghela napas. Sudah kuduga kecurigaanku tidak akan bisa diterima.
"Hmmm.. iya juga sih, Dok!" jawabku.
"Sebaiknya kita tetap bekerja sesuai peranan kita sebagai tenaga medis. Tentang kecurigaan, hipotesa, motif dll, biarkan itu menjadi urusan kepolisian. Besok saya akan melaporkan kasus ini ke kepolisian sebagai kasus percobaan bunuh diri. Kalau memang bukan bunuh diri, kita akan segera tau," kata dr. Ali.
Aku dan dr. Mila mengangguk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Husna Anna Atoel
tegang pemirsaah...
2021-03-23
0
Vera😘uziezi❤️💋
Penasaran plus tegang cerita tentang keseharian dokter
2021-03-21
1