Singkat cerita, pada hari yang anehnya cerah di musim penghujan itu. Reya yang telah memantapkan hatinya datang menemui Gibran. Tentu saja tidak ada satupun yang tau soal pertemuan mereka.
Pertemuan itu hanya dihadiri oleh pihak ketiga dari pihak Gibran. Seorang pekerja hukum terpercaya yang akan menjaga keaslian perjanjian mereka.
"Saya punya permintaan."
"Katakan."
"Ini hanya untuk berjaga-jaga. Tindakan atas dasar apapun yang anda lakukan hingga terjadi kontak fisik diantara kita akan dikenakan sanksi." Jelas gadis itu serius.
Gibran tersenyum remeh. "Kamu seolah mengatakan jika saya adalah orang mesum yang gemar mengincar tubuh gadis muda."
"Oh, apa anda lebih tertarik pada lelaki muda?" Sambung gadis itu sambil menandatangani kontrak tersebut. Di depannya sang lawan bicara tersedak dengan secangkir americano yang sedang ia minum.
"Kenapa? Apa saya salah?" tanyanya dengan ekspresi polos.
"Itu terdengar cukup kejam." Sinis sang lelaki sambil menyapu ujung bibirnya yang terkena cipratan kopi.
Reya mengangkat bahu tidak peduli. "Sebenarnya apa yang terjadi hari itu. Kenapa anda tidak menyogok sepupu saya saja untuk perjanjian seperti ini. Gadis itu juga gila uang." Ujar Reya sambil tersenyum miring.
"Dia jatuh cinta." Balas Gibran sebelum kembali menyesap kopinya.
Hening merayapi percakapan mereka. Gibran baru mengalihkan pandangannya pada sang lawan bicara saat dirasa tidak ada respon yang gadis itu berikan. Di seberang sana, gadis ingusan berusia sembilan belas tahun itu mengernyitkan alisnya jijik.
"Saya belum pernah bertemu dengan orang sejenis anda." Cibir gadis itu lalu mengusap kedua lengannya merinding.
Gibran menghela nafas resah. Tidak pula membela diri. Pria dewasa itu tidak ingin rencana yang sudah susah payah ia persiapkan gagal hanya karena kesabarannya runtuh oleh omongan pedas seorang gadis.
"Intinya mohon kerja samanya untuk satu tahun kedepan."
Reya menatap uluran tangan Gibran. Menarik nafas panjang sebelum meraih dan menjabat tangan yang dua kali lebih besar darinya itu.
"Kamu hanya perlu pastikan jika orang lain berpikir kita menikah karena saling jatuh cinta. Soal skenario lainnya, kamu bebas mengarang cerita." Ujar Gibran.
"Tentu. Kalau begitu saya permisi."
"Dan satu hal lagi." Langkah gadis itu terhenti. "Mulai sekarang kamu bisa berhenti bicara formal. Kita akan segera menikah, aku tidak ingin ada orang yang curiga."
"aku?"cibir gadis itu dalam hati.
"Hanya itu? Kalau begitu gue permisi, om." Pamitnya. Untuk yang kedua kalinya Reya mendengar suara seseorang yang tersedak. Gadis itu jelas tidak peduli.
"Om...?" ulang Gibran lirih. Gadis itu jelas tau cara meleburkan harga dirinya yang tinggi itu.
...-----****------...
Makan malam di rumah keluarga pak Darma selalu terasa ramai. Sejujurnya Buk Citra adalah wanita genius. Menyiapkan menu makanan untuk delapan orang anak dengan selera berbeda bukan perkara mudah.
Karena itu, biasanya setiap hari menu utama selalu berganti sesuai urutan penghuni rumah tersebut. Hari ini giliran si bungsu Rasya. Bocah kelas tiga sekolah dasar itu jelas akan meminta nasi coklat atau dadar susu untuk makan malamnya. Selain tidak sehat, memangnya siapa juga yang ingin makan nasi dicampur coklat.
Karena itulah secara diam-diam, mereka semua menganggap pilihan si bungsu hanya untuk formalitas semata.
Reya melirik adik perempuannya yang terlihat mengaduk-aduk tumis kangkung tanpa minat. Reya menyukai tumis kangkung.
Sejujurnya, jika ia tidak alergi pada kacang. Gadis itu menyukai semua hal wajar yang bisa di makan.
Namun malam itu, rasanya seolah sayuran tinggi serat itu kembali merangkak naik dari tenggorokannya tepat setelah gadis itu menelannya. Reya meremas tangannya yang bergetar hebat. Menyadari hal itu, Dian di sampingnya melirik penasaran.
Bagaimana ia bisa menyampaikan soal pernikahan palsunya itu pada sang ayah. Lidahnya kelu.
Apa kata yang biasa diucapkan oleh nenek antagonis di serial televisi yang biasa ibunya lihat itu? Oh benar.
"Demi dewa..."
Maka setelah mencoba mengumpulkan keberanian, gadis itu tanpa sadar menggebrak meja makan di hadapannya.
"Ya Tuhan dek, kamu kenapa sih. Bikin kaget aja, kalau kakak mati kesedak kangkung kamu mau tanggung jawab?!" kesal Friska balas menggebrak meja.
"Cuma orang bodoh yang mati karena kesedak kangkung." Agus terkekeh jenaka.
"Diem lo botak." Balas Friska sensi.
"Kak Iki, memang ada orang yang mati kesedak kangkung?" Rasya bertanya dengan polosnya.
"Hmmm, kakak engga tau. Kita tunggu aja." Rizki mengusap kepala adiknya itu sambil terus fokus pada piring di hadapannya.
"Mau kemana?" tanya Dian saat melihat Tila, adik perempuannya bangkit.
"Kamar. Kakak taukan aku ga suka kangku---"
"Pa, Reya mau menikah."
Mendadak semua percakapan riuh itu senyap. Seolah tidak ada yang beradu mulut sebelumnya. Reya memejamkan matanya erat. Siap menerima respon apapun yang keluarganya berikan.
"Lo pasti bercanda." Ucap Friska sambil menahan tawa.
Detik berikutnya tawa memenuhi ruangan itu. Agus terbahak-bahak seolah adiknya baru saja mengatakan lelucon yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Rizki di sampingnya menggelengkan kepala tidak habis pikir. Rasya yang tidak mengerti apapun bahkan ikut tertawa jenaka.
"Reya, kamu kelelahan sayang?" tanya sang ibu khawatir.
"Lain kali jangan menerima pesanan yang berlebihan. Kasian Reya." Ingat pak Darma pada sang istri yang mengangguk setuju.
Di samping itu semua, hanya Dian dan Tila yang terdiam mematung. Kedua Remaja itu saling berpandangan, bingung bukan main.
"Kak--" Dian berusaha meraih lengan saudari perempuannya itu sebelum Reya menepisnya.
"Aku ga bercanda!"
Teriakan itu menghentikan tawa penghuni ruangan tersebut. "Aku, ga bercanda." Tekan gadis itu dengan ekspresi serius. Darma menangkap kilat emosi di mata anak perempuannya itu.
"Rasya, ayo ke kamar." Rizki menyudahi makan malamnya.
"Eehhh...tapi adek belum selesai makan." Keluh bocah itu.
"Udah ayo." Dengan berat hati si bungsu mengekori kakak laki-lakinya itu ke lantai atas.
"Ada apa ini sebenarnya?" Darma memulai percakapan.
"Reya bertemu nenek. Katanya Kakek melakukan perjodohan dan Reya akan segera menikah." Semua yang ada di ruangan itu saling pandang.
"Sayang, ini terlalu cepat. Seharusnya kamu menolaknya." Ujar Citra menentang keinginan sang putri.
"Reya harus ma."
"Harus bagaimana?! Reya, kakek itu udah ga ada! Dan kamu ga harus mengemban tanggung jawab dari pria tua bangka yang bahkan ga bisa perbaiki hubungan antara istri dan anaknya sendiri!" Friska berkata penuh emosi.
"Tapi ini pilihan aku!" gadis itu membalas tak kalah berang. Tila bergidik, gadis itu tanpa sadar mencari perlindungan di belakang Dian. Tidak pernah melihat sang kakak mengamuk seperti ini.
"Bagaimana dengan kuliah kamu?" tanya sang ayah dengan intonasi tenang.
"Reya diizinkan kuliah setelah menikah."
"Reya, papa tau kamu frustasi karena biaya kuliah itu. Tapi papa sudah bilang akan mengusahakannya secepat mungkin. Jadi, tolong jangan bahas soal perjodohan atau apalah itu."
"Kapan pa? Memangnya papa bisa dapat uang sebanyak itu darimana?!"
"Reya, papa sedang mengusahakannya, jadi kamu sabar saja ya sayang." Ujar Citra berusaha menenangkan sang putri.
"Dengan cara apa ma? Memohon pinjaman pada nenek yang jelas-jelas membenci kita semua?!" Darma tercekat saat mendengar perkataan putrinya tersebut. "Darimana kamu tahu.."
"Memangnya keluarga kita punya apa! Kakak baru saja kehilangan pekerjaan, bisnis Kak Agus juga baru jalan, dan Kak Iki dengan kantor terkutuknya! Kenapa juga dia masih bekerja di sarang setan itu!" Gadis itu berteriak berang, air mata menggenangi kedua bola matanya. Friska dan Agus menunduk dalam, tidak bisa membantah kenyataan bahwa mereka merasa tidak berguna sebagai seorang kakak.
"Reya mohon pa, biarkan Reya menikah dengan pria yang kakek jodohkan. Dia sudah berjanji akan memberi Reya kesempatan mendapatkan beasiswa dari perusahaannya." Lirih gadis itu berusaha menjelaskan.
"Jadi maksud kakak, kakak menjual diri pada pria asing itu?"
"Dian jaga ucapan kamu. Kami berdua saling mencintai." Reya menatap adik lelakinya tajam.
"Memangnya apa yang gadis remaja bodoh kaya kakak tau soal cinta hah?! Berhenti bersikap egois!" Dian maju tak mau kalah.
"Dian, gue ga pernah minta apapun selama ini. Kalau dengan ngejar satu-satunya mimpi itu bikin gue jadi egois, gua akan jadi egois bahkan untuk seribu kali pun." Ujar gadis itu dingin lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Meninggalkan keheningan bagi mereka yang kini larut dalam pikirannya masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments