Chapter 05: Nenek Lampir

Adrenalin.

Reya ingat pernah mempelajari hormon tersebut saat kelas delapan.

Itu adalah hormon yang dikeluarkan oleh tubuh saat merasa terancam atau dalam keadaan berbahaya. Jantung mu akan memompa lebih cepat, tekanan darah yang naik drastis, kelenjar keringat yang bekerja lebih keras dari biasanya.

Dan yang terpenting, tubuh akan mendapatkan sinyal berupa fight atau flight.

Reya sedang tidak di kejar oleh anjing Pak Jamal, beradu mulut dengan Bu Julid-anti, atau keadaan yang mengancam nyawanya hingga ia harus berpacu dengan hormon tersebut.

Gadis itu sudah berkeringat dingin sejak pukul delapan lewat dua puluh menit yang lalu. Ini lebih memacu adrenalin dibandingkan saat terakhir ia mengikuti lomba lari estafet.

Reya membuang muka. Tidak berani menatap kedua orang tuanya. Lebih tepatnya ia sedang menghindari Sang Ayah yang kini menampilkan raut yang tidak terbaca. Tubuhnya bahkan tidak merespon sinyal antara fight atau flight. Gadis itu mematung, mati kutu setelah akhirnya memilih untuk membicarakan permasalahan besar yang telah mengganggu tidurnya belakangan ini.

“Apanya yang kakak akan bicarain ini sama papa, mama. Gue tau kejadiannya bakal begini!" jeritnya dalam hati.

“Reya.”

“Ya pa!” Reya menjawab cepat, sedikit menjerit karena gugup.

“Papa tidak membenarkan sikap ceroboh kamu itu.” Ujar pak Darma tegas. Di hadapannya, sang putri terlihat menunduk dalam. Tanda menyesal akan kecerobohannya.

“Tapi papa juga tidak berhak memarahi kamu. Kamu sudah mengusahakan yang terbaik, apapun itu nasi sudah menjadi bubur.” Gadis itu mengigit bibir bawahnya, dalam hati masih tidak bisa berhenti mengutuk dirinya sendiri.

“Papa akan mencari cara agar biaya masuk kuliah kamu terpenuhi. Sampai kapan batas terakhir pembayarannya?”

“Kurang dari dua minggu lagi pa.”

“Akan papa usahakan.” Elusan menyapa pucuk kepala sang gadis. Reya merasa separuh bebannya hilang entah kemana. Gadis itu bangkit dari duduknya. Berterimakasih lalu meninggalkan ruang keluarga tersebut.

Sepeninggalan sang putri, Citra menatap suaminya cemas. “Darimana kita akan dapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat pa?” tanyanya.

“Tenang saja ma, aku akan usahakan apapun demi Reya. Dia anak yang cerdas, pendidikannya tidak boleh terputus di tengah jalan.” Balas Darma menerawang langit di jendela yang mulai terlihat redup.

...----***----...

Reya merasa cemas. Gadis itu mati-matian berusaha menghilangkan rasa bersalah di hatinya. Dian yang menyadari gelagat aneh saudaranya menghela nafas lelah.

“Ada apa lagi?” tanyanya kemudian.

“Hmmm....”

“Kenapa?”

“Eumm... Sebenarnya..”

Dian kesal, remaja itu membanting majalah yang sedang ia baca. “Ngomong! Kalau lo ga ngomong gue ga bakal ngerti!”

Reya tidak lagi kaget. Terbiasa dengan sumbu pendek yang di miliki oleh adiknya itu. “Gue Cuma kepikiran soal biaya kuliah.”

Reya cemberut, walau sebenarnya sama sekali tidak tersinggung dengan omongan tersebut.

Di tengah pembicaraan, Friska turun dari tangga dengan pakaian rapi.

“Mau ke mana kak?” Reya melirik sambil merebut majalah di tangan Dian.

“Ngapel.” Jawabnya singkat.

Oh kehidupan asmara, Reya jadi iri. Dian diam-diam ikut mengekor dengan ujung mata. Di teras depan nampak Brian, pacar sang kakak yang baru saja tiba, menunggu dengan wajah sumringah.

Terkadang Reya bingung. Bagaimana bisa lelaki baik-baik seperti Brian tahan dengan sikap sang kakak Friska yang setengah iblis itu. Dua sejoli itu bagaikan air dan api. Brian itu tenang, layaknya lautan kaca di Yordania. Dan Friska adalah apinya. Api neraka.

“Oiya Reya, tadi Desri nelpon. Katanya si nenek lampir nyuruh kita berdua kesana.”

Reya mengernyit, tumben sekali Desri sepupunya itu menghubungi. Desri dan Reya itu sebaya, bedanya hanya satu. Desri adalah cucu kesayangan sang nenek, dan Reya adalah cucu kesayangan kakeknya.

Namun, sang kakek telah lama tiada. Yang artinya adalah, sang nenek membenci gadis itu melebihi karakter Indah, pelakor di serial televisi favoritnya.

Reya tidak ingat sejak kapan tepatnya. Wanita tua itu sering sekali berbuat zalim pada gadis lugu dan lemah lembut sepertinya. Reya merasa seperti Cinderella, bedanya kali ini ia di siksa oleh nenek lampir. Sayangnya sang nenek tidak tahu jika Reya sebenarnya adalah sesosok buto ijo . Gadis itu selalu bisa membalas perlakuan buruk neneknya.

“Yes, warisan!” Serunya penuh harap.

“Kamu lupa? Orang jahat itu matinya lama.” Friska merapikan anak rambut yang menghalangi pandangannya. “Iya sebentar sayang!”

Sambung wanita itu lalu berlari kecil saat sang kekasih memanggil.

Reya merenggut, memaki dalam hati saat sadar kesempatannya untuk kuliah mengecil sekitar sepuluh persen lagi.

“Apa gue kasih racun aja ya?” tanyanya serius pada Dian. Remaja lelaki itu melirik, lalu kembali fokus pada majalah di tangannya. Sepenuhnya mengabaikan ide gila yang sang kakak utarakan.

“Reya, nenek lampir itu nyuruhnya sekarang!” teriak Friska dari teras depan.

“Lah katanya berdua, trus kalau kakak pergi aku gimana?!” Reya bangkit menyusul sang kakak yang baru saja menutup pintu mobil.

“Pergi aja yaelah lo bukan bocah. Kakak gapunya waktu, sibuk.” Balas wanita itu malas.

“Dah adik ipar.” Pamit Brian sebelum dua sejoli itu meninggalkan halaman rumah tersebut.

Sepeninggalan Friska, gadis itu merenung. Menatap malas layar ponsel yang sudah berdering sebanyak lima kali tersebut.

‘Kesayangan nenek lampir’

Kira-kira begitu nama yang tertera disana.

“Ck, angkat aja kenapa si kak!” Tila baru pulang dari rumah seorang teman. Bergabung di ruang tamu bersama kedua saudaranya itu.

Gadis itu jelas terusik dengan dering ponsel Reya.

“Ga, jangan dulu. Kakak punya perasaan ga enak soal yang satu ini.”

Tila kesal. Gadis itu merebut ponsel dengan layar retak dua belas tersebut. Reya menjerit, merasa terancam.

“Ya kak Sri? Ok, Kak Reya otw sekarang.”

Panggilan itu terputus setelahnya. Diiringi dengan makian dari si pemilik ponsel.

...----***----...

Rumah lantai dua dengan ornamen kayu di setiap sudutnya itu terlihat ramai.

Tiga mobil terparkir di halaman luas tersebut. Salah satunya terlihat cukup asing bagi Reya. Terparkir terpisah di bawah pohon mangga kesayangan sang kakek.

Reya melepas helm biru putihnya, meninggalkan pororo si pinguin di atas jok motor buntut kesayangannya.

Miwo seri xxx.

Warna merah menyala.

Sesuai dengan jiwanya yang cinta tanah air. Menatap spion yang sialnya hanya tersisa di sebelah kanan itu. Sang gadis merapikan penampilannya.

“I’m coming beibeh.” Ujarnya kemudian. Seratus persen siap berduel dengan sang musuh bebuyutan.

Gadis itu mengambil langkah lebar. Berdehem kecil sebelum membuka pintu utama.

“Assalammualaikum! Cucu kesayangan kakek nenek datang!”

Seruan lantang itu dibalas dengan kesunyian. Semua mata di ruangan itu tertuju pada sang gadis. Reya tersenyum miring saat netranya berhasil menemukan sang nenek. Wanita tua dengan perawakan angkuh itu menatapnya tanpa minat.

Air muka sang nenek terlihat masam. Di mana itu justru menjadi pemandangan yang memanjakan mata bagi Reya.

“Ada apa gerangan baginda ratu memanggil hamba kesini?” gadis itu berjalan penuh sopan santun. Membuat wanita paruh baya di hadapannya mendecih kesal.

“Sarah, kamu saja yang jelaskan. Ibu sedang lelah.” Titahnya pada sang menantu kesayangan.

“Duduk dulu Reya.” Tante Sarah tersenyum kecil. Membiarkan gadis itu duduk terlebih dahulu di samping putrinya, Desri.

Reya membalas senyuman itu tulus. Dalam hati mengucap syukur karena istri dari om Dani, anak pertama sang nenek lampir. Tidak memiliki sifat tercela layaknya sang ibu mertua.

Reya melirik. Di sampingnya, Desri terlihat gugup luar biasa. Gadis itu tidak berhenti meremas gaun merah muda yang ia kenakan.

Tunggu dulu, kenapa juga Desri harus berpakain serapi itu?

Reya mengangkat bahu acuh.

“Reya, perkenalkan Kakek Arman dan anak beliau Om Hendri ” Ujar tante Sarah memulai percakapan. “Kakek Arman adalah sahabat baik kakek kamu.”

Reya baru sadar akan eksistensi dua orang tersebut. Sebelumnya ia terlalu sibuk menghujani sang nenek dengan senyuman cinta.

Di hadapannya terlihat seorang kakek-kakek dengan air muka yang sedikit galak. Tongkat kayu dengan polesan emas di gagang atasnya menjadi tumpuan tangan tua tersebut. Di sebelah beliau seorang lelaki paruh baya tersenyum ramah.

Reya sedikit gugup dibuatnya. Gadis itu mengangguk kecil. Berusaha menyapa dengan sopan.

“Sebelumnya, dimana Friska?” tanya tante Sarah bingung.

“Kak Friska sedang ada urusan tante. Pergi kencan dengan sang pujaan hati.” Reya meringis di akhir kalimatnya.

Tante Sarah nampak tersikap lalu menatap kedua tamu tersebut. Sebelum kembali mengalihkan pandangan pada Reya yang terlihat kebingungan.

“Sebenarnya begini sayang.”

Reya memasang telinga lebar-lebar. Merasa sangat penasaran. Batinnya melantunkan doa-doa baik, seperti pembagian harta warisan misalnya.

“Kedatangan beliau berdua ke sini, dengan maksud ingin melakukan perjodohan antara anak om Hendri dengan salah satu cucu kakek.”

Gadis itu mengangguk. “Oooo... tapi tan, kak Friska sudah lama punya pacar. Sayang banget ya.”

Respon sang gadis membuat Desri menatapnya tajam. Tante Sarah tertawa canggung. Sang nenek lampir di singgasana menghembuskan nafas resah.

Desri menyikut sang sepupu. Membuat Reya mengaduh setelahnya dengan muka bingung.

“Lo bego apa gimana?! Lo kan juga cucu kakek, yang artinya perjodohan itu juga berlaku buat kita berdua!” gadis itu berbisik kesal.

Reya yang pada dasarnya masih dihantui oleh kabut nafsu harta warisan, masih gagal paham. Desri yang melihat itu berdecak kesal. Gadis itu mengambil nafas dalam, sebelum berseru dengan suara yang sedikit tercekat.

“Mereka mau kita menikah sama anak mereka!”

“APA?!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!