Chapter 19: Morning darling

Tempat itu dipenuhi hamparan bunga popy. Rasanya seperti bukit belakang rumahmu yang asri. Sungguh musim panas yang indah.

Terlihat seorang gadis duduk termenung di atas dahan pohon willow yang sudah lama mati dan mengering. Rambut panjangnya menari lucu saat di terpa angin nakal yang dengan sengaja ikut menyikap dress selutut yang ia kenakan.

Di hadapannya, terdapat sebuah danau berisi ikan koi dan hamparan teratai yang sedang gencar-gencarnya berbunga. Jika kau melihat lebih dekat, di antara capung dan katak yang bersenda gurau. Terdapat pantulan wajah seorang gadis yang terlihat murung. Tidak dia bukan hantu penunggu danau tersebut. Hanya saja, mungkin gadis itu akan mempertimbangkan untuk melompat ke dasar danau yang gelap dan berlumpur.

Reya melempar kerikil yang ada di kakinya ke arah danau. Membuat pantulan wajahnya buram oleh riak air. Wajahnya terlihat murung seolah baru saja ditinggal mati suaminya. Entah apa yang mengganggu pikiran gadis dengan keranjang penuh bunga di kakinya itu.

Sampai tiba-tiba sebuah suara mengalihkan pandangannya. Semak belukar setinggi pinggang di samping danau itu bergerak aneh. Reya memasang sikap waspada. Takut-takut seekor beruang keluar dari sana. Walau ia jelas memilih beruang dibanding seorang pria.

Sebuah bola bulu putih menggelinding hingga hanya berjarak beberapa langkah dari kakinya.

Kelinci?

Makhluk bertelinga panjang itu diam tidak bergerak, menatap Reya dengan mata merahnya yang mengkilap lucu di terpa sinar mentari yang menembus celah pohon.

“Lo ngapain di sini b*tch?”

Oh, sekarang kelinci itu menyapa Reya dengan suara alto yang kentara—tunggu, kelinci itu baru saja berbicara?!

Dan dia memanggilnya apa tadi? B*tch?!

Reya membuka mulutnya tidak percaya, di saat bersamaan suara sang gadis tidak keluar saking terkejutnya ia melihat kelinci bersuara alto.

“Lo budeg? Gue tanya lo ngapain di tempat ini.” Ulang kelinci itu dengan mata yang memicing tajam. Ia terlihat tidak suka dengan kehadiran Reya di sana.

“A-aku tidak tahu. Saat membuka mata, aku sudah berada di tempat ini.” Balas Reya sedikit ketakutan. Hey ini pertama kalinya ia berbicara dengan hewan.

“Ini bukan tempat lo cupu. Denger ya b*tch, ini Jandaland. Perawan kaya lo ga pantes ada di sini.”

Hah? Nama macam apa itu. Jandaland? Memangnya tempat ini surganya para janda. Reya bahkan tidak melihat seorang pun sejak ia terbangun di sana. Tetapi, terlepas dari namanya yang aneh. Reya merasa nyaman dan tidak ingin pergi dari tempat ini. Ia tidak ingin kembali ke rumah yang berisi pria asing berstatus suaminya itu. Maka dengan sisa keberanian yang ada, gadis itu berbohong.

“Aku bukan perawan! Tidak lagi perawan!” Teriaknya lantang, mendeklarasikan status yang sebenarnya tidak penting itu. Kelinci putih tersebut melompat lebih dekat dengannya. Mengendus sang gadis.

“Pembohong! Bau lo kaya minyak telon bayi. Cuma gadis perawan yang berbau seperti itu! Lo harus pergi dari tempat ini.” Teriak kelinci itu marah.

“Tidak! Aku tidak akan pernah kembali ke rumah lelaki terkutuk itu!” Seolah tidak mau kalah, sang gadis mendeklarasikan perang pada pemilik tanah. Apa maksudnya, padahal menjadi janda pun belum tentu membuatmu tidak perawan!

Kelinci di hadapannya mendengus kesal. “Dasar kau wanita tidak tahu diri. Apa lagi yang kau tunggu, padahal kau di anugerahi suami tampan dan kaya raya.”

“Tapi aku tidak mencintainya. Aku hanya akan tidur dengan orang yang ku cintai.” Ujar Reya dengan wajah sendu.

“TOLOL!”

Reya terbelalak kaget, kelinci itu lagi-lagi memakinya.

“Dengerin gue perawan cupu, lo tau apa yang lebih penting dalam pernikahan selain harta dan tahta?” tanya kelinci tersebut sambil melipat tangan di dada.

“C-cinta?” jawab Reya malu-malu. Pasalnya ia juga baru dalam hal berumah tangga.

“Stupid b*tch! Yang paling penting itu ukuran k****l nya!” teriak kelinci itu murka.

Reya menganga tidak percaya. Makhluk lucu di hadapannya itu terus saja mengatakan hal cabul yang tidak terduga.

“Kau tidak pantas berada di sini. Kembalilah saat kau sudah tidur lalu bercerai dengan lelaki itu.” Usir sang kelinci.

Tiba-tiba saja tanah di sekitar tempatnya berdiri retak. Reya bergetar ketakutan. “Tidak! Tidak! Aku tidak ingin kembali ke tempat itu aaaaaaa!”

Tanah itu seketika berlubang. Menelan Reya jauh ke dasarnya yang gelap. Hingga gadis itu tersentak kaget dan bangun dari tidurnya dengan nafas yang memburu.

Mimpi aneh macam apa itu. Reya mengusap kasar wajahnya. Padahal ia sudah cuci kaki sebelum tidur.

Gadis itu menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Berangan tentang bagaimana kehidupan sang gadis akan berjalan ke depannya. Reya menghela nafas lelah. Ia harus segera bangun dan pergi dari tempat ini.

Gadis itu hendak bangkit, namun sesuatu menahan tubuhnya hingga ia kembali dalam posisi tidur. Reya merasakan sesuatu yang berat melingkari pinggangnya. Gadis itu menyikap selimut yang ia pakai.

Sebuah tangan?

“Tunggu, ini tangan siapa?!” Reya ingat jika semalam ia tidur sendiri di tempat ini. Buru-buru ia mengalihkan pandangannya ke arah si pemilik tangan.

“AAAAAARRRRRGGGGHHHHHH!!!!” Gadis itu berteriak dalam diam. Melihat si pemilik tangan yang merangkul pinggangnya erat tertidur damai. Sama sekali tidak terganggu dengan gelagat tidak nyaman sang gadis. Jarak wajah mereka sangat dekat. Reya bahkan bisa merasakan hembusan nafas lelaki itu pada dahinya. Gibran saat ini sedang memeluknya! Reya ulangi, lelaki yang semalam mengguyurnya dengan segelas minuman beralkohol itu saat ini memeluknya!?

“Lo ngapain monyet!”

Reya buru-buru melepas rangkulan tangan itu kasar. Membuat si pemilik tangan melenguh kesal karena tidurnya diganggu. Gibran bangun dari tidurnya. Lelaki itu menyandarkan diri pada kepala ranjang, mengusap matanya guna menjernihkan penglihatannya untuk melihat seorang gadis—tidak istrinya menodongnya dengan candle holder berbahan metal yang isinya telah kosong.

“Kau! Apa yang kau lakukan di ranjangku?!” Reya merasa suaranya sedikit gemetar. Tidak, kali ini ia jelas ketakutan. Gibran berada di ranjang yang sama dengannya. Dalam keadaan setengah telanjang. Netra sang gadis jelalatan, memindai tubuh suaminya yang saat ini hanya tertutupi selimut yang tersibak asal. Muka memanas, wajahnya semerah tomat sekarang. Pikiran Reya melayang ke mana-mana. Memangnya apalagi yang bisa dilakukan oleh sepasang pria dan wanita di atas ranjang yang sama. Bermain tenis meja?!

Gadis itu buru-buru meraba tubuhnya. Memastikan apakah ada salah satu anggota tubuhnya yang hilang.

Gibran yang melihat gelagat aneh sang gadis hanya menatapnya sambil menopang dagu pada salah satu lutut yang ia angkat. Saat gadis itu berpaling cepat ke arahnya dengan wajah murka dan alis yang menukik dua kali lebih tajam. Gibran menyapa istrinya itu dengan ekspresi datar.

“Morning darling.” Ucapnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!