Pukul 07:00 waktu setempat.
Ponsel itu nampaknya sudah lelah karena terus bergetar sejak tiga puluh menit yang lalu. Yang kemudian memilih untuk berhenti beriringan dengan notifikasi daya baterai lemah.
Di sebuah kamar bernuansa putih bergaya eropa klasik, seorang gadis terlelap damai dalam tidurnya. Seolah sedang berusaha lari dari kenyataan yang memuakkan.
Jika bukan karena irama nafasnya yang naik turun, orang yang melihatnya mungkin akan mengira sang gadis mati mengakhiri hidupnya sendiri dengan menegak sebotol racun.
Tirai besar yang menghalau sinar matahari itu membuatnya seolah tidak tersentuh oleh gangguan apapun.
Reya merasa aman. Reya merasa damai.
Gadis itu sepertinya mulai sedikit menikmati hidupnya.
Sebelum sebuah gangguan dari negeri antah berantah datang merenggut hal itu semua.
Sesosok pria dengan tinggi yang menjulang berdiri tepat di pintu kamar tersebut. Derit menyeramkan dari engsel pintu mahal yang telah lama tidak digunakan itu bahkan tidak membuat tidur sang gadis terganggu.
Lelaki itu mengambil inisiatif, mengetuk pintu beberapa kali.
Tidak ada respon.
Sepertinya benar, gadis itu telah menegak sebotol racun sebelumnya.
"Shreya." Lelaki itu mengernyit saat sadar nama itu terdengar cukup aneh karena ia belum terbiasa mengucapkannya.
"hhmmmm"
Oh, lihat. Gadis itu merespon saat namanya dipanggil.
"Shreya, bangun. Ada telepon untuk kamu."
"hmmmm..."
Hanya itu, dan hening setelahnya. Tidak ada tanda-tanda ia akan beranjak dari tempat tidurnya.
Dengan enggan ia melangkah maju. Bayangannya menutupi wajah sang gadis.
Gibran mematung setelahnya. Apa yang harus ia lakukan? Sepertinya tanpa diberi guncangan atau sedikit sentuhan fisik gadis di hadapannya itu tidak akan pernah bangun.
Namun bagaimana dengan perjanjiannya? Bagaimana jika gadis licik ini sebenarnya dengan sengaja sedang menjebaknya demi uang ganti rugi.
Jadi setelah berpikir sedimikian rupa, Gibran sebagai salah satu mahasiswa dengan ipk tinggi di kampusnya dulu itu. Meraih salah satu buku pada rak yang belum ditata rapi.
"Bangun, pemalas."
Dengan pasti buku tersebut terus ia gunakan untuk mengguncang tubuh mungil di hadapannya. Gadis itu menggeliat merasa terganggu, namun terlihat enggan untuk membuka kedua kelopak matanya.
Gibran mendecih kesal. Apa ia harus membekap muka istri pura-puranya itu dengan bantal agar gadis itu sekalian tidak perlu bangun saja?
Tidak, tidak, tidak. Pria dewasa itu sedang berada di puncak kariernya, tindakan konyol bisa saja menghancurkan segalanya.
Gibran melirik jam di tangannya dengan resah. Ia harus segera pergi bekerja, telepon rumah yang berdering sejak subuh buta sudah cukup untuk menguras emosinya.
Tak tahan lagi, lelaki itu menunduk, lalu menarik kerah baju sang gadis. Membuat istri pura-puranya itu tersentak dalam posisi duduk.
"APA? SIAPA?!" Reya tersadar dalam keadaan linglung.
Gibran tersenyum. Masih dengan posisi seolah ia sedang mengajak istrinya sendiri beradu tinju.
"Selamat pagi manis." Sapaan itu disambut dengan raut masam gadis di hadapannya.
"Mau apa lo?"
Gadis itu berkata berang, kesal karena mimpi indahnya terganggu. Setidaknya di alam mimpi sana, ia hidup damai tanpa harus terjebak pernikahan konyol dan berhadapan dengan wajah memuakkan suaminya di pagi hari seperti ini.
Gibran merasakan pelipisnya berkedut kesal. Ia menarik nafas dalam, suasana hatinya tidak boleh lebih buruk dari ini. Ia kembali tersenyum, kali ini hingga kedua matanya menyipit.
"Telepon rumah terus berbunyi sejak pukul enam pagi. Seorang gadis bersuara cempreng terus berceloteh sambil sesegukan dan berkata Reya lo di mana? lo gapapa? Gue bakal selamatin lo dari lelaki tua bangka itu." Gibran memanyunkan bibirnya saat mencoba meniru suara gadis di telepon. "Jadi tolong bangun dan urus telepon itu, sementara aku bisa pergi bekerja dengan tenang," sambungnya.
Wajah yang sudah Reya kenal dengan baik terlintas di pikirannya. Naura, ya orang bodoh mana lagi yang akan mengatakan kalimat idiot seperti itu subuh-subuh buta.
"Tentu." Reya mendongak, menatap helaian rambut yang mencuat di sela-sela olesan pomade lelaki di hadapannya. Dengan kasar gadis itu menepis tangan suaminya.
"Dan tolong jangan sentuh aku." Ujarnya lalu beranjak dari kasur.
Gibran menatap tangannya yang ditepis kasar. Lalu beralih pada punggung kecil yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Selama dua puluh tiga tahun hidup, belum ada yang memperlakukannya seperti ini. Sepertinya gelar sendok emas yang sudah ia emban sejak lahir itu tidak akan ada gunanya di hadapan sang gadis.
Tidak mau ambil pusing, lelaki itu memilih keluar dari kamar tersebut.
...----****----...
Kamar Reya berada di lantai tiga.
Kamar paling ujung di koridor lantai itu.
Setidaknya ada empat kamar di sana. Alasan Reya memilih kamar dengan satu-satunya pintu putih berukiran jadul itu sebenarnya cukup sederhana. Karena hanya kamar itu yang memiliki balkon.
Posisi yang strategis menghadap langsung ke arah taman. Siapa tau suatu hari nanti ia butuh balkon itu untuk melarikan diri atau sekedar mengikat tali ke lehernya sendiri lalu terjun ke bawa---lupakan.
Lantai dua rumah itu diisi tiga kamar biasa dan sebuah kamar utama yang bersebelahan langsung dengan sebuah ruangan yang Reya yakini sebagai ruang kerja pribadi Gibran.
Alasan lainnya gadis itu memilih lantai paling atas karena ia tidak ingin berada dilantai yang sama dan jadi lebih sering bertemu dengan Gibran.
Reya ingin hidup tenang seolah yang telah terjadi hanyalah sebuah mimpi aneh di siang bolong.
Gadis itu menuruni tangga menuju lantai dasar. Ia harus mengisi perutnya dengan sesuatu.
Tempat itu benar-benar kosong. Hanya ada dirinya, furnitur, serta hiasan dinding mahal yang jika hilang satu Reya yakin Gibran tidak akan menyadarinya.
Aula utama yang cukup besar. Apa suaminya itu akan mengadakan pesta dansa? Reya tidak ingat jika dirinya pernah mati tertabrak truk lalu masuk ke sebuah novel fantasi.
"ugh... tempat ini cukup mengerikan." Keluh Reya merasa tak nyaman.
Membeli rumah sebesar ini hanya untuk ditinggali berdua. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Gibran. Bahkan jika mereka memiliki lima anak, rasanya itu belum cukup untuk mengisi kamar kosong di rumah tersebut.
Tunggu, memangnya sejak kapan Reya ingin memiliki anak. Terlebih dengan pria menyebalkan itu. "Amit-amit jabang bayi." Reya tanpa sadar mengelus perutnya.
Seperti rencana awal, tugasnya hanya menjadi istri pura-pura lelaki itu selama satu tahun ke depan dan boom!
"Tunggu aja waktunya tiba, gue talak lo." Gumam sang gadis.
Secarik kertas tertempel di pintu kulkas.
"Asisten rumah tangga akan datang besok. Masak atau pesan apapun, kartu ini milik kamu sekarang."
"Sungguh suami yang perhatian." Reya menatap kartu di tangannya sambil tersenyum puas. Kemudian membuka kulkas dua pintu yang di dalamnya hanya berisi air mineral.
"Dia mau gue masak air sampe mateng?" Rumah itu benar-benar kosong sampai ke isi kulkasnya. Gadis itu membuka salah satu laci dan menemukan roti tawar yang isinya tinggal setengah. Tidak ada salahnya, hanya untuk mengisi perut pikir sang gadis.
Baru beberapa suapan dan dering telepon dari ruang sebelah mengangetkan sang gadis. Dengan malas Reya bangkit dari duduknya.
Tepat saat mengangkat gagang telepon tersebut, telinga Reya disambut pekikan nyaring.
"REYA TEMEN MACAM APA LO HAH!? BISA-BISANYA LO NIKAH DAN GA NGABARIN SAHABAT LO SENDIRI!"
Reya memejamkan mata, di kepalanya muncul bayangan Naura sang sahabat yang sedang memakinya dengan wajah memerah.
"Maaf." Balas gadis itu sambil menelan suapan roti yang terakhir.
"Maaf?! Itu doang yang bisa keluar dari mulut busuk lo hah?!" Naura berkata berang tak mau kalah.
Reya selalu kehabisan kata-kata jika harus berurusan dengan sahabatnya. "Maafin gue ga ngabarin lo soal ini. Gue punya alasan, nanti gue jelasin."
Mendengar nada serius dari sang sahabat emosi Naura mereda. Mau bagaimana lagi, gadis itu percaya pada sahabat bermulut tajamnya itu.
"Tapi Reya, lo baik-baik aja kan? Lo ga di apa-apain sama itu om-om kan?!"
Dihadapkan dengan pertanyaan beruntun yang demikian, Reya tau ke mana arah pembicaraan sang sahabat.
"Ya, gue baik-baik aja." balasnya kemudian.
"Lo kenapa si selalu minim kata! Gue butuh penjelasan yang lebih luas dan rinci. Lo ga di-piiiip trus masuk ke-piiiip, dan lo berakhir jadi-piiiip--" dan masih banyak bahasa kotor lainnya yang membuat Reya memilih untuk menjauhkan gagang telepon itu dari telinganya.
"Kita tidur di kamar yang berbeda." Hening dari sang lawan bicara membuat Reya menimpali kembali. "Ranjang yang jelas berbeda."
Helaan nafas lega terdengar di seberang sana. "Pokoknya lo janji sama gue harus bisa jaga diri baik-baik selama disana. Gue bisa mati kejang kalau tiba-tiba dapet berita lo bunting anak itu om-om."
Reya bergidik, merinding sebadan-badan. Bisakah gadis idiot itu berhenti mengatakan hal yang menggelikan.
"Enyah lo." Reya mengakhiri panggilan itu tepat saat Naura balas memakinya.
Ughh terimakasih pada Naura, kini suasana hatinya mulai memburuk. Membayangkan wajah pria itu saja sudah cukup membuatnya kesal.
Reya memutuskan naik ke lantai atas. Saat berada di depan pintu kamar Gibran dia membaca doa yang pernah diajarkan kakeknya dulu.
Doa manjur untuk mengusir setan.
Kemudian berlalu dengan langkah cepat.
Reya baru sadar jika ponselnya mati. Saat dayanya mulai terisi, notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab membanjiri layar benda pintar itu.
Naura, Naura, Naura, Naura, Selamat kamu terpilih menjadi pemenang tahunan-- dan Mama. Gadis itu pun memilih untuk mengabari sang ibu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments